Translate

Selasa, 28 Januari 2014

PARADIGMA RIYA’ DALAM IBADAH,PENAMPILAN & JABATAN

Riya’ merupakan etika tercela dalam Islam.Riya’ yang berarti berbuat untuk dipuji orang lain berangkat dari pola manusia ingin tingkah lakunya dilihat,dipuji dan disanjung disatu sisi,dan disisi lain tidak ingin tingkah lakunya dicela dan dipandang remeh,yang ujung-ujungnya adalah keinginan untuk mendapat tempat di hati manusia dalam bentuk sanjungan,jabatan maupun materi. Riya’ termasuk perilaku yang bisa menghapus pahala beramal (al-muhlikat) seperti halnya iri,dendam dan sebagainya.Karena sokoguru beramal adalah ikhlas,sementara riya’ mengesampingkan keikhlasan.Riya’ dikenal dengan syirik ashghor (syirik kecil) karena riya’ seakan-akan menciptakan sekutu sebagai tujuan dalam beramal di samping Alloh swt.Riya’ juga disebut dengan syirik khofi (syirik tersamar) karena godaannya dalam memalingkan manusia dari keikhlasan sangat halus dan lembut.Dalam sebuah hadis qudsi,Alloh swt berfirman: “Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan persekutuan.Barangsiapa mengerjakan amalan yang mempersekutukan orang lain dengan-Ku,maka Aku mengabaikan dia dan persekutuannya.”(HR.Muslim) Dalam Hadis yang lain disebutkan: “Sesungguhnya hal yang paling aku cemaskan terhadap kamu adalah syirik ashghor.Mereka bertanya: “Apakah syirik ashghor itu? Beliau menjawab: “Riya”. (HR.Ahmad) Riya’ Dalam Ibadah Riya’ yang jelas-jelas tercela sebagaimana dimaksud dalam hadis dan keterangan di muka adalah riya’ dalam ibadah.Riya’ dalam pola ibadah ini tercela karena ibadah selayaknya hanya diperuntukkan bagi Alloh swt (lillah),ikhlas karena-Nya.Sementara tujuan ibadah itu,oleh perilaku riya’ dipalingkan menjadi agar dilihat,dipuji dan disanjung manusia. Alloh swt berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”(QS.Al Kahfi:110) Pada ayat yang lain Alloh swt berfirman: “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Alloh,dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agamanya,dengan lurus.”(QS.Al Bayyinah; 5) Gambaran riya’ dalam ibadah tampak seperti diilustrasikan Rosululloh saw dalam hadis berikut: الا اخبركم بما هو اخوف عليكم “Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu yang lebih aku cemaskan terhadapmu daripada Dajjal al-Masih? Sahabat menjawab serentak: “Iya”.Beliau menerangkan: Syirik yang tidak kentara.Seseorang berdiri melakukan sholat lalu memperindah sholatnya sedemikian rupa karena mengetahui ada orang lan melihatnya”.(HR.Ahmad) Semua yang dimaksudkan sebagai ibadah,seperti sholat,puasa,sedekah,menuntut ilmu,memberikan mau’idzoh,penyembelihan,dsb agar mendapatkan penerimaan maka harus dihindarkan dari unsure-unsur riya’.Untuk itu,solusinya adalah ibadah itu disamarkan,kecuali untuk tujuan tertentu yang lebih mashlahah atau kecuali bila hakekat suatu ibadah memang menuntut keterusterangan dan keterbukaan.Namun,sesunguhnya solusi yang paling elegan (indah) dari itu semua adalah menata niat dan menata hati. Riya’ Dalam Penampilan Berbeda dengan riya’ dalam ibadah yang tercela,riya’ (ingin dilihat dan diperhatikan) dalam hal penampilan bisa dikatakan wajar.Orang ingin berpakaian,berkendaraan,berumah,dan berpenampilan yang indah.Naluri manusia mengatakan dirinya ingin terlihat indah di depan manusia.Sebagian besar manusia juga ingin tidak terlihat kurang di depan manusia yang lain. Ingin dilihat dan diperhatikan (riya’) dalam penampilan semacam itu diberikan toleransi,selama ukurannya adalah pola tajmil (bersikap indah),tak menjurus kepada pola tazyin (berhias) yang berarti melampaui batas dan berlebih-lebihan.Imam Al Ghozali yang bersikap keras terhadap riya’ pun di awal-awal karya terbesarnya,Ihya’ Ulumiddin,menulis bahwa Alloh swt menyukai seorang hamba berpenampilan indah dalam rangka hendak bertemu teman-tenmannya.Sabda Rosululloh saw: “Sesungguhnya Alloh suka melihat pengaruh nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya.”(HR.Ahmad) Orang yang berpenampilan indah dalam pakaian,kendaraan,rumah dan sebagainya lalu membuatnya sombong,angkuh,bangga diri,maka arogansi itu adalah persoalan lain.Tercelanya adalah karena sombong,angkuh dan bangga diri.Tidak ada kaitannya dengan ingin dilihat dan diperhatikan (riya’).Karena ada juga orang yang tidak berpenampilan indah namun juga sombong,angkuh dan banggga diri.Rosululloh saw bersabda: “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebiji kecil kesombongan.Seorang bertanya: “Bagaimana dengan orang yang berupaya baju dan sandalnya tampak bagus? Beliau menjawab; Sesungguhnya Alloh adalah Dzat yang indah.Dia menyukai keindahan.Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR.Muslim) Riya’ Dalam Jabatan Jabatan,selama ini tampak menjadi ajang riya’,dalam arti ingin dipuji dan diperhatikan.Pamer kekuatan,unjuk kebolehan,pamer kekuasaan dsb.Atas dasar ini,sebagian orang alergi dengan melamar,mendaftar,menawarkan dan mengajukan diri untuk suatu jabatan tertentu. Sebetulnya,keinginan untuk menggapai jabatan tertentu dengan melamar dan menawarkan diri hukumnya diperbolehkan sebagaimana keinginan berpenampilan yang indah juga diperbolehkan.Walalupun diminta dan diberi jabatan,tanpa harus meminta,terasa lebih tenteam dari pada pola meminta,melamar dan menyodorkan diri.Asal tidak menghalalkan segala cara seperti filsafat Machiavelis dan tidak super konfiden (ekstra yakin dan kelewat percaya diri) yang dikenal dengan post power syndrome (sindrom puncak kekuasaan). Jika menawarkan diri dan menyodorkan diri untuk suatu jabatan tidak boleh,tentulah Nabi Yusuf ‘alaihis salam tidak melakukannya.Kenyataannya,beliau menyodorkan diri menduduki jabatan bendahara Negara.Firman Alloh swt: “(Yusuf) berkata: Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir),sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”(QS.Yusuf: 55) Alasan beliau melamar jabatan itu adalah karena beliau “pandai menjaga lagi berpengetahuan”,seperti disebutkan dalam penghujung ayat.Ini menunjukkan selama memiliki kelayakan (layaqoh,kapabilitas) untuk mengelola suatu jabatan tertentu,maka tidak ada salahnya seseorang melamar dan menawarkan diri.Hal ini demi menutup pintu orang-orang yang tidak layak memasukinya.Suatu kekhawatiran adalah manakala jabatan diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kelayakan. Kaitannya dengan larangan Rosululloh saw kepada Abu Dzar Al Ghifari menjadi Amir karena beliau memahami ketidakcocokan sahabat yang dicintainya itu mengelola kekuasaan.Walaupun diakui sisi akseptabilitas (moralitas) sahabat besar itu sangat agung dan luhur.Rosululloh bersabda: “Abu Dzar! Sesungguhnya aku melihatmu lemah,sedang aku mencintaimu sebagaimana mencintai diriki sendiri.Janganlah sekali-kali kamu menjadi Amir atas dua orang,juga jangan sekali-kali menjadi pengurus harta anak yatim.”(HR.Abu Dawud) Hal yang sama pernah disampaikan Rosululloh kepada sahabat Abdurrohman bin Samuroh dan golongan para sahabat Anshor.Karena mayoritas latar belakang mereka adalah bertani dan berternak yang lazim tidak memiliki kecakapan dibidang kekuasaan. Sebagai kesimpulan uraian di muka,dalam hal ibadah,riya’ harus dihindari.Karena ibadah tidak akan diterima dengan riya’.Sementara berkaitan dengan penampilan dan jabatan,riya’ didalamnya terasa lebih longgar dibanding dengan riya’ dalam hal ibadah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Minhajul Qoshidin.Dia mengelompokkan riya’ dalam dua kategori.Pertama,riya’ yang haram,yaitu riya’ dalam hal ibadah.Kedua,riya’ yang tidak bisa dianggap haram serta merta,yaitu riya’ dalam hal non ibadah. Menarik apa yang disampaikan oleh Imam Ja’far As Shodiq.Beliau mengatakan: “Sesuatu yang aku peruntukkan untuk Alloh (ibadah),aku merahasiakannya.Sedang sesuatu yang aku peruntukkan bagi kalian (non ibadah),aku menampakkannya.” Wallohu A’lam

Tidak ada komentar: