Translate

Senin, 15 Mei 2017

MENGUNTAI DZIKIR TERINDAH




Setiap mukjizat yang diberikan kepada seorang rosul, pastilah disesuaikan dengan tantangan zaman .Cerita heroisme nabi musa u dengan tongkatnya , lahir ditengah suasana merebaknya ilmu sihir yang menjadi primadona . begitu juga nabi isa yang menyembuhkan banyak penyakit. Sebab, beliau diutus kala banyak tabib menyebar ‘kesakitan’  

Adapun nabi Muhammad ,yang menerima mukjizat terbesar berupa al-Qur’an , beliau diutus untuk seluruh umat manusia, yang secaranalar dan konsep hidup sudah sempurna, sehingga kitab yang sempurna pulalah bekal terbaiknya.  WA bil khusus pada zaman beliau masih hidup sastra menjadi instrumen penting nilai dan peradapan ,sehingga mestinya mereka akan mudah memahami al-Qur’an untuk para kafir Quraisy celakalah mereka, yang memahami kebesaran al-Qur’an, tapi tak mau menggunakannya sebagai sarana menjemput hidayah.
 Biar saya ulangi kalimat di atas , celakalah mereka, yang memahami kebesaran al-Qur’an, tapi tak mau menggunakannya sebagai sarana menjemput hidayah. Kata kafir Quraisy sengaja ditampilkan dan saya bermaksud mengajak anda menggantinya dengan frese seorang muslim miris hati ini melihat bagaimana nasib al-Qur’an, secara fisik maupun secara ajaran, diperlukan oleh orang zaman sekarang, Perlakuan tidak senonoh itu, celakanya, dimulai dari umat islam sendiri.
Seolah tak sesiapa menyadari, bahwa ini mukjizat terbasar yang pernah diturunkan kepada rasul. Bahkan nabi r pernah menolak menuruti permintaan orang-orang kafir Quraisy yang ingin melihat bulan terbelah, sebab sejatinya al-Qur’an itu sudah lebih dari cukup dibandingkan semua mukjizat yang lain. Pantaslah jika nabi menjerit lirih, yang diabadikan dalam al-Qur’an, “Ya Rabbaka, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan.”
Al-Qur’an merupakan dzikir terindah, yang memberikan ketenangan bagi sesiapa yang mendengarnya, bahkan yang tak paham sekalipun. Barang siapa yang membacanya, ia akan ditemani malaikat kiramin bararah untuk yang tak lancar membaca, alias terbata-bata, akan memborong dua pahala. Pahala membaca dan pahala perjuangannya. Mau tahu pahalanya? Satu huruf berbanding sepuluh kebaikan. Silahkan ambil kakulator sendiri untuk satu halaman yang anda baca.
Di antara yang membuat betah berlama-lama membaca al-Qur’an adalah susunan bahasa dan bunyinya yang indah dan rapi. Maka celakalah, yang lancar membaca al-Qur’an, tapi tak mau membacanya. Ia bukan saja terjauhkan dari pahala bejipun, tapi juga mengingkari nikmat Rabb.
Al-Qur’an merupakan zikir terindah, yang memberi kita kesempatan untuk tenggelam dalam perenungan-perenungan produktif. Ulama menyebutnya tadabur. Di sini pula kemukjizatan al-Qur’an bisa dirasakan. Terkadang dalam satu  ayat yang sama, orang yang berbeda akan menemukannya makna perenungan yang berbeda. Bahkan oleh orang yang sama, apa yang ia renungi sekarang mungkin berbeda dengan inspirasi yang ia dapat kemarin. Padahal, ia tak beranjak dari ayat yang sama. Maka celakalah, yang tak mau merenungi al-Qur’an. Padahal ia memiliki akal sehat sebagai modal merenung.
Al-Qur’an merupakan dzkir terindah, yang memberi jawaban untuk semua masalah hidup. Sebab, di dalamnya terkandung semua yang mungkin diarungi manusia hidup. Ia memang disiapkan untuk mengatur hidup dan kehidupan. Bermula dari keyakinan, lantas peribadatan, kemudian merambah ke ranah perbaikan pekerti diri, lalu meluas ke wilayah-wilayah publik dan kehidupan sosial.
Metodenya pun kaya inovasi dan beragam. Ada cerita, ada nasihat, ada dialog, ada kabar gembira dan peringatan. Semua itu dalam rangka memudahkan manusia untuk memahaminya, kemudian menjadikan al-Qur’an sebagai pendomannya. Maka celakalah, yang hidup di muka bumi di atas nikmat Allah, tak mau menjadikan al-Qur’an sebagai pendoman.

Al-Qur’an, sekali lagi, adalah warisan kenabian terbesar. Betapa celakanya kalau kita sebagai muslim sampai tak menyadarinya. Benarlah ketika rosulullah r bersabda bahwa ada kaum yang ditinggikan derajatnya dengan al-Qur’an, tapi ada pula yang di rendahkan derajatnya karena al-Qur’an. 

AGAR KEBAIKAN MENJADI KARAKTER (Islam dan Konsistensi)



فَاسْتَـقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Salah satu perintah terberat yang diterima Nabi Saw adalah Istiqamah, yang maknanya terumuskan dalam satu kata: Konsistensi. Sifat baik ini menjadi ukuran sejauh mana intensitas kedekatan kita dengan Allah Swt. Sebab, sebagian besar penyimpangan yang terjadi di dunia ini, disebabkan ketiadaan konsistensi. Seseorang mengetahui aturan, tapi  kekuatanya untuk berpegang pada aturan itu kalah oleh hawa nafsunya. Akhirnya ia melakukan penyimpangan.

Dalam hal menjaga dan meninggalkan istiqomah, Allah bisa saja memberi karamah (kemulyaan) pada seorang budak yang menjaga keistiqamahannya (Konsisten) dalam beramal. Dan Allah juga tidak menutup kemungkinan akan mencabut karamah dari seorang wali sekalipun yang telah meninggalkan keistiqomahan. Jaga dan jagalah istiqomah.
Dalam hikmah dikatakan:

اَلْإِسْتِقَامَةِ خَيْرٌ مِنْ اَلْفِ كَرَامَةٍ # ثُبُوْتُ الْكرَامَةِ بدَوَامِ الْإِسْتِقامَةِ

“Istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah (kemulyaan) # sebab langgengnya karamah karena konsistensi menjaga istiqamah”

Istiqomah dalam hidup seorang muslim yang terbina bukanlah hiasan budi pekerti ( Hilyah Khuluqiyyah ) yang bisa dipilih apakah akan dipakai sebagai perhiasan atau ditanggalkan, melainkan Suluk yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya yang menempati posisi dan tingkatan terpenting ( Ahmiyyah ) di bawah keimanan. Alloh berfirman, “  Maka beristiqomahlah sebaimana kamu diperintahkanQS Hud : 112.

Sedikit menggambarkan bagian dari dimensi istiqamah, melalui sabda Rasulullah Saw:

وَ أَنَّ أَحَبَّ الأعْمَالِ إِلى اللهِ أَدْوَمَهَا و إِنْ قَلَّ.

“Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang langgeng, meskipun sedikit” (HR. Bukhari)

Dalam hadis di atas Rasulullah Saw lebih menekanannya pada kontinuitasnya, bukan pada sedikitnya. Artinya, jika mampu langgeng dan banyak, itu jauh lebih mulia. Pertanyaannya mengapa kontinuitasnya yang ditekankan dan kuantitasnya urusan berikutnya?

Sebab hal itu menunjukkan sejauh mana rentetan amal yang kita lakukan tertanam menjadi karakter yang menyatu dalam kepribadian. Maka, sedikit tapi konsisten itu jauh lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada amal banyak, tapi hanya sekali waktu saja tanpa menimbulkan bekas sedikit pun. Sebab dengan istiqamah ini menunjukkan keberhasilan amal tersebut menjadi life style (gaya hidup).

Tahapan-tahapan berikut mungkin bisa jadi panduan, sebagai upaya menuju istiqamah.

1.      Keikhlasan niat dan motivasi: Niat adalah ruh sebuah amal, dengan niat yang ikhlas maka sebuah amal akan menjadi perbuatan yang berkarakter kuat.
ما كان لله دام واتصل وما كان لغير الله انقطع وانفصل
“Segala sesuatu yang berdasarkan karena Allah akan langgeng nan abadi, sementara sesuatu yang berdasarkan selain Allah akan putus sampai disini.”

Ada beberapa kekuatan yang mendasari atau mendorong seseorang untuk menjalankan suatu amal.
1.      Quwwah Ar Ruuhiyah (قوة الروحية) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari Ridha Allah semata.

2.      Quwwah Al Madiyah ( قوة المادية) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari materi semata.
3.      Quwwah Al Ma’ani (قوة المعاني) adalah sebuah dorongan yang ada pada diri seseorang yang beramal berdasarkan pada mencari popularitas semata.
Itulah beberapa dorongan yang mandasari manusia untuk melakukan sebuah amal perbuatan. Manusia adalah makhluk yang lemah. Maka, jika ada orang yang beramal hanya untuk manusia, akan mudah putus harapan, gampang berhenti amalnya. Begitu juga jika dia beramal karena materi, atau mencari popularitas saja, tunggu saja saat kehancurannya.

2.      Mengikuti sunatullah:

Kehidupan ini berjalan mengikuti rumus-rumus tertentu. Ada Dzat Mahadetil yang mengatur semuanya, lewat Rasul-Nya Allah mengatul kehidupan, mana yang patut untuk dilakukan dan mana sepantasnya ditinggalkan. Sebuah perbuatan baik akan menjadi amal shalih dan mendapat pahala manakala perbuatan tersebut sesuai dengan aturan Agama.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al Hasyr:7)

Maka dengan mengikuti aturan Allah kita sebagai hamba yang mempunyai kekuranga dan batas pengetahuan, kita mempunyai pegangan yang baku, dengan begitu amalan akan mengalir karna kemantaban hati, jauh dari keraguan; apakah amalan saya ini bener atau tidak sesuai harapan Sang Pembuat aturan.

3.      Menghindari berlebih-lebihan (ghuluw

Berlebihan itu tidak proporsional. Bersikap yang berlebih-lebihan yang hanya akan memberatkan diri, merupakan tindakan yang kurang dibenarkan dalam Agama.

Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian sendiri, nanti Allah akan menjadikannya berat.....” Al Hadits.

Nabi Saw juga bersabda: “Agama itu mudah, setiap orang yang memberat-beratkan diri dalam Agama ini pasti akan kalah. Maka bersikaplah istiqomah.....” Al Hadits.
Seperti itulah salah satu dimensi istiqamah mengajari kita, yakni karakterisasi amal. Yang Allah inginkan adalah setiap ritual dan rutinitas amal ibadah kita membentuk kepribadian. Menjadikan pelakunya sebagai sosok yang tekun, ulet, dan konsisten, apa pun kondisi yang meliputinya.

 Allahu a’lam bis shawab.