Translate

Jumat, 31 Januari 2014

Menyorot Kondisi Akidah Kita

Opini global seperti pluralisme ( paham kemajemukan ), humanisme ( paham kemanusiaan ), dan feminisme ( paham kesetaraan jenis kelamin ), dan lain sebagainya tampak cukup mewarnai kehidupan ummat manusia saat ini. Dengan opini-opini global itu jadinya tidak ditemukan lagi perbedaan yang signifikan ( berarti ) antara haq dengan batil. Opini yang selalu lahir dari negara maju ( Barat ) ini ternyata kini berimbas kepada pemahaman akidah yang dianut oleh sebagaian kaum muslimin. Akidah yang harus dibanggakan itu kini mengalami proses penggerogotan, pelunturan, dan pendangkalan. Beberapa waktu lalu kita mendapati gejala ummat Islam mengikuti natalan bersama pengikut Kristen, makan makanan mereka, hadir di gereja mereka dan tidak segan mengucapkan: selamat natal, 1 termasuk juga doa bersama antar agama, ta’jil puasa di vihara dan musik kosidah di hari Natal. Kita juga mendapati fenomena ridlo terhadap keberadaan Yahudi yang jahat, berikut para penyokongnya, China dan Amerika. Anehnya itu justru dilakukan oleh tokoh-tokoh yang dijadikan panutan oleh sebagian besar kaum muslimin. Dalam beberapa waktu mendatang jika ini tidak diantisipasi tentu fenomena ini akan semakin marak seiring dengan mendalamnya ide kemanusiaan dan kemajemukan. Dan pada akhirnya akan kaburlah identitas kaum muslimin yang luhur. Opini-opini yang menyesatkan di atas mendapat penerimaan yang baik di kalangan kaum muslimin seringkali dengan menggunakan alasan “serba fiqh”. Fiqh yang dalam sistem hukum Islam memiliki daya kelenturan, keluwesan, akomodasi dan kompromi yang tinggi kerap dipakai sebagai alat pembenaran (justifikasi) terhadap suatu sikap. Persoalannya kemudian adalah bagaimana teknis (standart) memilah antara urusan fiqh dan urusan akidah? Contoh soal asas organisasi dan natalan bersama itu kaitannya dengan akidah atau dengan fiqh? Imam Al Ghazali menyebut penerapan fiqh yang diikuti hilah (rekayasa) adalah fiqh dloror (fiqh yang berbahaya). Sementara Soekarno menyebut muslim yang meletakkan fiqh di depan tauhid dan akhlak sebagai muslim sontoloyo.(Di bawah Bendera Revolusi,493) Selain alasan fiqh, alasan yang sering digunakan untuk menerima opini-opini di atas ialah alasan sejarah. Kita melihat betapa Piagam Madinah (mitsaq Al Madinah) selalu dipakai alasan terhadap absahnya kesatuan ummat manusia tanpa memandang unsure agamanya. Jonathan Swift, seorang pastor menyatakan bahwa agama hanya membuat ummat manusia saling membenci tidak saling mencintai. Hal yang masih samar di sini ialah alasan sejarah itu sudah pas dan tepatkah penempatannya? Walhasil,kini kita melihat kecenderungan sebagian besar arus kaum muslimin dengan berbagai alasan agamanya untuk menerima ide-ide yang bertentangan dengan akidahnya, sebagai akibat dari proses penipisan akidah, setelah mendapati gempuran berbagai opini global berikut tuntunan sikap para tokoh panutannya. Farqon dan Nur Diantara sifat yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa ialah furqon, yaitu petunjuk yang dengan itu dapat dibedakan antara yang hak dan yang batil. Dengan memiliki sifat ini maka orang yang bertakwa dan beriman akan mendapati kejelasan hukum dalam perilakunya. Sehingga ia tidak sampai terkena jebakan upaya pengkaburan. Di dalam A Qur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.R. Al Anfaal: 29) Anugerah furqon ini dalam sifat-sifat orang yang beriman dan bertakwa lainnya disebutkan dengan nur yang dengan nur ini dia mampu menapaki jalan yang terang dan lurus. Alloh subhanahu wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya, niscaya Alloh memberikan rahmatNya kepadamu dua bagikan, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu bisa menapaki jalan dan Dia mengampuni kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Hadid: 28) Dengan adanya furqon dan nur ini berarti sebagai orang yang beriman dan bertakwa dituntut memiliki prinsip yang jelas sekaligus tegas di tengah arus besar (mainstream) kelembekan banyak orang dalam berakidah. Hal ini diperlukan supaya tergambarkan bahwa tidak pernah ketemu haq dan kebatilan dengan segala perbedaannya yang tajam. Berbagai upaya pengkaburan tentu dapat diantisipasi lewat sini. Sahabat Umar bin Khattab dalam hal ini adalah teladan kita yang begitu kuat intuisi (feeling) furqonnya sehingga ayah Sayyidah Hafshah ini mendapati gelar Al Faaruuq. Kecenderungan meniadakan antara hak dan batil serta kecenderungan menipiskan pemisah antara iman dan kekufuran memang berangkatnya dari minimnya keimanan dan ketakwaan (akidah). Untuk mereformasi ihwal ini tentulah dibutuhkan generasi yang memiliki akidah yang mapan sehingga bersamaan denga kemapanan akidahnya itu dianugrahkanlah kepadanya Furqon dan Nur dari Allah swt. Lewat organ kejama’ahan, semoga kita menjadi generasi model begini. Wallohu A’lam

Tidak ada komentar: