Translate

Kamis, 07 November 2013

Puasa, Terapi Lemahnya Irodah & Maksimalisasi Mauhibah

Alloh tabaroka wata’ala berfirman: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.( yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu…)QS al Baqoroh : 183 – 184 . Firman Alloh (…sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kalian ) Di sini ada tiga tujuan yang terkandung dalam ungkapan menyerupakan / Tasybih ( …sebagaimana…) : 1. Memperhatikan serius ( Ihtimam ) ibadah ini ( puasa ) karena keberadaannya yang telah disyariatkan Alloh sejak sebelum umat ini di mana hal tersebut memunculkan konsekwensi dilaksanakannya ibadah ini dengan baik, kesempurnaan pahalanya dan membangkitkan semangat umat ini untuk menyambutnya supaya ibadah ini tidak hanya menjadi keistimewaan umat - umat terdahulu. Alloh berfirman ( … dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba ) QS al Muthoffifin : 26 . 2. Memberikan kemudahan ( Tahwiin ) ibadah ini kepada orang – orang mukallaf ( al Mukallafin ) agar mereka tidak merasa berat. Makna ini dikuatkan ( tersiratkan ) dalam firmanNya “ …dalam beberapa hari tertentu “ 3. Mengobarkan semangat dan tekad bulat ( Azimah - Azaim ) untuk melakukan ibadah ini sehingga mereka tidak teledor menerimanya, tetapi sebaliknya mengambil ibadah ini dengan kekuatan melebihi apa yang telah dilakukan oleh umat - umat terdahulu. Di sini ada sebuah contoh metode / uslub Alqur’an al Karim dalam memberikan terapi terhadap lemah Irodah ( yang menjangkiti ) seorang muslim. Sebab sesungguhnya seorang muslim yang terbina semestinya mampu menghasilkan sebuah karya nyata sesuai bakat alamiah yang diberikan Alloh ( Mauhibah ) dengan catatan Mauhibah itu ia wujudkan dengan ikhlash, bersungguh - sungguh dan konsisten dalam rangka mendekat dan mencari ridho Alloh dengan satu keyakinan seperti firmankan olehNya, “ Dzat yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk “ QS al A’laa : 2 - 3 . Terkait dengan ini, Sayyidina Ali ra mengatakan: “ Nilai diri seseorang adalah profesionalitas yang ia miliki “ maka nilai diri orang berilmu adalah ilmunya, sedikit atau banyak ilmu itu. Nilai diri seorang penyair adalah syairnya, baik atau jelek syair itu. Jadi nilai diri semua orang adalah Mauhibah atau aktivitas rutin ( Hirfah ) yang ia miliki, bukan yang lain. karena itulah seorang muslim hendaknya bersemangat kuat meninggikan nilainya dan menjadikan mahal harga dirinya dengan amal saleh serta tidak usah merasa resah betapapun ia sedikit harta atau dalam keadaan susah ( secara ekonomi ). Kegagalan manusia dalam menghasilkan sebuah karya nyata disebabkan oleh lemah kemauan ( Dhu’ful Irodah ) dan banyak mengeluh. Karena itu Alloh berfirman, “ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat dengan rutin.( Daa’imun) “ QS al Ma’arij : 19 - 22 . Alloh berfirman: “ … dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir " QS Yusuf : 87. dan dikatakan: Jangan menyangka kemuliaan adalah kurma yang hanya kamu rasakan lezat memakannya. Kamu tidak sampai pada kemuliaan sehingga (terlebih dahulu ) menjilat buah Jadam - والله يتولى الجميع برعايته -

Tidak ada komentar: