Dakwah
amar makruf nahi munkar yang kita ikut serta menggalakkannya harus terus
berlangsung. Aktivitas-aktivitas keagamaan tak boleh berhenti. Pendidikan dan
pembinaan harus tetap berjalan. Umat islam yang mayoritas di negeri ini
membutuhkan dakwah itu di samping dakwah merupakan tuntutan utama keberagamaan
dan kejama'ahan kita.
Para
ulama dan ormas-ormas keagamaan yang semestinya menjadi penggerak di bidang ini
ternyata banyak terjebak pada kegiatan dukung-mendukung di wilayah politik
praktis. Suatu politik yang orientasinya tak lebih dari antara kekuasaan
(kursi), materi, dan kepentingan sesaat lainnya. Pesantren menjadi ajang
kampanye. Sikap dan pernyataan berubah-ubah laksana "pagi tahu, sore
tempe" Umat akhirnya menjadi menjaga jarak
dengan ulama. Dianggapnya yang alim tidak berbeda dengan yang awam.
Sisi
lain, kita perhatikan negeri muslim Irak dan Afghanistan hancur dan dipenuhi
konflik berdarah-darah manakala Amerika Serikat (Barat, yahudi, kristen)
memasuki negeri itu dan mencengkeramnya. Sekian banyak ulama ditangkap dan
wafat. Lembaga-lembaga pendidikan porak-poranda. Kegiatan dakwah sulit. Dan
masyarakat diliputi rasa tidak aman. Alloh swt. berfirman:
قَالَتْ
إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ
أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
"Sesungguhnya raja-raja apabila
memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina." (QS. An-Naml: 34)
Demikianlah
Al Qur'an menggambarkan. Di Indonesia yang belum secara nyata Amerika Serikat
(AS) memasukinya saja, potensi untuk menuju kerusakan begitu tampak dengan
ditangkapinya ulama-ulama atas tuduhan terorisme. Bagaimana kedaannya khususnya
di bidang dakwah Islam bila AS sudah memasuki dan menancapkan kukunya di negeri
ini? Wallahu a'lam.
Pada
pemilu presiden tahap kedua tanggal 20 September mendatang, kita disuguhi dua
pasang calon presiden. Bagaimana kita bersikap nantinya? Hal ini sesungguhnya
menjadi pilihan yang dilematis, karena dua calon presiden tampak sama-sama
mengandung mafsadah dan dhoror. Kepribadian/tingkat keislaman mereka.
Keberpihakan mereka pada Islam. Siapa bithonah-bithonah mereka.
Jawaban-jawabannya senantiasa mengandung mafsadah dan dhoror. Dan bagaimana
tidak mengandung mafsadah dan dhoror, sedang kedua calon itu dan kita semua
ternyata masih berada pada sistem kufur. Firman Alloh swt :
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (QS
Al-Maidah : 44)
Siapapun
yang memimpin dan atau akan memimpin negeri ini selama masih dengan sistem yang
ada saat ini tentu tidak lepas dari predikat kufur. Tetapi kufur yang
bagaimana, perlu ditelaah. Sahabat Abdulloh bin Abbas ra. ketika ditanya
mengenai kategori "Al-Kafiruun" pada ayat ini, beliau menajwab:
"Mereka orang-orang kufur (kafarah) tetapi bukan seperti orang-orang yang
kufur terhadap Allah dan hari akhir." (Ash Shagharji, Al Hubbu fillah
wa Al Bughdu fillah:20)
Kufur dengan demikian terbagi
menjadi dua macam, yakni kufur yang mengeluarkan seseorang dari agama islam
(kufur hakiki) dan ada kufur yang tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam
(kufur majazi), akan tetapi termasuk kategori fujur (menyimpang dari kebenaran)
atau ma'shiat (durhaka) pada Alloh swt.
Rasululloh
saw menyatakan perlunya memberikan penghargaan tersendiri atas pengakuan
keislaman seseorang, betapapun sehari-hari katakanlah dia fujur dan ma'shiat.
Sabda beliau:
Barangsiapa yang sholat sebagaimana
sholat kita dan menghadap kiblat kita serta memakan sembelihan kita, maka dia
adalah muslim yang baginya tanggungan Alloh dan tanggungan RasulNya. Maka,
janganlah tidak menepati janji kepada Alloh di dalam tanggunganNya. (HR. Bukhari jilid 1/102)
Seorang
pemimpin atau calon pemimpin kategori fujur dan ma'shiat bisa jadi dia
mengganggu atau setidaknya menghambat perkembangan dakwah islam, namun bisa
jadi pula (terbuka kemungkinan) dia akan menyokong atau setidak-tidaknya tidak
mengganggu aktivitas dakwah Islam, betapapun dia fujur dan ma'shiat.
Kemungkinan
kedua ini ada (terbuka) karena rasululloh saw menyebutkan bahwa bisa jadi agama
ini mendapatkan ta'yid´ (sokongan atau dukungan) dari seseorang yang
termasuk kategori fujur (al imam al fajir) dan ma'shiat. Sabda beliau:
Sesungguhnya Alloh (bisa jadi)
menyokong agama ini dengan seorang yang fajir. (HR. Thobarani)
Sekarang
mari kita cermati dan kita analisis dua pasang calon presiden yang ada itu.
Sama-sama fujur dan ma'shiat, sipakah diantara keduanya yang lebih berpeluang
memberikan ta'yid atas perkembangan dakwah di negeri ini. Sama-sama dhoror,
siapakah yang lingkup kedhororannya diyakini lebih minim. Kaidah fiqh
menyatakan:
Jika ada dua dhoror berkumpul, maka
dipeliharalah salah satunya yang lebih ringan.
Satu
pasangan calon presiden dalam platformnya jelas-jelas menganggap sistem barat
lebih unggul dari sistem islam. Dia memiliki komitmen yang kuat dnegan Amerika
Serikat. Amerika Serikat sendiri berupaya keras (ngebet) memenangkannya. AC
Manulang (seorang aktifis intelejen) dan Reza Sihabuddin (Peneliti LIPI)
menyatakan bahwa SBY memiliki komitmen (al wala') dengan AS. Dia menyatakan di
depan para pendeta niat meninjau hubungan diplomatik negara ini kelak dengan
Israel. Bila calon presiden ini menang tentunya peluang masuknya AS ke negeri ini
besar sekali. Dan kembali kita ingat bagaimana kondisi suatu negeri manakala AS
sudah memasuki negeri itu. Apalagi calon presiden yang menang di tahap pertama
ini sejak awal telah diliputi bithonah-bithonah yang buruk dari kalangan
non-Islam.
Sementara
satu pasangan calon presiden dalam kebijakannya selama ini tampak beranjak
mengambil jarak dengan AS. Ini dapat dilihat dari kebijakannya memutus hubungan
dengan IMF dan pilihan membeli pensenjataan dari rusia daripada AS. Di sisi lain dia menyetujui
penerapan Syariat Islam di Aceh. Dakwah dan cita-cita menegakkan syariat islam
pun tampak mendapatkan kebebasan.
Kini
jelaslah siapa yang lebih berpeluang memberikan sokongan terhadap dakwah dan
siapa yang lebih berpeluang membatasi gerak AS di negeri ini dan itulah dia
yang akan kita pilih.
Sikap
golput tidak akan efektif dan bisa jadi justru berpotensi memenangkan satu
calon yang memiliki komitmen dengan AS karena calon itu telah meraih suara
terbanyak pada tahap pertama lalu.
Kalau
dikatakan kita perlu perubahan kepemimpinan saat ini, karena pemimpin yang baru
akan bisa menegakkan keadilan hukum dan pemberantasan korupsi. Ini memang
harapan kita semua. Ini maslahah. Tapi maslahah ini baru sebatas harapan, belum teruji dan belum terbukti
(ghoiru muhaqqoqoh). Siapa menjamin bahwa pemimpin yang baru nanti bisa
memenuhi hal tersebut? Masih disangsikan. Sementara dhoror besar dari pemimpin
yang selalu mengkampanyekan perubahan itu tampak jelas dan diyakini, yaitu
komitmennya yang kuat dengan AS.
Kita
diperintahkan meninggalkan hal yang masih disangsikan beralih kepada hal yang
meyakinkan. Sabda Rasulululloh saw:
Tinggalkanlah apa yang meragukanmu
menuju hal yang tidak meragukanmu.
(HR. Tirmidzi dan nasai. Hadits ke-11 dari Arbain Nawawi)
Kaidah
fiqh juga menyatakan didahulukannya sikap menolak mafsadah daripada usaha-usaha
menggaet maslahah:
Menolak
mafsadah lebih didahulukan daripada mengggaet maslahah.
Soal jenis kelamin wanita. Hukumnya
memang jelas dalam syara' bahwa dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah)
tidak dibolehkan pemimpin wanita sebagai al-imam al-a'dhom. Tapi kita berbicara
dalam konteks Indonesia, sebuah negara yang bukan khilafah, undang-undang dasar
yang mengatur hal itu disini belum ada, sementara kepemimpinan bukanlah masalah
pribadi ataupun kelompok tapi masalah arang banyak (kolektif). Kalau banyak
orang masih mendukung si wanita itu kenapa? Kita bukan berbicara soal hukum,
namun kita berbicara soal meletakkan hukum pada posisinya.
Dengan
demikian, kita akan memilih calon presiden yang memungkinkan dakwah Islam bisa
terus berlangsung dan bebas, dan capres itu tidak membuka peluang AS dan
sekutunya makin menancapkan kukunya di negeri ini.
Inilah
sikap kita terhadap realitas politik kontemporer, sebagai sebuah hasil ijtihad,
karena dalam hal apapun apalagi dalam masalah yang penting, seorang muslim
harus memiliki sikap yang tumbuh dari nash-nash syara'. Bukan sekedar menuruti
kata hati, ikut-ikutan yang sumbernya tak jelas, terpesona penampilan lahiriah,
atau atas dasar kepentingan yang sesaat. Kita berikhtiar, sementara soal menang
kalahnya kekuasaan nanti adalah kewenangan Alloh swt. Mudah-mudahan Alloh swt
memberikan taufiq kepada kita semuanya.
Sikap
ini sebatas sebuah sikap memilih capres-cawapres. Lebih dari itu, seperti
dukung-mendukung dengan berkampanye, penggalangan massa, atau unjuk kekuatan
(show of force) dan semacamnya tidak perlu kita lakukan. Zaman ini penuh
fitanh. Tidak menonjolkan keberpihakan kepada sana dan sini (al hirman)
merupakan jalan yang aman. Sementara kita memiliki tugas yang besar, yaitu
pendidikan dan pembinaan kader masyarakat yang tak boleh mati, dan yang untuk
itu dibutuhkan perhatian lebih serius dan energi yang lebih besar lagi.
Sahabat
Abdulloh bin umar ra meriwayatkan : "Suatu hari, Rasululloh saw menuturkan
soal fitnah-fitnah dengan segala karakteristiknya, dan bersabda:
"Jika kamu melihat manusia
(masyarakat) sifat memenuhi janjinya telah kacau (rusak) dan amanatnya telah
menipis (lemah), dan lalu mereka seperti ini (beliau mentasybik antara
jari-jari tangan beliau [sebagai pertanda keadaan kacau-balau]). "Aku
(Abdulloh bin umar ra) bertanya: "Apa yang Engkau perintahkan
kepadaku?" Beliau bersabda "Tetapilah Rumahmu..." (al-hadits) (HR. Al Hakim. Jami'us Shaghir I :
1/41)
Dan
pepatah mengatakan:
"barangsiapa memaklumatkan
"al-hirman" (netral; tidak memihak sana dan sini) kepda manusia maka
manusia seluruhnya akan sama senang (lega/puas) kepadanya. (Ibnu Qudamah, Mukhtasar Minhajul
Qashidin:114)
Tansiq jamaah dakwah ini dengan
demikian menetapkan memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil
presiden pada pilpres putaran kedua
nanti, dengan didasari niat untuk menghadang pasangan calon yang diyakini
mudhorrotnya lebih besar bagi perkembangan dakwah Islam di masa yang akan
datang, yaitu pasangan calon yang memiliki komitmen dengan Amerika Serikat,
Israel, dan sekutunya.
Wallahu
Subhanahu wata'ala a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar