Translate

Senin, 15 Mei 2017

MENGUNTAI DZIKIR TERINDAH




Setiap mukjizat yang diberikan kepada seorang rosul, pastilah disesuaikan dengan tantangan zaman .Cerita heroisme nabi musa u dengan tongkatnya , lahir ditengah suasana merebaknya ilmu sihir yang menjadi primadona . begitu juga nabi isa yang menyembuhkan banyak penyakit. Sebab, beliau diutus kala banyak tabib menyebar ‘kesakitan’  

Adapun nabi Muhammad ,yang menerima mukjizat terbesar berupa al-Qur’an , beliau diutus untuk seluruh umat manusia, yang secaranalar dan konsep hidup sudah sempurna, sehingga kitab yang sempurna pulalah bekal terbaiknya.  WA bil khusus pada zaman beliau masih hidup sastra menjadi instrumen penting nilai dan peradapan ,sehingga mestinya mereka akan mudah memahami al-Qur’an untuk para kafir Quraisy celakalah mereka, yang memahami kebesaran al-Qur’an, tapi tak mau menggunakannya sebagai sarana menjemput hidayah.
 Biar saya ulangi kalimat di atas , celakalah mereka, yang memahami kebesaran al-Qur’an, tapi tak mau menggunakannya sebagai sarana menjemput hidayah. Kata kafir Quraisy sengaja ditampilkan dan saya bermaksud mengajak anda menggantinya dengan frese seorang muslim miris hati ini melihat bagaimana nasib al-Qur’an, secara fisik maupun secara ajaran, diperlukan oleh orang zaman sekarang, Perlakuan tidak senonoh itu, celakanya, dimulai dari umat islam sendiri.
Seolah tak sesiapa menyadari, bahwa ini mukjizat terbasar yang pernah diturunkan kepada rasul. Bahkan nabi r pernah menolak menuruti permintaan orang-orang kafir Quraisy yang ingin melihat bulan terbelah, sebab sejatinya al-Qur’an itu sudah lebih dari cukup dibandingkan semua mukjizat yang lain. Pantaslah jika nabi menjerit lirih, yang diabadikan dalam al-Qur’an, “Ya Rabbaka, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan.”
Al-Qur’an merupakan dzikir terindah, yang memberikan ketenangan bagi sesiapa yang mendengarnya, bahkan yang tak paham sekalipun. Barang siapa yang membacanya, ia akan ditemani malaikat kiramin bararah untuk yang tak lancar membaca, alias terbata-bata, akan memborong dua pahala. Pahala membaca dan pahala perjuangannya. Mau tahu pahalanya? Satu huruf berbanding sepuluh kebaikan. Silahkan ambil kakulator sendiri untuk satu halaman yang anda baca.
Di antara yang membuat betah berlama-lama membaca al-Qur’an adalah susunan bahasa dan bunyinya yang indah dan rapi. Maka celakalah, yang lancar membaca al-Qur’an, tapi tak mau membacanya. Ia bukan saja terjauhkan dari pahala bejipun, tapi juga mengingkari nikmat Rabb.
Al-Qur’an merupakan zikir terindah, yang memberi kita kesempatan untuk tenggelam dalam perenungan-perenungan produktif. Ulama menyebutnya tadabur. Di sini pula kemukjizatan al-Qur’an bisa dirasakan. Terkadang dalam satu  ayat yang sama, orang yang berbeda akan menemukannya makna perenungan yang berbeda. Bahkan oleh orang yang sama, apa yang ia renungi sekarang mungkin berbeda dengan inspirasi yang ia dapat kemarin. Padahal, ia tak beranjak dari ayat yang sama. Maka celakalah, yang tak mau merenungi al-Qur’an. Padahal ia memiliki akal sehat sebagai modal merenung.
Al-Qur’an merupakan dzkir terindah, yang memberi jawaban untuk semua masalah hidup. Sebab, di dalamnya terkandung semua yang mungkin diarungi manusia hidup. Ia memang disiapkan untuk mengatur hidup dan kehidupan. Bermula dari keyakinan, lantas peribadatan, kemudian merambah ke ranah perbaikan pekerti diri, lalu meluas ke wilayah-wilayah publik dan kehidupan sosial.
Metodenya pun kaya inovasi dan beragam. Ada cerita, ada nasihat, ada dialog, ada kabar gembira dan peringatan. Semua itu dalam rangka memudahkan manusia untuk memahaminya, kemudian menjadikan al-Qur’an sebagai pendomannya. Maka celakalah, yang hidup di muka bumi di atas nikmat Allah, tak mau menjadikan al-Qur’an sebagai pendoman.

Al-Qur’an, sekali lagi, adalah warisan kenabian terbesar. Betapa celakanya kalau kita sebagai muslim sampai tak menyadarinya. Benarlah ketika rosulullah r bersabda bahwa ada kaum yang ditinggikan derajatnya dengan al-Qur’an, tapi ada pula yang di rendahkan derajatnya karena al-Qur’an. 

AGAR KEBAIKAN MENJADI KARAKTER (Islam dan Konsistensi)



فَاسْتَـقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Salah satu perintah terberat yang diterima Nabi Saw adalah Istiqamah, yang maknanya terumuskan dalam satu kata: Konsistensi. Sifat baik ini menjadi ukuran sejauh mana intensitas kedekatan kita dengan Allah Swt. Sebab, sebagian besar penyimpangan yang terjadi di dunia ini, disebabkan ketiadaan konsistensi. Seseorang mengetahui aturan, tapi  kekuatanya untuk berpegang pada aturan itu kalah oleh hawa nafsunya. Akhirnya ia melakukan penyimpangan.

Dalam hal menjaga dan meninggalkan istiqomah, Allah bisa saja memberi karamah (kemulyaan) pada seorang budak yang menjaga keistiqamahannya (Konsisten) dalam beramal. Dan Allah juga tidak menutup kemungkinan akan mencabut karamah dari seorang wali sekalipun yang telah meninggalkan keistiqomahan. Jaga dan jagalah istiqomah.
Dalam hikmah dikatakan:

اَلْإِسْتِقَامَةِ خَيْرٌ مِنْ اَلْفِ كَرَامَةٍ # ثُبُوْتُ الْكرَامَةِ بدَوَامِ الْإِسْتِقامَةِ

“Istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah (kemulyaan) # sebab langgengnya karamah karena konsistensi menjaga istiqamah”

Istiqomah dalam hidup seorang muslim yang terbina bukanlah hiasan budi pekerti ( Hilyah Khuluqiyyah ) yang bisa dipilih apakah akan dipakai sebagai perhiasan atau ditanggalkan, melainkan Suluk yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya yang menempati posisi dan tingkatan terpenting ( Ahmiyyah ) di bawah keimanan. Alloh berfirman, “  Maka beristiqomahlah sebaimana kamu diperintahkanQS Hud : 112.

Sedikit menggambarkan bagian dari dimensi istiqamah, melalui sabda Rasulullah Saw:

وَ أَنَّ أَحَبَّ الأعْمَالِ إِلى اللهِ أَدْوَمَهَا و إِنْ قَلَّ.

“Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang langgeng, meskipun sedikit” (HR. Bukhari)

Dalam hadis di atas Rasulullah Saw lebih menekanannya pada kontinuitasnya, bukan pada sedikitnya. Artinya, jika mampu langgeng dan banyak, itu jauh lebih mulia. Pertanyaannya mengapa kontinuitasnya yang ditekankan dan kuantitasnya urusan berikutnya?

Sebab hal itu menunjukkan sejauh mana rentetan amal yang kita lakukan tertanam menjadi karakter yang menyatu dalam kepribadian. Maka, sedikit tapi konsisten itu jauh lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada amal banyak, tapi hanya sekali waktu saja tanpa menimbulkan bekas sedikit pun. Sebab dengan istiqamah ini menunjukkan keberhasilan amal tersebut menjadi life style (gaya hidup).

Tahapan-tahapan berikut mungkin bisa jadi panduan, sebagai upaya menuju istiqamah.

1.      Keikhlasan niat dan motivasi: Niat adalah ruh sebuah amal, dengan niat yang ikhlas maka sebuah amal akan menjadi perbuatan yang berkarakter kuat.
ما كان لله دام واتصل وما كان لغير الله انقطع وانفصل
“Segala sesuatu yang berdasarkan karena Allah akan langgeng nan abadi, sementara sesuatu yang berdasarkan selain Allah akan putus sampai disini.”

Ada beberapa kekuatan yang mendasari atau mendorong seseorang untuk menjalankan suatu amal.
1.      Quwwah Ar Ruuhiyah (قوة الروحية) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari Ridha Allah semata.

2.      Quwwah Al Madiyah ( قوة المادية) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari materi semata.
3.      Quwwah Al Ma’ani (قوة المعاني) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari popularitas semata.
Itulah beberapa dorongan yang mandasari manusia untuk melakukan sebuah amal perbuatan. Manusia adalah makhluk yang lemah. Maka, jika ada orang yang beramal hanya untuk manusia, akan mudah putus harapan, gampang berhenti amalnya. Begitu juga jika dia beramal karena materi, atau mencari popularitas saja, tunggu saja saat kehancurannya.

2.      Mengikuti sunatullah:

Kehidupan ini berjalan mengikuti rumus-rumus tertentu. Ada Dzat Mahadetil yang mengatur semuanya, lewat Rasul-Nya Allah mengatul kehidupan, mana yang patut untuk dilakukan dan mana sepantasnya ditinggalkan. Sebuah perbuatan baik akan menjadi amal shalih dan mendapat pahala manakala perbuatan tersebut sesuai dengan aturan Agama.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr:7)

Maka dengan mengikuti aturan Allah kita sebagai hamba yang mempunyai kekuranga dan batas pengetahuan, kita mempunyai pegangan yang baku, dengan begitu amalan akan mengalir karna kemantaban hati, jauh dari keraguan; apakah amalan saya ini bener atau tidak sesuai harapan Sang Pembuat aturan.

3.      Menghindari berlebih-lebihan (ghuluw

Berlebihan itu tidak proporsional. Bersikap yang berlebih-lebihan yang hanya akan memberatkan diri, merupakan tindakan yang kurang dibenarkan dalam Agama.

Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian sendiri, nanti Allah akan menjadikannya berat.....” Al Hadits.

Nabi Saw juga bersabda: “Agama itu mudah, setiap orang yang memberat-beratkan diri dalam Agama ini pasti akan kalah. Maka bersikaplah istiqomah.....” Al Hadits.
Seperti itulah salah satu dimensi istiqamah mengajari kita, yakni karakterisasi amal. Yang Allah inginkan adalah setiap ritual dan rutinitas amal ibadah kita membentuk kepribadian. Menjadikan pelakunya sebagai sosok yang tekun, ulet, dan konsisten, apa pun kondisi yang meliputinya.

 Allahu a’lam bis shawab.

Senin, 13 Februari 2017

Tiga kesadaran pencapai kesempurnaan



الحمد لله الذي شرّح صُدُوْرَ المُؤْمِنِيْنَ لِطَاعَتِه, وهَدَاهُمْ اِلَى تَحْكِيْمِ كِتَابِه والعَمْلِ بِه, نَحْمَدُهُ ونَسْتَعِيْنُه ونَسْتَغْفِرُه, ونَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِى اللهُ فلا مُضِلَّ لَه, ومَن يُضْلِلْ فلا هادِىَ لَه, أشهد أن لاإلهَ إلاّ الله وحده لاشريك له, وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله لانبيَ بعده.
أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد.
أما بعد: فيا أيها الناس, إتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه إتَّقُوا اللهَ وَلاتَمُوتُنَّ اِلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وقال الله تعالى : قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إنَّكَ أنْتَ اْلعَلِيْمُ اْلحكيم. وقال أيضاً : يا ايها الذين امنوا استعينوا  بالصبر والصلاة  ان الله مع الصابرين

v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
Pada kesempatan yang penuh makna ini, dari atas mimbar saya mengajak hadirin sekalian, khususnya diri saya pribadi. Marilah kita meningkatkan ketakwaan kita, karena sesungguhnya hanya taqwalah yang dapat menghantarkan kita melampaui minggu demi minggu, bulan demi bulan tanpa kurang suatu apapun dan dengan ketakwan pula segala yang sulit akan menjadi mudah.
Dengan problem kehidupan sehari-hari, dan seringnya kita memburu dunia dan mengabaikan akhirat, mengakarlah dalam diri kita cinta terhadap dunia, lalu hati menjadi gelap. Maka kegelapan ini bisa sirna apabila diterangi oleh taqwa. Bagaimana bisa taqwa meneranginya, karena subtansi taqwa adalah “takut” takut akan terjatuh pada larangan-Nya. Sehingga seseorang hanya akan mengerjakan apa yang menjadi perintah-Nya saja, bagai mana cara meningkatkan kualitas ibadahnya.
v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
Untuk mencapai kualitas kesempurnaan hidup dan Ibadah kita, hendaklah minimal ada 3 kesadaran yang -mau tidak mau, suka atau terpaksa- harus mampu kita munculkan didalam setiap detak dan detik kehidupan kita. Seseorang yang mengharapkan kehidupan akhirat tentulah menilai 3 kesadaran tersebut adalah suatu yang urgen:

1.    Untuk mencapai kualitas ibadah yang lebih baik, agama mengajarkan kepada kita agar dalam melaksanakan semua aktivitas ibadah, apapun bentuk dan manifestasinya, hendaknya kita bisa memunculkan sebuah kesadaran bahwa Allah dekat dengan kehidupan kita, kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi setiap gerak kita, Allah pasti mendengar setiap ucapan kita, dan bahkan Allah Maha tahu akan segala sesuatu yang tersembunyi dalam benak dan bathin kita semua. Tidak ada sesuatu pun diatas dunia ini yang samar apalagi luput dari pantauan Allah. Sebagai mana Firman Allah:
وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
“dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi, tidak ada satu halpun yang samar bagi Allah, semuanya jelas bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.”
Nah, orang yang memiliki kesadaran bahwa Allah dekat dengan dirinya, maka dampak dan imbasnya akan segera terasa, ketika shalat, maka shalat yang ia lakukan pasti akan berkualitas, dikatakan:
صَلِّ صَلاَةَ مُوَدَّعٍ فإنَّهُ اِنَّ كُنْتَ لاَ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ
“shalatlah engkau dengan shalat perpisahan, (apa itu shalat perpisahan ) yaitu sebuah kesadaran bahwa jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka yakinlah Allah pasti melihatmu.”
dengan kesadaran itulah maka ruku’nya menjadi tertib, sujudnya thuma’ninah, bacaannya tartiil, tahiyyatnya merasuk sukma, dan pada klimaksnya, orang yang seperti ini, hidupnya akan semakin tertata indah.
v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
Lebih jauh dari itu, orang yang memiliki kesadaran bahwa Allah dekat dalam hidupnya, maka hidupnya hari demi hari akan semakin berkualitas, muncullah sebuah kesadaran “Muroqobah” semakin berhati hati dalam bersikap, semakin mawas diri dan memiliki kedisiplinan yang sangat tinggi. Kenapa demikian? karena pengawasan yang dirasakan oleh orang seperti ini bersumber kepada Allah Dzat Yang Maha Menatap setiap kehidupan. Setiap kebaikan yang ia lakukan bukanlah karena ada sahabat yang melihat, bukan karena atasan yang menyaksikan, dan juga bukan karena ada orang yang memandang. Tapi sekali lagi, itu semua muncul karena ia sadar bahwa Allah selalu memantau setiap detak dan detik kehidupannya.


v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
2.    Hidup dan ibadah kita akan semakin berkualitas jika kita memiliki kesadaran bahwa ibadah yang kita lakukan itu adalah kebutuhan ruhani setiap kita. Kesadaran seperti ini akan menggiring kita untuk merasa butuh shalat seperti halnya kita butuh makanan, kita akan merasa butuh puasa seperti halnya kita butuh minuman, kita butuh zakat sama seperti halnya jasmani kita butuh refreshing (penyegaran), dan memang untuk tujuan itulah Allah hadhirkan Agama bagi manusia. Paket Rukun Islam yang kita jalankan, Shalat, puasa, hajji, zakat dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, hakikatnya adalah merupakan santapan bagi ruhani, makanan bagi jiwa kita, penyegar dahaga batin kita.
Jadi hadirin sekalian, jika demikian adanya, maka semakin sering kita berbuat baik, semakin sering kita shalat, semakin sering kita berpuasa, semakin sering kita beribadah dalam arti yang seluas-luasnya, maka secara otomatis akan semakin sehatlah ruhani kita, semakin subur pulalah tanaman Iman kita, disamping itu, dalam sebuah ayat Allah telah mengingatkan kepada kita:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا
“Barangsiapa berbuat kebaikan maka (dampak kebaikan itu) kembali kepada dirinya, dan barangsiapa berbuat kejahatan maka efek kejahatan itupun akan berimbas atas dirinya” ( QS. al- Jaatsiyah ; 15 )
Mari kita lihat kebenaran wahyu Allah ini, bukankah ada kebahagiaan bathin yang tak terlukiskan dengan kata-kata ketika kita bisa membuat orang lain bahagia, sebaliknya, bukankah ketika kita berbuat keburukan seperti meninggalkan shalat misalnya hati kita menjadi gelisah, jiwa kita bertambah resah. Bukankah kalau kita kikir dan bakhil, enggan dan segan mengeluarkan zakat, maka tidak cuma Allah yang akan menjauhi kita tapi semua orang akan ikut membenci kita, siapa yang mau membantu orang kikir yang sedang tertimpa kesulitan?. Kesadaran seperti inilah yang harus segera kita bangun, guna tercapainya peningkatan kualitas amal Ibadah.


v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
3.    Kualitas hidup kita akan semakin meningkat jika kita memiliki kesadaran bahwa ada akhirat setelah dunia. Maka manusia yang visi dan orientasinya jauh kedepan, yang menyadari bahwa setelah kita mati nanti akan ada hari perhitungan, akan ada hari penghisaban, maka dalam menghadapi hidup yang penuh dengan goncangan ini, mereka pasti akan lebih tegar dan tetap stabil (tetap konsisten dengan prinsip hidupnya), ketika ia sukses dalam semua urusan dan –katakanlah– ia menjadi orang kaya, ia pasti tidak akan bangga diri dan lupa daratan, ia akan sadar bahwa harta itu cuma titipan, ia juga sadar bahwa hidup yang sebenarnya bukan disini, bukanlah di dunia ini tapi di akhirat nanti. Bahkan saya percaya, orang yang meyakini akan kehidupan sesudah mati dengan keyakinan yang sebenarnya, ketika ia kaya maka ia akan gunakan kekayaannya itu, ia akan manfaatkan kesuksesannya itu, demi untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan yang lebih sejati, di Negeri keabadian nanti. Namun sebaliknya, jika ia gagal dalam hidup ini, maka orang seperti ini tidak akan mudah kecewa, tidak akan gampang frustrasi apalagi sampai bunuh diri, kenapa demikian, karena ia masih punya harapan, bahwa masih ada kebahagiaan pada episode kehidupan berikutnya; kalau sekarang saya gagal dalam kehidupan dunia ini, kenapa harus resah, bukankah masih ada surga dan para bidadari yang sudah menanti. Begitulah pikiran mereka.
v  Hadirin Jama’ah Jum’ah hafidhokumuLLOH,
Yang menjadi renungan buat kita sekarang adalah, kenapa kita korbankan kepentingan jangka panjang hanya untuk kesenangan jangka pendek, mengapa kita musnahkan kebahagiaan abadi hanya untuk kesenangan sesaat di dunia ini, ingatlah bahwa Allah I telah berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
 “Ketahuilah oleh kalian!, bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, tipudaya, perhiasan dan berbangga-bangga di antara kalian” (al- Hadid: 20)
Oleh karena itu silahkan Cari harta sebanyak-banyaknya, kejar dunia dan gapailah cita-cita setingi-tingginya, namun ingatlah! CARI, KEJAR dan GAPAI semua itu dengan tanpa mengorbankan kehidupan akhirat kita. Sekecil apapun penghasilan kita, pasti akan cukup bila digunakan untuk kebutuhan hidup, sebesar apapun penghasilan kita, pasti akan kurang bila digunakan untuk menuruti gaya hidup.

Sebagai catatan sekaligus sebagai penutup khutbah saya ini; Untuk mencapai kualitas kesempurnaan hidup dan Ibadah kita, ada 3 kesadaran yang harus mampu kita munculkan didalam setiap langkah kita, yaitu:
1. Bahwa Allah dekat dengan kehidupan kita.
2. Bahwa ibadah yang kita lakukan itu adalah kebutuhan ruhani setiap makhluk, dan
3. Bahwa ada akhirat setelah dunia ini.
Semoga Allah melindungi dan membimbing kehidupan kita di bawah naungan keridhoan-Nya, Amin Allahumma Amin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ.

Rabu, 11 Januari 2017

Bulatnya Bumi Dalam Sudut Pandang Ulama Tafsir



Sekarang ini kita dibuat takjub - seiring dengan kemajuan ilmu di era penemuan dan penciptaan - oleh sebagian orang yang mengingkari hal-hal yang bersifat aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian; bersifat aksioma). Mereka masih saja berkata bahwa bumi adalah bidang datar bukan bulat, mereka selalu mengklaim pendapat tersebut kepada agama. Padahal ulama-ulama kita yang terdahulu Rahimahumullah, telah menyatakan bahwa bumi adalah bulat dengan mengemukakan dalil-dalil ilmiah dan rasional, jauh sebelum para astronaut mengelilingi bumi pada masa sekarang ini.

Di antara dalil-dalil rasional yang bersifat aksiomatis, yang dijadikan argumentasi oleh para ulama terdahulu atas bulatnya bumi adalah ungkapan mereka “Seandainya bumi berbentuk datar dan rata, maka matahari pasti terbit di seluruh negeri dalam waktu yang sama dan juga terbenam dalam waktu yang sama pula, karena matahari jauh lebih besar berjuta-juta kali dari bumi”.

Menurut ahli astronomi ukuran Matahari adalah 330.330 kali lebih besar daripada Bumi, Pelanet yang kita singgahi ini dihadapan Matahari hanyalah ibarat sebuah titik. Seandainya Bumi ini berbentuk menghampar seperti permadani, maka dapat dipastikan matahari akan menyinari penduduk Indonesia, Malaysia, Baghdad, Kairo, Makah, Damaskus, dan penduduk Spanyol bahkan dunia dalam waktu yang sama, dan juga terbenam pada waktu yang sama pula. Lalu mengapa terjadi perbedaan terbit dan terbenamnya matahari yang kadang sampai 12 jam; dengan asumsi jika waktu terbit matahari di Indonesia atau Asia misalnya, adalah waktu terbenamnya matahari di Amerika atau Kanada, maka yang demikian itu merupakan bukti nyata atas bulatnya bumi. Bagaimana dengan pandangan para Ulama Islam, Ahli tafsir terkemuka di masa Islam.

PANDANGAN IBNU TAIMIYAH TENTANG BULATNYA BUMI

Syeikh Al Islam Ibnu Taimiyah lahir 661 H /1263 – 728 H / 1328 M. Dalam kitabnya Al-Fatawa, mengatakan: “ada kesamaan bulan dan tahun dengan hari dan minggu; hari secara alami ditentukan sejak terbitnya matahari hingga terbenam, sedangkan minggu adalah bersifat bilangan yang berpatokan pada enam hari dimana Allah telah menciptakan langit dan bumi di dalamnya. Sehingga terjadilah keseimbangan antara matahari dan bulan, hari dan minggu berdasarkan perjalanan matahari, sementara bulan dan tahun berdasarkan perjalanan bulan. Berdasarkan keduannya itu, sempurnalah hitungan hari”

Sementara menurut Al Alusi “Semuanya yang dipaparkan Al Qur’an telah diperkuat dengan serangkaian bukti dari ahli-ahli astronomi moder” dikutip dari syiehk Muhammad Mahmud Ash shawwaf, Al Muslimun wa ‘Ilmu Al-Falak, hal.44.

Menurut Syieh Ali Ash Shobuni dalam karyanya Harakat Al-Ardh wa Dauranuha, beliau mengatakan: “mengenai Pengertian (حُسْبَانًا) dalam firman Allah SWT:

وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا

“Dan (Allah) telah menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.” (Al An’am (06) : 96). Dan dalam ayat yang lain.

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (S. Arrahman (55) : 5)
Ada yang mengatakan dari “Al-Hisabu” ‘Matematis’, dan yang lain berpendapat dengan makna “Husbanu” ‘Perhitungan’ , sebagai mana perhitungan gerak dan putaran batu penghiling, yaitu peredaran lintasan benda-benda langit. Pendapat ini sudah tidak diperselisihkan lagi, karena memang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama telah bersepakat, bahwa berdasarkan hasil penelitian para pakar astronomi, bentuk pelanet bumi adalah bulat, bukan datar”.

Pada kesempatan lain dalam kitab Al-Fatawa: VI/586, Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bentuk langit dan bumi, “Apakah keduanya bulat?” Beliaunya menjawab, “Menurut para ilmuan muslim, bentuk langit adalah bulat, dan dikisahkan dari ijma’ umat Islam, bahwa yang mensetujui pendapat ini dari kalangan para ulama tidaklah sedikit, mereka itu seperti Ahmad bin Ja’far Al-Munadi; salah seorang ulama dari pengikut Imam Ahmad yang telah menulis sekitar 400 buku, Imam Ibnu Hazm dan Abu Al-Fajar bin Al-Jauzi. Mereka menguraikannya dengan dalil yang telah popular.” adalah firman Allah SWT.

كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.

“Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS. Al-anbiyaa’ (21): 33).
Masih dalam kitab Harakat Al-Ardh wa Dauranuha; Ibnu Abbas dan ulama salaf yang lain berkata: “Garis edar adalah seperti tempat pusaran alat pemintal. Ungkapan ini memperjelas, bahwa garis edar adalah berbentuk bulat dan berputar.
Adapun kata Falak “فلك” secara etimologis berarti; sesuatu yang bulat. Ada sebuah ungkapan:

تَفَلَّكَ ثَدْيُ الجاريَةِ إذاَ اسْتَدَارَ.

“Buah dada gadis itu akan disebut ‘Tafallaka’ bila mana telah membulat”
Demikian alat pemintal; disebut falakah “فلكة”, karena bentuknya bulat.”
Para Mufasir dan pakar bahasa telah sepakat bahwa pengertian Falak “فلك” adalah sesuatu yang bulat. 

Adapun untuk mengetahui makna-makna dari kitab suci Al-Qur’an, senantiasa didasarkan pada dua cara sebagai berikut:

1. Dari ahli tafsir yang terpercaya dari ulama salaf.
2. Dari bahasa yang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut, yaitu bahasa arab.
Allah SWT telah berfirman:

يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ.

“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.” (QS. Azzumar (39) : 5)
Pengertian at-takwir “التكوير” adalah at-tadwir “التدوير” yaitu menjadikan bulat. Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab:

كَوَّرْتُ اْلعِمَامَةَ إذا دَوَّرَتْهَا.

“Surban (yang ada dikepala) akan dikatakan ‘kuwwirat’ bilamana berbentuk bulat”
Dan sesuatu yang melingkar atau bulat akan disebut kaaratun “كارة” dari kata kauratun “كورة”
PENDAPAT MUFASSIR AL-QUR’AN TENTANG BUMI YANG BULAT
Disini saya akan mencoba mengutip beberapa pendapat para ahli tafsir seputar bulatnya bumi, agar para pelajar kita, generasi penerus kita yang sedang mempelajari ilmu-ilmu modern mengetahui bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu modern dan agama:
Pertama: Imam Al-Baidhawi -Seorang mufassir dari kelompok mutaqaddimin, lahir kurun 13, wafat 1286 - menafsirkan firman Allah:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً

“Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap” (Q.S Al-Baqarah (02): 22)

Yakni, Bumi disediakan untuk manusia agar dapat duduk dan tidur di atasnya, seperti tikar yang terhampar. Hal ini tidaklah mengandung pengertian bahwa bentuk bumi itu menghampar walaupun bumi itu bundar (bulat), namun oleh karena fisiknya yang amat besar, hal ini tidak berarti bahwa ia tidak bisa digunakan untuk tempat duduk, tidur dan sebagainya. (وَالسَّمَاءَ بِنَاءً) Dan langit sebagai bangunan, Yakni atap yang tinggi dan berada jauh di atas bumi sebagaimana halnya keadaan kubah. (Tafsir Al-Baidhawi, Surah Al Baqarah :22)

Kedua: Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’d:

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا

“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.” (Q.S Ar-Ra’d (13): 3)

Yakni, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya telah membentangkan bumi dan memanjangkan lagi luas, agar manusia dapat bertempat tinggal di atasnya. Seandainya seluruh bumi berupa jurang-jurang, bukit-bukit dan tidak ada tanah-tanah datar yang membentang, maka dapat dipastikan manusia tidak mungkin dapat hidup disana. Berkenaan dengan hal itu Ibnu Jazyi mengatakan dalam kitab tafsirnya; yang bernama At tashil Fi Ulum At Tanzil sebagai berikut, “Kata membentang , memanjang dan melingkar tidaklah menafikan akan bentuk bumi yang bulat, karena masing-masing bagian dari bumi memang datar, namun secara kesatuan bumi itu bulat” (Ibnu Jazyi Al Kalabi 1321 – 1357 ( 36 – 35) dalam At tashil Fi Ulum At Tanzil, II/130)

Ketiga: Imam Al Alusi saat mentafsirkan firman Allah SWT:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ بِسَاطًا

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan”
Beliau mengungkapkan, “Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa bentuk bumi itu datar bukan bulat. Karena bola bumi yang sedemikian besar, menjadikan orang-orang yang berada di dalamnya akan melihat kondisi sekelilingnya datar terhampar. Sebenarnya keyakinan tentang bulat atau tidak bulatnya bentuk bumi, bukanlah merupakan suatu keharusan dalam syari’at Islam. Akan tetapi, bulatnya bentuk bumi telah menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya. Adapun maksudnya ‘Allah telah menjadikannya terhampar’ adalah; bahwa kamu semua dapat berhilir mudik di dalamnya sebagaimana engkau berhilir mudik di atas hamparan. (Al Alusi  10 Des 1802 - 29 july 1854., Tafsir Ruh Al Ma’ani, XXIX/76)

Perhatikanlah ulama kita terdahulu betapa ilmu dan pengetahuan mereka telah sedemikian luasnya, dan betapa pandangan serta pemahaman mereka telah sedemikian cemerlang, pada saat umat manusia belum ada yang mengetahui ilmu-ilmu alam, kecuali hanya sedikit saja. Semua itu tidak lain karena keluasan ilmu pengetahuan, wawasan serta cahaya nurani dan keikhlasan hati mereka. Adalah sangat mengherankan apa yang kami dengar bahwa separuh dari para pelajar, mengingkari sesuatu yang bisa dilihat dengan mata kepala serta menyangkal sesuatu yang sudah pasti dan telah menjadi kenyataan pada masa sekarang ini.

Allahu A’lam bis Shawab