Mengawali pembahasan ini,ada sebuah kisah.Ada orang datang dan
bertanya kepada ulama besar.”Apa hukumnya mandi dan istinja’ dengan air
zamzam?” tanyanya,Ulama itu menjawab,”masalah ini adalah masalah khilaf.Ada
yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan”.Menurut pendapatmu
sendiri bagaimana?” Tanya ulama itu.”Menurut saya,boleh-boleh saja mandi dan
beristinja’ dengan air zamzam,karena tidak ada nash dalam soal ini”,jawab orang
tadi.”Bagi saya hukumnya tidak boleh,karena juga tidak ada nash dalam soal
ini.Air zamzam itu air yang mulia maka sepatutnya digunakan untuk hal-hal yang
mulia.
Di dunia Islam,kita menemukan dua jenis perbedaan pendapat atau
perbedaan madzhab.
Pertama,perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah prinsip keyakinan atau keimanan (ikhtilaf fil madzahib al
I’tiqodiyyah).
Kedua,perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah fiqhiyah (ikhtilaf fil madzahib al fiqhiyah)
Jenis pertama,perbedaan pendapat (perpecahan) dalam masalah
prinsip-prinsip keyakinan hakikatnya merupakan malapetaka bagi kaum
muslimin.Perbedaan ini mengakibatkan terpecah belahnya persatuan ummat Islamyang
tidak ada titik temunya.Perbedaan pendapat ini semestinya tidak ada.Kaum
muslimin seharusnya hanya meyakini satu madzhab saja,yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah,yang
merupakan model golongan yang menggambarkan pemikiran Islam yang asli dan murni
seperti pada masa Rosululloh saw dan masa al Khilafah ar Rosyidah.
Adapun jenis kedua,perbedaan pendapat dalam masalah
fiqhiyah,keberadaannya merupaka suatu keniscayaan,sesuatu yang mesti terjadi
dan sulit dihindari..Perbedaan pendapat dalam masalah fiqh ini berangkat bahwa
nash-nash syara’ yang ada sebagian besar membuka penafsiran (interpretasi)
tidak tunggal.Disisi lain,nash-nash itu tidak memuat keseluruhan realitas
permasalahan yang terjadi di dunia secara detail,karena jumlah nash terbatas
sedang realitas permasalahan terus berkembang.Untuk ini diperlukan
qiyas,memahami illat suatu hukum,memperhatikan tujuan Alloh swt,menetapkan
suatu hukum,memperhatikan visi dan misi dasar syari’at dan sebagainya
(ijtihad).Sementara dalam masalah ini,potensi akal para ulama,kapasitas
pengetahuan dan interpretasi mereka serta lingkunagn di mana mereka berada
berbeda antara satu dengan lainnya.Dari sinilah terjadi perbedaan pendapat
itu.Namun,mereka semuanya sama dalam upaya dan mencari kebenaran.Selanjutnya
kelak,barang siapa pendapatnya benar maka mendapatkna dua pahala,sedang
barangsiapa yang salah mendapatkan satu pahala.
Imam Malik bin Anas
berkata:
“Tidak ada diantara kita kecuali bisa diterima dan
ditolak (pendapatnya),kecuali penghuni
makam ini (Rosululloh saw).
Imam Asy Syafi’I berkata,
“Barangsiapa telah tampak jelas sunnah Rosululloh saw
baginya,maka tidak halal baginya menigggalkan sunnah itu dan beralih kepada
pendapat seseorang”
Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini kalau dipaksa
harus disatukan justru bertentangan dengan karakteristik agama Islam.Alloh
menghendaki agar agama ini bertahan abadi dan mampu mengikuti perkembangan
zaman,Oleh karena itu,masalah-masalah yang tidak prinsipil dalam agama ini
dibuat elastis,luwes,mudah,tidak mandeg dan tidak kaku.
Perbedaan pendapat dalam masalah fiqh tidaklah mengurangi nilai
keunggulan agama Islam,sebaliknya justru menjadi berkah dan rahmat bagi ummat
Islam.Seperti diketahui,dalam bidang fiqh,munculnya dua atau lebih pendapat
adalah suatu hal yang lazim.”Fiihi
Qoulaani…fiihi tsalatsatu aqwal,dst) Suatu ketika,bila didapati kesempitan
dalam suatu madzhab,ummat Islam bisa mendapati kemudahan dalam madzhab yang
lain,apakah dalam bidang ibadah,muamalah,munakahah,maupun jinayah,yang
kesemuanya berdasar pada dalil-dalil syara’ dan dibenarkan.
Kholifah Ja’far al Manshur pernah menggagas untuk menetapkan Madzhab Maliki berikut al Muwaththo’
saja sebagai Undang-Undang Khilafah Abbasiyah.Imam Malik bin Anas justru menolak
dan berkata,”Sesungguhnya para sahabat Rosululloh saw berpendar-pencar di
wilayah Islam yang sangat luas padahal masing-masing kaum mempunyai pengetahuan.Apabila
anda membawa mereka hanya pada satu pendapat saja maka bisa terjadi kekacauan.”
Dalam masalah perbedaan pendapat fiqh ini yang kemudian dituntut
dari kita adalah sikap toleran (tasamuh),berlapang dada,dan saling
menghargai,karena semuanya didasarkan pada dalil-dalil syara’ dan hasil
kesungguhan berijtihad.Tidak fanatik (ta’ashshub) buta dan mengklaim benar
sendiri.Kita harus memandang perbedaan ini bukanlah suatu sekat yang meretakkan
hubungan batin dan kendala untuk bekerja sama dalam kebaikan.Para sahabat dan
ulama salaf dahulu pun kadang-kadang berbeda pendapat,namun hal itu tidak
menjadikan mereka retak hubungan,berselisih dan berpecah.
Imam Syafi’I tatkala melaksanakan sholat subuh bersama jamaah pengikut madzhab
Hanafi di Bagdad,beliau tidak melakukan qunut,padahal qunut subuh merupakan
madzhab beliau.Artinya beliau memahami bahwa diluar madzhab beliau pun ada
kebenaran.
Imam Abu Hanifah semula berpendapat bahwa bersedekah lebih utama daripada haji
tathowwu’ (haji sunnah).Namun ketika beliau melaksanakan haji dan melihat
beratnya pelaksanaan ibadah haji,beliau mengubah pendapatnya menjadi
mengutamakan haji tathowwu’ atas sedekah.Kebenaran hanya milik Alloh dan
rosululloh saw.
Namun,hal ini bukan berarti
bahwa bermadzhab dalam maslah fiqh harus ditinggalkan.Para ulama yang merumuskan
sekian banyak madzhab itu sesungguhnya adalah acuan kita dalam memahami
agama.Agama Islam ibarat samudara tak bertepi,dan Ulama’ lah yang mengalirkan
samudra itu menjadi sungai-sungai dan sumur.Memahami agama tanpa ulama adalah
sikap yang tidak benar dan tidak jujur.Apalagi sering didapati kelompok atau
orang yang mengaku lepas dari madzhab,kenyataannya dia mengulang dan mengacu
juga pada ulama’,ibarat berlari dari air tapi tercebur juga pada air itu.Namun
usaha kita untuk terus meningkatkan wawasan keagamaan adalah suatu tuntutan
kita beragama juga.Firman Alloh swt:
#sÎ)ur
öNèduä!%y`
ÖøBr&
z`ÏiB
Ç`øBF{$#
Írr&
Å$öqyø9$#
(#qãã#sr&
¾ÏmÎ/
( öqs9ur
çnru
n<Î)
ÉAqߧ9$#
#n<Î)ur Í<'ré&
ÌøBF{$#
öNåk÷]ÏB
çmyJÎ=yès9
tûïÏ%©!$#
¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o
öNåk÷]ÏB
3
Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri) QS An Nisa’: 83
Satu
hal yang perlu diingat bahwa dulu kaum
muslimin jika berbeda pendapat mereka merujuk kepada Kholifah untuk mencari
penyelesaianya.Sedangkan sekarang dimanakah Kholifah itu? Maka sepatutnya kaum
muslimin mencari Qodli dan Mufti,tapi dimanakah Qodli dan Mufti itu?
Kita ingatlkan sekian kalinya bahwa
perbedaan pendapat yang mengarah kepada keluasan cara berfikir (sa’atul fikri)
adalah suatu perbedaan yang terpuji,sedang perbedaan pendapat yang mengarah
kepada perpecahan (syiqoq) adalah suatu yang tercela.
Akhirnya,prinsip “Kita saling
membantu dalam hal-hal yang kita sepakati dan toleran untuk hal yang kita
perselisihkan (selama tidak mengarah pada perpecahan)”,senantiasa mari kita
lestarikan,seraya kita berusaha meningkatkan wawasan keagamaan kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar