Translate

Rabu, 31 Agustus 2016

Memakai Mahkota Raja



“Niat seorang beriman lebih baik dari amalnya...”[1] mengapa niat lebih baik daripada amal? Jawabnya adalah sebab seorang mendapat pahala bukan karena amal tetapi karena niat. Ini terbukti ketika seorang beramal belum mesti ia mendapat pahala dan bahkan justru mendapat dosa yaitu apabila ia beramal bukan karena Alloh. Sebaliknya dengan niat yang baik meski tidak jadi dilaksanakan seseorang sudah mendapat pahala. Penting dan tingginya nilai Niat inilah yang mungkin menjadi salah satu pendorong bagi Imam Nawawi untuk meletakkan sabda Rosululloh SAW riwayat Umar ra tentang niat dalam urutan pertama Kitab Arbain Beliau. Inti ajaran dari hadits tersebut adalah Ikhlash yakni beramal semata karena Alloh dan bukan karena selainNya. Salah satu faedah yang didapat dari beramal karena Alloh adalah keberkahan dan kelanggengan. Sebab Alloh adalah Dzat yang langgeng maka segala sesuatu yang dinisbatkan dan disandarkan kepadaNya juga pasti langgeng dan sebaliknya juga demikian hingga lahirlah sebuah ungkapan Hikmah:

            مَاكَانَ ِللهِ اتَّصَلَ وَمَا كَانَ لِغَيْرِ اللهِ انْفَصَلَ
“Segala hal yang karena Alloh pasti sambung (terus berkesinambungan) dan hal yang tidak karena Alloh pasti terputus / terpisah”

Orang beriman senantiasa memegang prinsip ikhlash ini dalam segala aktivitas yang akan ia lakukan dan salah satunya adalah dalam pernikahan. Sangat ditekankan supaya sebelum memasuki pernikahan pria ataupun wanita terlebih dahulu menata niat. Jangan sampai tujuan selain Alloh menjadi motivasi utama untuk melangkah ke pernikahan. Sungguh jika demikian maka suatu hari penyesalan pasti akan datang. Seorang pernah berkisah bahwa setelah pulang dari studi dari luar negeri, seorang kaya raya datang ke rumah menawarkan anak gadisnya. Dalam hati orang tersebut jika aku menjadi menantu bapak ini tentu aku bisa memanfaatkan kekayaan Beliau untuk berdakwah. Akhirnya pernikahan dilaksanakan dan hanya beberapa bulan setelah pernikahan sang mertua meninggal dunia dengan meninggalkan 12 anak yang masih kecil hingga niat untuk menjadikan harta benda mertua sebagai sarana dakwah pun tidak bisa terlaksanakan dan bahkan orang tersebut akhirnya harus mengurus adik – adik isterinya.  Ada lagi cerita dari seorang teman bahwa ketika ditawari seorang gadis yang tidak seberapa cantik, seorang ustadz langsung menerima dengan pertimbangan bahwa orang tua si gadis adalah orang kaya dan nanti setelah menikah kita bisa menggunakan harta bendanya untuk berdakwah. Pernikahan pun dilaksanakan dan hanya dalam tempo beberapa tahun bangunan pesantren pak Ustadz begitu megah karena memang mertuanya kebetulan seorang kaya raya yang dermawan dan sangat perhatian dengan kemajuan agama. Waktu terus berjalan hingga entah karena apa, terjadi percekcokan antara mertua dan menantu hingga akhirnya menantu harus meninggalkan rumah mertua dan bangunan pesantren yang megah untuk selanjutnya merintis dari bawah dengan bangunan pesantren ala kadarnya.

Suatu ketika saya berkunjung ke seorang teman yang sedang bertugas dakwah di suatu desa. Sampai di sana perasaan kaget segera menyergap begitu melihat kondisinya yang jauh di bawah standar kesejahteraan.  Percakapan pun mengalir di antara kami berdua hingga sampai pada pembahasan latar belakang keberadaan teman di desa tersebut. Teman saya itu bercerita bahwa pada awal menikah ia bersama isteri tinggal di rumah mertua, tetapi karena seringkali terjadi ketidak cocokkan antara diri dan mertua maka ia memutuskan membawa isterinya kelur dari rumah mertua kendati di sana penuh dengan kemewahan hidup.  Saya berkata,, “Mertuamu orang kaya, isterimu anak orang kaya. Kenapa ini terjadi, pasti dulu ketika memutuskan menikah, motivasi utama adalah karena harta kekayaan ?” mendengar ini, teman saya itu dengan terus terang mengakui memang dulu ia mau menikah karena isterinya ini anak orang kaya.

Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa barang siapa yang niat sesuatu selain Alloh, barang siapa yang mencintai selain Alloh maka ia pasti diuji dengan sesuatu tersebut. Ternyata hal ini sudah jauh hari sudah diingatkan oleh Rosululloh SAW, “Barang siapa yang menikahi wanita karena kemuliaannya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita karena hartanya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kemiskinan. Barang siapa yang menikahi wanita karena nasabnya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kerendahan. Dan barang siapa menikahi wanita semata untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan atau menyambung kerabat maka Alloh pasti memberi berkah... “HR Thobaroni.

Niat dan motivasi karena Alloh dalam pernikahan bukan hanya diwajibkan atas calon suami dan isteri tetapi bagi para wali wanita juga harus menjadikan Alloh sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan menantu, suami untuk anak perempuan yang sejak kecil ia merawat dan mendidiknya dengan susah payah karena ia berprinsip seperti yang diajarkan oleh Rosululloh SAW bahwa anak perempuan memiliki keistimewaan menjadi benteng dari api nereka bagi orang tuanya jika anak perempuan mendapat perawatan dan pendidikan dengan baik. Fase terakhir pendidikan yang baik yang harus diberikan orang tua kepada anak perempuan adalah mencarikan lelaki yang baik dan sholeh yang mampu membimbing anak gadisnya untuk mengenal dekat Alloh SWT. Sungguh suatu hal yang percuma bila orang tua mendidik anak perempuan dengan baik lalu menikahkan anak itu dengan lelaki jelek yang jauh dari kriteria kesholehan. Ini namanya, “Anda membangun orang lain yang menghancurkan” . Seorang datang bertanya kepada Hasan bin Ali ra, “Saya mempunyai anak perempuan, menurut anda dengan siapa saya akan menikahkannya?”  Hasan ra menjawab, “Nikahkanlah anakmu dengan lelaki yang bertaqwa. Jika ia mencintai puterimu maka ia pasti memuliakannya, tetapi jika marah maka ia tidak akan menganiayanya” Aisyah ra juga berpesan kepada wali wanita, “Pernikahan itu perbudakan maka hendaknya ia melihat di mana ia menaruh anak perempuannya” Imam Sya’bi berkata, “Barang siapa menikahkan anak perempuannya dengan orang fasiq berarti ia memutuskan tali kekeluargaan anaknya”[2]

Nabi SAW sendiri pernah bersabda, “Jika datang kepada kalian lelaki yang kalian rela dengan agamanya maka nikahkanlah dia. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang melebar”[3] entah apa maksud fitnah dan kerusakan yang lebar, yang pasti jika pernikahan tidak didasarkan atas agama Alloh pasti ujian Alloh akan datang. Seorang wanita sedang melakukan suatu pekerjaan yang tidak lumrah baginya, sebab biasanya ia hanya sibuk mengurus rumah dan jarang sekali keluar rumah apalagi bekerja mencari nafkah di luar rumah. Tetapi kini sehari – hari dia menekuni pekerjaan sebagai buruh tani dengan upah tidak seberapa. Ternyata ini dia lakukan untuk membantu beban keluarga sebab suaminya yang kini sudah tidak lagi bekerja karena sakit dan banyak harta benda simpanan yang sudah habis terjual. Usut – punya usut ternyata dulu sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, wanita ini pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Hari pernikahan sudah ditentukan tetapi oleh orang tuanya digagalkan karena ada seorang lelaki lain (suaminya yang sekarang) yang lebih kaya datang melamar. Pada awal pernikahan memang terlihat sekali kesejahteraan yang dirasakan, akan tetapi setelah tahun demi tahun berlalu barulah cobaan Alloh datang dan kini wanita tersebut hanya bisa meratapi nasibnya.  Calon suaminya yang dulu dibatalkan oleh orang tuanya sekarang justru lebih kaya dan lebih bisa mensejahterakan isterinya jauh dengan kesejahteraan yang ia terima dari suaminya.

Dalam dunia umat islam yang sudah terkena penyakit Wahan[4] ini banyak sekali orang tua yang mendasarkan pilihan menantu pada pekerjaan, status sosial dan kekayaan menantu. Ada rasa gengsi tersendiri bila mendapat menantu anak orang kaya atau memiliki kedudukan. Keadaan ini menjadikan banyak para wali wanita lupa bahwa menikahkan anak wanita merupakan ladang yang sangat subur untuk mendapat pahala besar dari Alloh. Nabi SAW bersabda:

          ...مَنْ زَوَّجَ ِللهِ تَوَّجَهُ اللهُ تَاجَ الْمُلْكِ
 “...Barang siapa menikahkan karena Alloh maka Alloh pasti memakaikan mahkota raja untuknya” [5]

Jika dikembangkan makna hadits ini adalah betapa Alloh Maha Pemberi anugerah memberi pahala amal manusia jauh lebih tinggi dari pada amal tersebut. Ibaratnya setetes keringat sejuta nikmat yang didapat. Hanya dengan menikahkan karenaNya seorang mendapat kemuliaan yang begitu tinggi di sisiNya. Mungkin sekali yang dinilai olehNya adalah niat dan tujuan karenaNya, sebab hal seperti ini jarang sekali dilakukan oleh kebanyakan wali wanita saat menikahkan anak gadisnya. Ada beberapa amal yang sepertinya sedikit tetapi mendapat penghargaan tinggi dari Alloh, di antaranya, 1) Sholat tahajjud meski hanya sebagian dari malam maka Alloh menjanjikan kemulian bagi orang yang melakukannya. Di sini Alloh tidak melihat sedikitnya rokaat, tetapi melihat kepeduliaan bangun di malam hari untuk mengingatNya saat banyak orang masih tidur 2) Sholat Dhuha, kendati dua rokaat tetapi bisa menjadi sedekah 360 persendian manusia yang semuanya menuntut untuk disedekahi. Yang dilihat Alloh adalah kepedulian pelakunya yang menyempatkan diri mengingat Alloh saat banyak orang sibuk dengan aktivitas dunia. Nabi SAW bersabda:
          عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا
“Dia beramal sedikit tetapi mendapat pahala banyak” [6]

Hadits ini bermula ketika seorang lelaki dengan wajah tertutup besi (Muqonna’) datang dan berkata, “Wahai Rosululloh, saya berperang lalu masuk islam? Nabi SAW menjawab, “Masuklah islam dan kemudian berperanglah!”lelaki itu kemudian masuk islam dan berperang lalu meninggal di medan peperangan. Mengetahui ia gugur maka Nabi SAW bersabda seperti di atas.





[1] HR Abu Nuaim dalam al Hilyah 3 / 255 – al Khothib al Baghdadi dalam Tarikhul Baghdad 9 / 237.
[2] Lihat az Zawaajul Islaam al Mubakkir Hal 57 – 58
[3] HR Turmudzi – Ibnu Majah
[4] Cinta dunia dan enggan mati
[5] HR Abu Dawud No 4778
[6] HR Bukhori 

Menjadi Qowwam yang Sukses





Islam mengajarkan bahwa lelaki adalah Qowwam bagi wanita seperti disebutkan dalam firman Alloh:

          الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...
“Para lelaki adalah Qowwam bagi para wanita sebab keutamaan yang diberikan oleh Alloh kepada sebagian (lelaki) atas sebagian yang lain dan sebab yang mereka belanjakan dari harta mereka...”QS an Nisa’: 34.

Ayat ini banyak disalah artikan sebagai sebuah nash yang menyatakan bahwa lelaki adalah penguasa atas wanita. Keadilan akan lebih terasa jika kata Qowwam diartikan sebagai orang yang banyak tanggung jawab. Dengan begitu makna ayat ini adalah bahwa lelaki (suami) memiliki banyak tanggung jawab kepada wanita (isteri). Dan memang pada kenyataannya demikian, lelaki kendati berhak mendapat pengabdian dari isteri tetapi di sisi lain banyak beban juga menumpuk di pundak lelaki. Beban tanggung jawab atau secara halus tugas yang dimaksud adalah seperti berikut:

1) Memberi Nafkah

Saat akad nikah telah terlaksana dan ketika suami telah mereguk madu isteri maka saat itulah suami bertanggung jawab memberi nafkah yang meliputi memberi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kendati hal ini wajib bagi suami, akan tetapi kemurahan Alloh memutuskan bahwa hal ini merupakan sedekah yang paling utama bagi suami. “Dinar yang kamu belanjakan di jalan Alloh, Dinar yang kamu belanjakan untuk memerdekakan budak, Dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, Dinar yang  kamu berikan kepada keluargamu. Yang paling banyak pahalanya adalah Dinar yang kamu berikan kepada keluargamu!”HR Muslim. Mencari nafkah untuk keluarga bagi sebagian orang bisa jadi sangat mudah, tetapi bagi kebanyakan orang hal ini merupakan suatu tugas yang berat dan penuh tantangan meski di sana juga terselip rasa senang. Karena itulah perlu kehati – hatian agar bisa selamat sampai tujuan yaitu mendapat rizki yang halal. Jabir bin Abdillah ra juga meriwayatkan sabda Nabi SAW yang artinya: “Wahai manusia! takutlah kalian kepada Alloh dan berbuat baiklah dalam mencari. Sungguh seorang tak akan mati sebelum memperoleh semua rizkinya meski rizki itu lambat datang kepadanya. Takutlah kepada Alloh dan berbuatlah indah dalam mencari, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram”[1] Beratnya mencari nafkah Halal untuk isteri dan keluarga ternyata terbukti dengan besarnya penghargaan yang diberikan oleh Islam. Nabi SAW bersabda:

إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًا لاَ يُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَلاَ الصَّوْمُ وَلاَ الْحَجُّ وَيُكَفِّرُهَا الْهَمُّ فِى طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ
“Sesungguhnya sebagian dosa- dosa ada dosa – dosa yang tidak bisa dilebur oleh sholat, tidak puasa dan tidak haji. Dosa – dosa itu (ternyata hanya bisa) dilebur oleh susah dalam mencari nafkah”[2]

Kesusahan dan kesulitan mencari nafkah Halal terkadang bisa membutakan mata banyak orang sehingga diperlukan keteguhan dan kekuatan hati untuk berusaha maksimal menghindari jalan haram. Keteguhan itu bisa jadi datang dari suntikan semangat seorang isteri. Para wanita sholehah zaman dahulu senantiasa berpesan kepada suaminya yang hendak pergi mencari nafkah, “Waspadalah dan berhati – hatilah dari jalan haram. Sungguh kami rela dan bisa menahan rasa lapar tetapi kami tak kuasa menahan panasnya api neraka”. Sebaliknya terkadang justru isteri sendiri yang mendorong dan menjadikan suami bertindak nekat dan buta mata menghalalkan yang haram dalam menjemput rizki dari Alloh. Apakah ada isteri semacam ini? Jawabnya jika memang tidak ada tentu Rosululloh SAW tidak bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Fussaaq itu penduduk neraka” dikatakan, “Duhai Rosululloh, siapa Fussaaq itu?” Beliau SAW menjawab, “Para wanita” seorang berkata, “Bukankah para wanita adalah para ibu, saudara dan isteri – isteri kita?” Nabi SAW menjawab, “Memang begitu, tetapi mereka jika diberi tidak pernah berterima kasih dan jika diuji maka tidak pernah bersabar”[3]para isteri yang tidak berterima kasih dan selalu menuntut lebih dari suami inilah yang seringkali memberi andil dalam ketidakberesan suami ketika mencari nafkah. Karena itu duhai para  wanita saudara Fathimah al Batuul, berterima kasihlah. Dukung dan kuatkan hati suami untuk bisa teguh meniti jalan Halal. Terimalah dengan lapang dada segala kekurangan. Jangan anda banyak menuntut. Sungguh tanpa anda tuntut pun naluri suami adalah ingin memberi yang terbaik dan terbanyak buat isteri. Sungguh hati suami merasa sedih bila melihat isteri kurang tercukupi dan akan semakin bertambah sedih bila isteri menuntut yang lebih.

2) Pergaulan yang Baik.

Abdulloh bin Abbas ra, pernah mengatakan, “Sungguh aku sangat suka berhias diri untuk isteri seperti halnya aku sangat senang hati melihat isteri berhias untukku”. Bila tugas wanita adalah senantiasa bisa membuat suami tentram dan senang maka sebaliknya tugas lelaki adalah mempergauli isteri dengan baik, “Dan pergaulilah isteri – isteri kalian dengan baik”QS an Nisa’: 19, dan salah satunya adalah dengan membersihkan dan menghias diri sebagaimana biasa dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Artinya jika suami membutuhkan wanita yang bersih dan pandai menghias diri maka sebaliknya isteri juga demikian, ia juga senang bila melihat suami tampil cantik dan menarik.

Selain itu suami harus bersikap santun dan berlapang dada menghadapi kekurangan isteri. Sebab kekurangan itu tidak lebih hanya duri yang melekat pada ikan. Ingat Umar ra yang hanya diam dan mendengar celoteh isterinya.  Prinsip Beliau, kendati isteri berkata begini dan begitu yang menusuk perasaan tetapi ia tetap memasak dan membikin roti serta merawat anak – anak.

          لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا أُخْرَي
“Jangan seorang mu’min (suami) membenci mu’minah (isteri). Jika ia marah terhadap salah satu prilaku isteri maka pasti ia rela terhdap prilaku lain darinya” HR Muslim.

Memang tidaklah muda berlapang  dada menghadapi prilaku buruk isteri  Nabi  SAW sendiri pernah sampai menjatuhkan talak kepada Hafshoh binti Umar ra sebelum akhirnya Jibril datang dan meminta agar kembali merujuk Hafshoh. Beratnya berlapang dada inilah yang kemudian menjadikan tidak setiap suami bisa melakukannya.

3) Menjaga dan Mendidik

Dibanding dengan dua poin di atas, tugas menjaga dan mendidik isteri mungkin yang paling repot. Ini terbukti dengan banyaknya suami yang hanya sibuk mengurus belanja isteri dan bagaimana cara menjaga kemesraan. Sementara tugas penting yang berupa mengontrol prilaku isteri terabaikan. Fungsi utama dari tugas ini adalah menjauhkan isteri dari neraka serta mengajaknya bersama ke surga. “Jagalah diri dan keluargamu dari neraka!”QS at Tahriim: 6. Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam tanggung jawab menjaga dan mendidik ini yaitu; a) mengontrol sholat dan puasa isteri, “Jika wanita sholat lima waktu, puasa sebulan penuh (Romadhon), menjaga kemaluannya dan taat pada suaminya maka ia pasti masuk surga Tuhannya” (HR Ibnu Hibban dari Abu Huroiroh). b) mengajarkan kedermawan, sifat pemurah dan peduli kepada sesama, “Wahai Aisyah, belilah dirimu dari Alloh meski hanya dengan secuil kurma Aku sama sekali tidak bisa menanggungmu dari Alloh” dalam riwayat lain dengan teks hadits, “Wahai Aisyah, berhijablah dari neraka meski hanya dengan secuil kurma” HR Thobaroni.  c) mengajarkan isteri supaya tidak melakukan aktifitas Tabarruj yakni membuka aurat. Artinya mewajibkan isteri supaya berjilbab. “Dan janganlah kalian melakukan Tabarruj seperti orang – orang jahiliyyah” QS al Ahzaab: 33.  “Wahai Nabi, katakanlah kepada para isterimu, anak – anak perempuanmu...dan para wanita beriman supaya mereka menjuntaikan jilbab merekaa....” QS al Ahzaab: 59 “...dan jangan mereka menampakkan perhiasaan mereka kecuali kepada suami – suami mereka”QS al Ahzaab: 31. Imam al Farro’ menyebutkan bahwa maksud Tabarruj adalah memakai pakaian transparan hingga warna dan lekuk tubuh kelihatan. Sementara berjilbab seperti lazim dimengerti adalah memakai pakaian yang bisa menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. 

Seorang teman mengatakan: Para wanita sekarang banyak yang hanya menjadi isteri suami pada malam hari sementara di siang hari menjadi isteri banyak lelaki. Saya bertanya kenapa demikian? Teman saya itu menjawab, “Ia, karena wanita biasa telanjang di malam hari dan hanya dilihat oleh suami. Sementara di siang hari banyak para wanita biasa membuka kepala, leher, bentuk dada, paha, betis dan kaki sehingga banyak lelaki lain selain suaminya bisa menikmati keindahannya”. Selanjutnya disarankan bagi para suami agar memberikan waktu yang banyak untuk isteri agar tetap di rumah dan tidak membiarkan begitu saja isteri pergi ke sana kemari tanpa ada urusan jelas dan mendesak. Sebab semakin banyak wanita beraktifitas di luar rumah maka semakin banyak pula waktu mengurus rumah terbuang dan seperti diyakini oleh banyak orang sholeh bahwa banyak beraktifitas di luar rumah justru menimbulkan efek yang tidak baik bagi moral isteri.

Selain itu, suami hendaknya tidak dengan mudah memberikan kesempatan kepada dokter pria untuk memeriksa kesehatan isteri kecuali dalam keadaan terpaksa. Atau jangan pula dengan mudah menerima pembantu rumah tangga lelaki sementara tugas – tugas yang diberikan bisa dan mungkin dikerjakan oleh pembantu wanita. Kisah Nabi Yusuf as dan Zulaikho’ disebut dalam Alqur’an bukan berarti tanpa tujuan. Sungguh salah satu tujuan yang mesti dimengerti dari pemaparan kisah tersebut adalah bahwa keberadaan lelaki lain (Ajnabi) yang tidak mahrom bagi isteri dan hilir mudiknya di rumah kita suatu saat pasti akan membawa bencana.

Cemburu untuk Isteri

Prof DR As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mengatakan[4] bahwa cemburu (Ghoiroh) kepada isteri dan wanita yang menjadi tanggung jawabnya merupakan suatu moral terpuji dan sangat dituntut Islam serta memang secara akal harus muncul. Sungguh sangat sayang ketika sebagian orang yang berlabelkan cendikiawan dan lokomotif kemajuan justru salah merespon kecemburuan ini dan mengeluarkan kritik menyakitkan berupa tuduhan bahwa kecemburuan ini tak lain adalah bukti kebodohan, goblok dan fanatik serta bertentangan dengan ilmu kemajuan. Sungguh tuduhan seperti ini tidak lebih adalah bisikan – bisikan setan yang menjelma melalui pemahaman dan lisan para cendikiawan yang cara berfikirnya sudah terkontaminasi atau bahkan teracuni oleh peradaban rendah Barat dan Eropa....

Kembali kepada cemburu untuk isteri, dalam hal ini selama cemburu dalam batas yang normal maka Islam sangat mendukung dan memujinya. “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih pencemburu daripada Sa’ad dan Alloh lebih pencemburu daripada aku” “Tiada seorang yang lebih pencemburu melebihi Alloh. Karena itulah Dia mengharamkan keburukan – keburukan (Fawaahisy) HR Bukhori dan masih banyak lagi hadits Nabi SAW yang intinya memupuk dan menumbuhkan kecemburuan para suami untuk isterinya. Ini karena meski secara naluri dalam diri manusia telah tertanam rasa cemburu kendati demikian kadar kecemburuan masing – masing orang berbeda. Jika Uwaimir al Ajlaani pernah bertanya bagaimana bila suami melihat lelaki lain bersama isteri, apakah ia membunuh lelaki itu ataukah bagaimana? maka lain halnya dengan Sa’ad bin Ubadah. Ketika ditanya Rosululloh, “Wahai Sa’ad bagaimana jika kamu mendapati isterimu bersama lelaki lain?” maka Sa’ad bin Ubadah dengan mantap menjawab: “Saya pasti membunuh lelaki  itu”  mendengar jawaban ini Nabi SAW lalu bersabda seperti tersebut.

Selain Sa’ad bin Ubadah dan Uwaimir al Ajalaani, dari kalangan sahabat banyak sekali kisah yang menggambarkan betapa mereka adalah manusia yang bergengsi dan memiliki Muru’ah tinggi. Salah satu wujud dari Muru’ah tersebut adalah perhatian mereka akan masalah ini. Salim bin Ubed bin Robi’ah sejak kecil diasuh dan hidup bersama dalam keluarga Abu Hudzaifah ra. Ketika Salim sudah besar dan mengerti seperti apa yang dimengerti oleh kebanyakan lelaki maka Abu Hudzaifah merasa risih dan tidak suka. Kecemburuannya sebagai suami yang isterinya banyak berinteraksi dengan lelaki lain muncul hingga isterinya Sahlah binti Suhel akhirnya datang kepada Rosululloh SAW untuk mengadukan masalah ini.  Oleh Nabi SAW, Salim mendapat izin dan kemurahan sehingga mulai saat itu perasaan Abu Hudzaifah kembali tenang[5]. Meskipun rasa cemburu suami untuk isteri menunjukkan akan kredibilitas dan kesungguhan suami menjaga dan mendidik isteri akan tetapi tidak semestinya cemburu itu terus menerus dituruti. Sebab bisa jadi cemburu itu datang menyerang tanpa alasan yang jelas. Cemburu seperti inilah yang menjadikan isteri merugi. Nabi Dawud as pernah berpesan kepada Nabi Sulaiman as: “Wahai anakku, jangan kamu banyak cemburu kepada isterimu tanpa ada alasan. Sebab dengan begitu kamu menjadi sebab isterimu dituduh yang bukan – bukan padahal ia bersih dari semuanya”.

Sebaliknya ketika seorang suami sama sekali tidak cemburu jika isterinya membuka aurot, ada lelaki tidak mahrom yang dengan bebas keluar masuk rumah mereka maka suami model begini ini mendapat predikat dari Rosululloh SAW sebagai seorang Dayyuts atau Shoquur di mana dua kata ini dalam sebagian Kamus Arab Indonesia diartikan Germo. Dari Amar bin Yasir ra Nabi SAW bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ أَبَدًا الدَّيُّوْثُ وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ وَمُدْمِنُ الْخَمْرِ

“Tiga orang yang tidak akan masuk surga; yaitu orang yang menjual kehormatan keluarganya (Dayyuts), wanita yang menyerupai lelaki dan peminum Khomer” HR Thobaroni.

Masih tentang tugas suami sebagai Qowwaam, ada banyak hal yang menjadi alasan kenapa lelaki yang memiliki tugas ini dan bukan sebaliknya. Hal tersebut adalah: 1) Pria lebih kuat dan tangguh dibanding wanita dalam mengemban beban di medan kehidupan. Proyek – proyek besar dikendalikan oleh kaum pria. Peperangan juga dipimpin oleh pria, 2) Akal dan agama lelaki mengungguli wanita dengan nash hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya, “Tak kulihat dari yang kurang akal dan agama yang mengalahkan yang memiliki akal (kaum pria) daripada salah seorang kalian (para wanita)” HR Abu Dawud, 3) Kesaksian dua orang wanita sejajar dengan kesaksian seorang pria. Firman Alloh, “....maka jika dua saksi itu tidak dua orang lelaki maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari orang – orang yang kalian rela mereka menjadi para saksi”QS al Baqoroh: 282, 4) Wanita tidak dituntut menghadiri jamaah sholat, “Sholatmu di rumahmu lebih utama daripada sholatmu di masjid kaummu” HR Ahmad – Thobaroni, 5) Wanita tidak wajib sholat Jum’at, “Jum’at wajib bagi setiap orang Islam dalam berjamaah kecuali empat oran; hamba sahaya, wanita[6], anak kecil atau orang sakit” HR Abu Dawud, 6) Lelaki boleh menikah dengan empat wanita dengan syarat bisa berbuat adil[7] di antara mereka. Sementara bagi wanita hanya diperkenankan memiliki seorang suami, 7) Dalam warisan bagian wanita separuh bagian lelaki, “Bagi lelaki seperti bagian dua wanita” QS an Nisa’: 11, 8) Wanita tidak boleh pergi sendirian tanpa disertai Mahrom.  Suatu hal yang mesti difahami bahwa kelebihan – kelebihan tersebut adalah kelebihan dalam sisi jenis lelaki atas jenis wanita, bukan keunggulan masing – masing individu pria mengalahkan per individu wanita. Wallohu A’lam. 




[1] HR Hakim dan Ibnu Majah. Lafazh milik Ibnu Majah. Lihat Targhib Wa Tarhiib Bab at Targhiib Fiktisaabil Halal.
[2] HR Thobaroni. Dalam riwayat Dailami juga disebutkan sabda Nabi SAW:
                إِنَّ فِى الْجَنَّةِ دَرَجَةً لاَ يَنَالُهَا إِلاَّ أَصْحَابُ الْهُمُوْمِ
“Sesungguhnya di surga ada derajat yang tidak bisa didapatkan kecuali oleh para pemilik kesusahan (susah dalam mencari ma’isyah / penghidupan)”
[3] HR Ahmad dari Abu Rosyid al Himyari (Lihat Ahkaamun Nisa’ / bab 60. Abul Faroj Ibnul Jauzi)
[4] Ad Da’wah al Ishlaahiyyah 74.
[5] Kisah tentang hal ini bisa dilihat dalam Shohih Muslim Kitaabur Rodhoo’ Bab Rodhoo’atul Kabiir  Hadits No 1453.
[6] Meski tidak wajib tetapi wanita boleh ikut jamaah jum’at dan tidak usah lagi melakukan sholat Zhuhur. Ini adalah satu bentuk gugurnya amal wajib dengan melakukan aktivitas amal sunnah.
[7][7] Adil di sini adalah adil dalam menggilir (al Qosmu). Adapun Adil dalam cinta dan senggama maka itu di luar batas kemampuan manusia. Sebab masing – masing isteri tentu memiliki daya tarik yang berbeda. Nabi SAW sendiri selaku manusia terbaik seperti disebutkan oleh Aisyah ra bersabda, “Ya Alloh, inilah gilir yang bisa saya lakukan. Maka jangan Engkau mencelaku dalam sesuatu yang tak bisa saya lakukan”  HR Ashhaabus Sunan.

Mawar Indah Bersemi




Sudah menjadi keputusan Alloh bahwa Dia menanamkan benih – benih rasa cinta di hati manusia sebagaimana tersebut dalam firmanNya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَـوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَـنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ...

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan apa  - apa yang diingini, yaitu wanita – wanita, anak – anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang – binatang ternak dan sawah ladang...”QS Ali Imron: 14.

Dunia ini penuh dengan aneka ragam kesenangan seperti disebut ayat ini, di mana masing – masing dari kesenangan tersebut berpeluang menarik simpati dan mengikat hati orang yang menyukai dan mencintainya dan ketika simpati sudah tergaet serta hati sudah terikat maka saat itulah sangat mungkin bagi manusia sibuk dengan kesenangan tersebut dan melupakan kesenangan abadi. Karena itulah dalam lanjutan ayat Alloh memberi peringatan, “....itu semua adalah perhiasan kehidupan dunia dan di sisi Alloh ada tempat kembali yang lebih baik” QS Ali Imron: 14. Di antara kesenangan – kesenangan dunia yang sangat mungkin menggoda setiap lelaki adalah kesenangan kepada para wanita. Rasa senang dan cinta kepada wanita inilah yang kemudian menarik hati lelaki untuk selanjutnya menyukai kesenangan – kesenangan lain. Karena itulah cinta kepada wanita disebut dalam urutan pertama. Mencintai wanita tidak masalah karena hal itu bagian dari kesempurnaan seorang pria. Disebutkan bahwa Ibnu Umar ra melihat seorang wanita cantik di antara tawanan maka Beliau tidak sabar hingga mencium wanita itu di hadapan banyak orang. Kendati demikian penyebutan cinta kepada wanita dalam nomor urut pertama juga bermakna kewaspadaan. Artinya ketika rasa cinta kepada wanita telah mengikat sukma maka saat itulah seorang lelaki harus betul – betul waspada dalam menjaga diri. Memang dalam cinta (kepada wanita) ada rasa manis dan gurih tetapi di sana ada seribu kepahitan dan bahkan kematian. Dalam cinta ada kolam madu, sungai susu tetapi selanjutnya adalah lautan empedu. Oleh sebab itu ketika mendengar seorang wanita berkata, “Sesungguhnya para wanita adalah wewangian dan kalian para lelaki seluruhnya suka mencium wewangian itu” maka Umar ra segera berkata, “Sesungguhnya para wanita adalah setan – setan yang diciptakan untuk kami maka kami berlindung kepada Alloh dari keburukan setan – setan”.

Ketika seorang pria mencintai wanita maka usaha yang harus dilakukan adalah menormalkan cinta tersebut dan jangan sampai kebablasan. Ingat pesan Rosululloh SAW, “Cintailah kekasihmu sedang – sedang saja, sebab sangat mungkin dalam waktu dekat ia bisa menjadi musuhmu....”HR Turmudzi. Sebab jika tidak begitu maka dampak negatif dari cinta itu akan segera terasa. Dampak negatif yang dimaksud adalah:

  1. Sibuk dengan makhluk yang dicintai sehingga jauh dari menyebut dan menyintai Alloh. Cinta kepada wanita dan cinta kepada Alloh tak akan pernah terkumpul dalam satu wadah hati. Jika salah satu hadir maka yang lain pun pergi.
  2. Hati merasa tersiksa. Sungguh orang yang mencitai sesuatu selain Alloh maka ia  pasti disiksa dengan sesuatu tersebut. Pepatah berkata, “Tiada di bumi ini yang paling celaka melebihi seorang pecinta meski ada rasa manis di sana. Kamu saksikan ia menangis setiap saat karena kerinduan atau kekhawatiran. Jika jauh dengan yang dicinta maka ia sakit tertusuk kerinduan dan bila bersama yang dicinta maka ia menderita khawatir berpisah. Matanya panas saat berjumpa dan matanya panas saat berpisah” jadi cinta dan kerinduan meski terasa manis tetapi sebenarnya adalah siksaan hati yang paling pedih.
  3. Seorang pecinta hatinya tertawan oleh yang dicintai tak ubahnya seperti seekor burung di tangan anak kecil. Menjadi alat kesenangan dan permainan sebelum akhirnya dilempar ke telaga penderitaan
  4. Pecinta menjadi lupa kebaikan dunia dan akhiratnya. Jadi tiada sesuatu sebab yang hebat menghilangkan kebaikan dunia dan akhirat melebihi cinta.
  5. Bencana dunia dan akhirat lebih cepat datang menyerang para pecinta daripada api datang melalap kayu bakar. Sungguh jika hati dekat dan sibuk dengan rindu maka hati itu jauh dari Alloh. Jadi hati yang paling jauh dari Alloh adalah hati para pecinta. Jika hati telah jauh dari Alloh maka bencana pasti datang dari segala arah. Setan akan menguasainya dan membawanya kepada segala macam bencana.
  6. Jika cinta begitu kuat menancap dalam hati maka saat itulah fungsi akal menurun dan menjadikan pecinta tak ubahnya seperti orang gila atau bahkan lebih gila daripada orang gila. Kasus seperti ini tidak terhitung jumlah dan salah satunya adalah yang menimpa pecinta Qoes al Majnun yang sudah sangat terkenal kisahnya.
  7. Cinta bisa menjadi daya kerja indera rusak atau paling tidak melemah baik secara maknawi (non fisik) atau Shuwari (fisik). Secara maknawi bisa disaksikan indera pecinta sudah tak mampu lagi bekerja dengan baik sehingga melihat, merasakan dan mendengar segala dari dan tentang yang dicinta seluruhnya baik dan indah. Rosululloh SAW bersabda, “Kecintaanmu pada sesuatu itu membuat buta dan menjadikan tuli” HR Abu Dawud. Secara Shuwari  cinta menjadikan pecinta sakit atau lemah tubuhnya. Sorang pemuda yang kelihatan kurus kering dibawa ke hadapan Ibnu Abbas ra yang sedang berada di Arofah. “Kenapa dengan pemuda ini?” tanya Ibnu Abbas ra. Mendengar bahwa pemuda itu sedang dilanda cinta berat maka sepanjang hari Beliau berdo’a memohon perlindungan Alloh dari cinta berat kepada wanita.

Besarnya resiko dan bahaya yang mungkin menerjang para pecinta ini mendorong Rosululloh SAW sangat mengasihi para pecinta sehingga Beliau SAW membantu para pecinta untuk mendapatkan cintanya agar kecintaan itu tidak semakin menyiksanya. Melihat Mughits terus berjalan menguntit Bariroh (setelah bercerai) dengan air mata berlinangan maka Nabi SAW bersabda kepada Bariroh, “ Bagaimana jika kamu kembali kepadanya (Mughits) ” Bariroh bertanya, “Wahai Rosululloh, apakah ini perintah?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, aku cuma memohon (untuk Mughits)” Bariroh lalu mengakui dengan jujur, “Saya sudah tidak butuh lagi kepadanya” mendengar ini Nabi SAW lalu bersabda kepada Abbas ra pamannya, “Hai Abbas,  apakah engkau tidak takjub dengan cinta Mughits kepada Bariroh dan kebencian Bariroh kepada Mughits?” Jelas sekali di sini bahwa Nabi SAW tidak ingkar terhadap cinta Mughits kepada Bariroh sebab hal itu di luar batas kemampuan manusia untuk menolaknya.

Ali Karromallohu Wajhah juga demikian, melihat ada seorang anak muda begitu mencintai sahaya milik Mihlab bin Robah maka Beliau datang kepada Mihlab dan memohon supaya Mihlab memberikan sahaya wanitanya kepada pemuda itu yang diketahui bernama Nuhas bin Uyainah. Muawiyah bin Abi Sufyan ra juga demikian, pernah Beliau membeli seorang sahaya wanita jelita (Jariyah)  dan diboyong ke rumahnya. Di suatu malam saat banyak orang telah terlena dalam tidur, Muawiyah mendengar rintihan kerinduan dari Jariyah tersebut. Beliau lalu bertanya  dan mendapat jawaban bahwa Jariyah itu sangat mencintai majikannya. Akhirnya Muawiyah mengembalikan Jariyah itu kepada majikannya. Sulaiman bin Malik memiliki sahaya pria (Ghulaam) dan wanita (Jaariyah) yang keduanya saling jatuh cinta. Suatu hari Ghulaam menulis: “Dalam tidur aku melihat dirimu seakan memberiku minuman dingin menyegarkan, telapak tanganmu bertemu dengan telapak tanganku dan sepertinya kita menginap dalam satu ranjang. Akhirnya seharian aku memaksakan diri tidur agar bisa bermimpi bertemu denganmu tetapi aku tidak bisa lagi memejamkan mataku” tulisan ini dijawab oleh Jariyah dengan tulisan pula: “Mimpimu sungguh baik dan kamu pasti akan mendapatkan semua yang anda impikan meski ada orang yang iri hati. Sungguh aku sangat berharap anda memeluk dan tidur bersamaku di atas montok payudaraku...” hal ini akhirnya sampai di telinga Sulaiman hingga ia kemudian menikahkan sepasang anak muda itu meski Sulaiman sendiri merasa sangat cemburu.

Jatuh cinta tidaklah berdosa karena itulah ketika ditanya tentang orang yang jatuh cinta Umar bin Khotthob ra menjawab, “Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dikuasai” seorang penyair Hijaz, Jami bin Murkhiyah bertanya, “Apakah seorang pecinta berat itu berdosa?” Said bin Musayyib menjawab, “Yang dicela adalah apa yang bisa anda lakukan”  maksudnya yang tercela adalah dampak negatif yang ditimbulkan dari cinta berat tersebut. Betapapun besar dan kuat dorongan cinta, akan tetapi bukan berarti tidak bisa ditahan. Memang hal ini sangat sulit dilakukan, karena itulah penghargaan tinggi bagi yang mampu menahan diri kala cinta sedang menindih. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Empat hal yang bila berada dalam diri seseorang maka Alloh mengharamkan orang tersebut atas neraka dan Dia pasti menjaganya dari setan; orang yang menahan diri ketika menyukai, ketika merasa takut, ketika menginginkan sesuatu, dan ketika marah” (HR Hakim at Tirmidzi dalam Nawaadirul Ushuul)  Ibnu Abbas ra juga berkata, “ Barang siapa yang terkena cinta berat lalu menyimpan dan menahan diri dari dosa dan ia mau bersabar maka Alloh pasti memberinya ampunan dan memasukkannya ke dalam surga”. Sungguh jatuh cinta bisa mengenai siapa saja termasuk orang – orang yang berilmu dan ahli ibadah, akan tetapi ilmu dan kedekatan mereka dengan Alloh menjadikan mereka  bisa menahan  dan mengontrol diri dengan baik sehingga tidak hanyut oleh demam perasaan cinta yang menderanya. Di antara nama ulama tersebut adalah Abdulloh bin Abdulloh bin Utbah, Umar bin Abdul Aziz kholifah adil yang tercatat pernah jatuh cinta begitu hebat kepada Jariyah (sahaya wanita) milik Fathimah isterinya. Disebutkan bahwa ketika belum menjadi Kholifah, Umar begitu cinta kepada Jariyah tersebut hingga Beliau meminta kepada Fathimah isterinya, “Berikanlah (Hibbahkanlah) Jariyah itu kepadaku!” Berulangkali Umar meminta tetapi Fathimah tetap tidak memberikannya. Barulah ketika Umar diangkat menjadi Kholifah maka Fathimah berkata kepada suaminya, “Dulu memang saya tidak mau, tetapi sekarang saya rela memberikan Jariyah itu kepada engkau” Mendengar ini Umar sangat gembira dan berkata, “Kalau begitu cepat hias dia dan segera antarkan kepadaku” setelah berada di dalam kamar berdua dengan Jariyah itu Umar dengan senang hati berkata, “Bukalah pakaianmu!” setelah Jariyah mulai membuka baju, Umar menahan, “Sebentar, ceritakanlah siapa majikanmu dulu dan bagaimana kamu bisa menjadi milik Fathimah (isteriku)!” Jariyah itu menjelaskan, “Hajjaj memberikan denda harta kepada salah satu bawahannya (Amil) di Kufah dan kebetulan saya adalah sahaya Amil tersebut. Hajjaj akhirnya membawaku dan memberikan diriku kepada Abdul Malik dan oleh Abdul Malik aku dihibahkan kepada Fathimah” Umar bertanya, “Lantas bagaimana keadaan Amil itu sekarang?” Jariyah itu menjawab, “Ia sudah meninggal” “Apakah ia mempunyai anak dan bagaimana keadaan anaknya?”   Jariyah menjawab, “Ia, dia meninggalkan anak dan keadaan mereka kini menyedihkan”  mendengar ini Umar segera berkata, “Kenakanlah pakaianmu lagi dan kembalilah ke  tempatmu!” 

Umar lalu mengirim surat kepada gubernurnya di Iraq agar mendatangkan anak Amil yang diceritakan oleh Jariyah. Setelah anak Amil itu datang, Umar berkata, “Laporkan semua harta benda yang dibayarkan oleh ayahmu sebagai denda yang dikenakan oleh Hajjaj!” anak itu segera melaporkan seluruh harta yang dibayarkan oleh ayahnya kepada Hajjaj dan oleh Umar semuanya diganti. Selanjutnya Umar juga menyerahkan Jariyah tersebut kepada anak itu sambil berpesan, “Hati – hatilah dengan Jariyah ini, sebab mungkin sekali ayahmu dulu pernah menggaulinya!”  anak itu berkata, “Jariyah ini untuk anda saja tuan!”  Umar menjawab, “Aku tidak lagi memerlukannya”  “Kalau begitu silahkan dibeli saja!” kata anak tersebut. Umar menjawab, “Kalau aku membelinya berarti diriku ini bukan termasuk orang yang menahan diri dari keinginan” dan ketika hendak dibawa pergi oleh si anak, Jariyah berkata kepada Umar, “Lantas di mana cinta anda kepada saya wahai Amirul Mu’minin?” Umar menjawab, “Cinta itu tetap seperti dulu dan bahkan mungkin sekarang bertambah” dan memang kenyataan seperti itu. Sampai akhir hayat, Umar tetap memendam rasa kepada Jariyah tersebut.

Di antara ulama yang juga mampu menahan rasa cintanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Dawud az Zhohiri yang terkenal dalam berbagai lapangan ilmu seperti fiqih, hadits, tafsir dan sastra. Menjelang meninggal dunia, Nafthowih datang dan bertanya, “Bagaimana keadaan anda?” “Seperti yang kamu lihat” jawab Dawud. “Kenapa anda menahan keinginan anda (memendam rasa) padahal anda bisa melampiaskannya?” tanya Nafthowih. Dawud menjawab, “Melihat itu ada dua; Mubah dan Haram. Adapun melihat Mubah maka sungguh hal itulah yang menjadikan aku sakit seperti sekarang. Adapun melihat Haram maka aku bisa menahan karena mengingat ucapan Ibnu Abbas....”yang initinya ampunan dan surga bagi seorang yang jatuh cinta dan mampu menahan diri).
 sholat” HR Nasai – Thobaroni.

Dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahan, “....aku bisa bersabar dari makanan tetapi tidak bisa sabar dari mereka (para isteri)”Maksud Dicintakan, berarti tak ada kuasa untuk ditahan dan dikuasai. Masalahnya adalah apakah dalam pelampiasan cinta itu seseorang teguh meniti jalan yang dibenarkan atau tidak sabar dan cenderung menghalalkan segala cara menuju pelampiasan. Dan dalam hal ini para nabi membuktikan bahwa mereka mendapat derajat Ishmah, penjagaan dari dosa sehingga sebesar apapun cinta tetap mereka lampiaskan melalui jalur yang dibenarkan yakni jalur pernikahan. Masih tentang cinta Rosululloh SAW kepada isterinya, ketika ditanya siapakah di antara mereka yang paling Beliau cintai maka Beliau menjawab, “Aisyah” lalu bagaimana dengan Khodijah? Beliau SAW menjawab, “Sungguh aku mendapat cinta darinya” kondisi Rosululloh SAW yang dicintakan oleh Alloh kepada wanita terkadang dijadikan alat oleh para musuh Alloh untuk menyerang dan memojokkan  Beliau dengan mengatakan, “Tiada keinginan Muhammad kecuali wanita” sehingga Alloh menurunkan pembelaanNya, “Apakah mereka iri hati kepada seseorang yang mendapat anugerah dari Alloh?” QS an Nisa’: 54. Dalam Islam mencintai wanita dengan melewati jalur yang disahkan bahkan mendapat penghargaan yang tinggi sebagaimana disebutkan Abdulloh bin Abbas ra:

          خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ أَكْثَرُهُمْ نِسَاءً
“Sebaik – baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya”

Wanita Jatuh Cinta

Dalam studi ilmu Fiqih pendapat terkuat mengatakan bahwa hukum lelaki melihat wanita lain (Ajnabiyyah) adalah haram. Sebaliknya wanita melihat lelaki lain (Ajnabi) cuma sampai pada batas Makruh. Ini karena lelaki lebih bisa untuk melaksanakan dan menuruti rasa tertarik yang muncul akibat memandang. Sementara wanita tidaklah demikian, meski dari segi dorongan keinginan lebih kuat daripada lelaki. Sungguh sebesar apapun dorongan dan syahwat wanita kepada lelaki, hal itu tidak akan banyak berpengaruh sebab rasa malu dalam diri wanita juga sangat tinggi. Dari sinilah kemudian kebanyakan pertemuan dan perjodohan yang lebih banyak memainkan peranan adalah pihak pria dan jarang sekali sebaliknya. Nabi SAW bersabda:    
 فَضُلَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى الرَّجُلِ بِتِسْعَةٍ وَتِسْعِيْنَ جُزْأً مِنَ اللَّذَّةِ وَلَكِنَّ اللهَ أَلْقَى عَلَيْهِنَّ الْحَيَاءَ
“Kaum wanita mengalahkan pria dengan 99 bagian dari kelezatan (Syahwat), hanya saja Alloh menuangkan rasa malu atas mereka”( HR Baihaqi dari Abu Huroiroh)

Selasa, 30 Agustus 2016

Pribadi yang Gampangan



Islam adalah agama paripurna, penyempurna semua agama serta berintikan aturan yang suci sesuai fitrah manusia serta penuh dengan kemudahan. Prinsip ini ditegaskan dalam hadits:  “Sesungguhnya Allah rela akan kemudahan bagi umat ini, dan Dia tidak menyukai kesulitan bagi mereka”HR Thabarani, juga firman Allah Swt: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”QS al Baqarah: 185, “Allah berkehendak meringankan dari kalian…”QS an Nisa’: 28.

Prinsip mudah dan ringan dalam berislam tergambar jelas dalam aturan–aturan syariat. Sebutlah haji yang hanya wajib dilaksanakan sekali dalam seumur hidup bagi orang yang mampu, zakat yang cuma dikeluarkan jika harta telah mencapai satu nishab serta setahun sekali atau setiap masa panen atau saat terima gaji tiba, puasa yang tidak diwajibkan atas orang yang lemah secara fisik seperti sakit, lanjut usia atau sedang dalam perjalanan, dan shalat yang bisa dilakukan dengan duduk jika memang tidak bisa dengan berdiri. Kemudahan dan keringanan aturan–aturan tersebut sekali lagi membuktikan kebenaran firman Allah: “… Dia sekali–kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama satu kesulitan…”QS al Hajj: 78, serta sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Aku diutus dengan membawa agama yang suci lagi mudah”HR Haitsami.

Mudah dan ringannya aturan agama sangat terkait erat dengan sifat Allah Yang Maha Belas Kasih serta tidak pernah sekalipun menuntut kepada hamba kecuali sebatas kemampuan. Dia Maha Pemurah Maha Pemberi anugerah, anugerahNya terus dan selalu tercurah kepada seluruh makhlukNya, kasih sayangNya luas tiada terbatas, Dia memberi pahala jauh lebih besar daripada amal hambaNya, dan pada lain pihak pintu taubatNya senantiasa terbuka untuk siapa saja yang mengakui dan menyesali dosa–dosa. Dia terus menanti dan memberi kepada setiap orang yang serius meminta dan memohon kepadaNya, bahkan Dia marah terhadap orang yang tidak mau meminta kepadaNya. Ini semua adalah kemurahan dan kemudahan Allah kepada hambaNya, maka melalui Rasul yang paling Dia cintai ada pesan: “Permudahlah, jangan kalian mempersulit…”Muttafaq Alaihi.

Sifat pemurah Allah yang terwujud dalam syariatNya yang mudah, berlanjut pada anjuran dan tuntutan kepada para hambaNya agar mereka menjadi pribadi–pribadi murah hati yang gampangan kepada sesama dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan, antara lain gampangan dalam menjual, membeli, memberi, menagih dan melunasi hutang. Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:“Sesungguhnya Allah mencintai kemudahan jual beli dan pelunasan hutang”HR Turmudzi, “Semoga Allah mengasihi seorang yang gampangan ketika menjual, membeli, dan menagih hutang “HR Bukhari, “Semoga Allah memasukkan surga orang yang gampangan ketika membeli, menjual, melunasi hutang, dan menagih hutang”HR Nasa’i.

Tentang membayar hutang, Islam bahkan menjadikan hal ini sebagai salah satu standar kebaikan seorang pribadi, “Belilah( unta yang lebih tua itu ) dan berikan kepadanya, sebab sebaik–baik kalian adalah yang paling baik pelunasannya!”HR Turmudzi, ini bermula ketika seorang lelaki yahudi menagih hutang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan kata–kata kasar hingga para sahabat hendak melakukan tindakan kepada lelaki tersebut, tetapi dicegah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Biarkanlah, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara!”. Selanjutnya Beliau memerintahkan supaya para sahabat membeli unta untuk melunasi hutang unta Beliau kepada lelaki yahudi itu. Para sahabat lalu mencari unta, tetapi tidak menemukan kecuali unta yang lebih tua daripada unta yahudi yang dihutang oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Dalam hal menagih hutang juga demikian, seseorang sangat dianjurkan untuk bersikap santun serta tetap bisa mengontrol diri, “Barang siapa yang menuntut hak maka hendaknya dia menuntutnya dalam sikap menjaga diri (Afaaf), baik saat mendapat atau tidak mendapatkan haknya!”HR Ibnu Majah – Ibnu Hibban, bahkan jika bisa dan mungkin atau dalam kondisi tertentu maka sebaiknya hutang itu diputihkan saja, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Para malaikat menyambut roh seorang lelaki sebelum kalian, mereka: Adakah sedikit amal yang kamu lakukan? Lelaki itu menjawab: Saya memerintahkan para pemudaku supaya menangguhkan orang kaya dan membebaskan orang yang susah”HR Bukhari, “Ada seorang pedagang yang memberi hutang kepada orang–orang, lalu ketika pedagang itu melihat ada orang yang kesulitan maka segera dia berkata kepada para anak buah: Bebaskanlah dia, semoga Allah juga membebaskan dari kita!, Allah lalu membebaskan pedagang itu (dari dosa–dosa) “Muttafaq Alaihi. Sikap ini sebagai implementasi dari firman Allah, “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau seluruh piutang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui “QS al Baqarah: 280.



Surat al Maa’uun

Sikap murah hati dan gampangan juga diajarkan dalam Alqur’an surat al Maa’uun yang artinya, ”dan mereka mencegah (ogah atau tidak mau menolong dengan) barang berguna“QS al Maa’uun: 7, di sini Allah memasukkan orang yang ogah menolong dengan barang berharga dalam kategori orang yang mendustakan agama, artinya Allah memmerintahkan seseorang agar menjadi seorang pemurah dan menjadi penolong orang lain dengan barang–barang berharga (salah satu tafsir dari kata al Maa’uun) miliknya. Dalam tafsir at Tahriir Wat Tanwiir, Syekh Muhammad Thohir bin Asyur menuturkan:

[Kata al Maa’uun, menurut Said bin Musayyib dan Ibnu Syihab, adalah salah satu istilah untuk harta benda yang berlaku di kalangan suku Quresy. Kaitannya dengan mereka, saat itu mereka enggan mengeluarkan sedekah,  padahal ketika itu (periode Makkah) mengeluarkan sedekah untuk para fakir dan miskin hukumnya wajib meski tiada batasan–batasan tertentu (sebelum diwajibkan zakat). Menurut Imam Malik, seperti dinukil oleh Asyhab, al Maa’uun artinya adalah zakat sebagaimana syair gembala berikut ini:

قَوْمٌ عَلَي اْلإِسْلاَمِ لَمَّا يَمْنَعُوْا   مَاعُوْنَهُمْ وَيُضَيِّعُوا التَّهْلِيْلاَ
Kaum yang memeluk islam, ketika mereka mencegah (tidak  mau) berzakat maka mereka menyia – nyiakan sholat

Tafsiran al Maa’uun yang umum dimengerti oleh khalayak ialah perabot rumah tangga dan alat lain untuk pertanian seperti sabit, cangkul dsb di mana tiada kerugian bagi pemilik jika dia meminjamkan perabot atau alat–alat tersebut. Termasuk al Maa’uun adalah tempat berteduh atau tanah kosong yang bisa dipakai untuk menaruh barang].

Sikap pemurah dan gampang memberikan harus juga diambil dalam urusan air, api dan garam. Aisyah ra bertanya: “Wahai Rasulullah, sesuatu apakah yang tidak boleh dicegah? Beliau bersabda: “Air, garam dan api”, Aisyah berkata: Wahai Rasulullah, kalau air kami sudah memaklumi, lantas kenapa dengan garam dan api? Beliau menjawab: “Wahai Humaira’!, barang siapa yang memberikan api maka sungguh sama halnya dia bersedekah dengan seluruh yang matang karena api tersebut, dan barang siapa yang memberikan garam maka sama halnya dia bersedekah dengan semua yang lezat karena garam itu”, Beliau melanjutkan: “dan barang siapa yang memberikan minum seteguk kepada seorang muslim pada saat ada (banyak) air maka sama halnya dia memerdekakan budak, dan barang siapa yang memberikan minum seteguk seorang muslim pada saat tiada air maka sama halnya dia menghidupkannya (seorang budak)”HR Ibnu Majah.

Keuntungan yang Besar


Dengan menjadi pribadi yang murah hati, seseorang sangat berpeluang meringankan atau menghilangkan derita dan beban saudara seiman, dan ini berarti dia berhak menerima janji dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Barang siapa yang meringankan dari orang beriman satu derita dari berbagai derita dunia maka Allah pasti meringankan darinya satu darita dari berbagai derita hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang kesulitan maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat…”HR Muslim. Syekh Ali Ahmad at Thohthowi berkata: “Ada rahasia tersimpan dalam hadits ini, yaitu janji bahwa seorang yang meringankan derita atau mumudahkan kesulitan orang lain pasti mendapat keuntungan besar berupa menutup ajal dengan baik atau mati dengan membawa Islam, Husnul Khatimah, sebab seorang kafir di akhirat sama sekali tidak dikasihi olehNya serta tiada sedikitpun derita dan kesulitan mereka diringankan. Beliau melanjutkan: Dari hadits ini juga bisa dipetik sebuah pengertian mengenai anjuran mengeluarkan uang tebusan untuk seorang muslim yang ditawan oleh orang kafir, menyelamatkan seorang muslim dari tangan orang-orang zhalim serta membebaskannya dari penjara. Disebutkan bahwa ketika keluar dari penjara, maka Nabi Yusuf as menuliskan di pintu penjara: “Ini adalah kuburan orang yang hidup, kepuasan para musuh,  dan bahan ujian (kesetiaan) bagi teman – teman”. 

Memaknai Ucapan “Insya Allah”



Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Nabi Sulaiman Alaihissalaam bersabda yang artinya, “Sungguh pada malam ini aku pasti akan mengelilingi (menggauli) seratus wanita (para isterinya. dengan harapan )  setiap wanita akan melahirkan  seorang anak lelaki yang akan berperang di jalan Allah”. Malaikat berkata kepada Nabi Sulaiman, “Ucapkanlah Insya Allah!” Nabi Sulaiman lupa dan tidak mengucapkannya. Maka ketika dia menggauli isterinya, tak ada yang melahirkan kecuali seorang isteri yang hanya melahirkan bayi separuh manusia (keguguran)” HR Bukhari.

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini. Antara lain, dalam menjalani pernikahan hendaknya seseorang tidak semata–mata menjadikan kepuasan Libido sebagai rencana utama. Tetapi dalam pernikahan, seharusnya niat mendapatkan generasi yang akan memperjuangkan agama Allah menjadi prioritas utama. Demikian yang bisa dipelajari dari seorang Nabi Sulaiman Alaihissalaam.
Dengan jelas hadits di atas juga mengajarkan agar dalam setiap kali mengabarkan akan menjalani suatu aktivitas yang diharapkan hasilnya, seseorang hendaknya tidak meninggalkan ucapan Insyaa  Allah. Allah Mengajarkan dalam firmanNya: “Dan jangan sekali–kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut) ”Insyaa Allah” QS al Kahfi: 23. Dengan begitu hasil yang ditargetkan akan lebih bisa diharapkan dapat tercapai. Mengomentari kealpaan Nabi Sulaiman Alaihissalaam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:    
لَوْ قَالَ "إِنْ شَاءَ اللهُ" لَمْ يَحْنَثْ وَكَانَ أَرْجَى لِحَاجَتِهِ
“Andai Sulaiman berkata, “Insyaa Allah” maka dia tidak melanggar sumpah dan lebih besar peluang mendapatkan keinginannya” HR Bukhari.

Kegagalan Nabi Sulaiman Alaihissalaam memperoleh seratus anak dari seratus isterinya adalah pelajaran berharga bagi siapa saja bahwa Usaha bukanlah sebab yang memastikan hasil. Semua hasil yang didapat dan target yang terpenuhi tidak lebih adalah anugerah Allah semata. Inilah maksud ucapan Insyaa Allah yang artinya jika Allah Menghendaki. Kendati demikian setiap orang dianjurkan bahkan diwajibkan berusaha dan mengambil sarana. Setiap orang diwajibkan bekerja supaya mendapatkan harta benda untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan orang–orang yang menjadi tanggung jawabnya. Meski begitu ia tidak selayaknya meyakini bahwa harta benda yang ia peroleh adalah karena pekerjaannya. Sebab pada kenyataannya tidak semua orang yang bekerja memperoleh harta benda. Bahkan tidak sedikit seorang yang bekerja harus pulang dengan tangan hampa.

Bila ingin memiliki ilmu kepandaian maka seseorang harus mencarinya, tetapi kelak jika ilmu didapat jangan sampai meyakini bahwa itu hasil dari pencariannya. Sungguh banyak orang yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan harta benda untuk mendapatkan kepandaian, tetapi ternyata tidak seluruh dari mereka bisa memiliki kepandaian. Ini menujukkan bahwa kepandaian adalah anugerah  dari Allah semata, dan bukan dari usaha dan pencarian yang dilakukan. Seorang yang mempunyai anak juga demikian halnya, dia harus menikah dan berkumpul dengan isterinya. Meski begitu, realita membuktikan tidak semua pasangan mendapatkan keturunan. Ini artinya anak yang menjadi buah hati orang tua tidak lain adalah anugerah dari Allah Subhaanahuu wa Ta’aalaa.
Akhirnya harus diketahui, disadari dan selalu diingat  bahwa setiap manusia diwajibkan berusaha dan menjalankan sarana untuk memperoleh anugerah dariNya. Dalam hikmah disebutkan, “Sebab anugerah kamu mendapat kemuliaan, tetapi anugerah tidak bisa didapatkan kecuali dengan kesungguhan (Usaha dan mengambil sarana) “ Dalam hikmah lain juga disebutkan, “Ambil sebab / sarana tetapi jangan pernah bersandar kepada sarana tersebut” .

Ketika seseorang meyakini bahwa segala yang ia dapatkan adalah sebagai hasil dari usaha yang dilakukan, berarti ia termasuk orang yang sombong, mengkufuri nikmat Allah dan yang paling berbahaya lagi ialah menjadikan apa yang telah didapatkan berada di ambang kehancuran. Orang seperti inilah yang layak diberi stigma sebagai pewaris Qarun yang menyatakan kesombongannya:
إِنَّمَا أُوْتِيْـتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِى
“Sesungguhnya aku diberi harta itu adalah karena ilmu yang ada padaku”QS al Qashash : 78.


Dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di atas - yang memberikan harapan besar kepada orang yang mengucapkan Insyaa Allah – dapat difahami bahwa seseorang yang mengucapkan Insyaa Allah akan tertuntun hatinya untuk menyandarkan hasil dari usaha yang dilakukan kepada Allah. Hatinya dengan mudah menyadari bahwa hasil yang ia peroleh semata atas kehendak Allah. Ini adalah bentuk kepasrahan, Tawakkal kepada Allah. Dan barang siapa ber  -Tawakkal kepadaNya maka Dia pasti mencintai dan mencukupinya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang–orang yang bertawakkal” QS Ali Imran: 159.  “Barang siapa ber –Tawakkal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya “ QS ath Thalaaq : 3.