Translate

Rabu, 06 November 2013

Bagaimana Menghargai Pendapat Orang Lain

Mengawali pembahasan ini,ada sebuah kisah.Ada orang datang dan bertanya kepada ulama besar.”Apa hukumnya mandi dan istinja’ dengan air zamzam?” tanyanya,Ulama itu menjawab,”masalah ini adalah masalah khilaf.Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan”.Menurut pendapatmu sendiri bagaimana?” Tanya ulama itu.”Menurut saya,boleh-boleh saja mandi dan beristinja’ dengan air zamzam,karena tidak ada nash dalam soal ini”,jawab orang tadi.”Bagi saya hukumnya tidak boleh,karena juga tidak ada nash dalam soal ini.Air zamzam itu air yang mulia maka sepatutnya digunakan untuk hal-hal yang mulia. Di dunia Islam,kita menemukan dua jenis perbedaan pendapat atau perbedaan madzhab. Pertama,perbedaan pendapat dalam masalah-masalah prinsip keyakinan atau keimanan (ikhtilaf fil madzahib al I’tiqodiyyah). Kedua,perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqhiyah (ikhtilaf fil madzahib al fiqhiyah) Jenis pertama,perbedaan pendapat (perpecahan) dalam masalah prinsip-prinsip keyakinan hakikatnya merupakan malapetaka bagi kaum muslimin.Perbedaan ini mengakibatkan terpecah belahnya persatuan ummat Islamyang tidak ada titik temunya.Perbedaan pendapat ini semestinya tidak ada.Kaum muslimin seharusnya hanya meyakini satu madzhab saja,yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah,yang merupakan model golongan yang menggambarkan pemikiran Islam yang asli dan murni seperti pada masa Rosululloh saw dan masa al Khilafah ar Rosyidah. Adapun jenis kedua,perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah,keberadaannya merupaka suatu keniscayaan,sesuatu yang mesti terjadi dan sulit dihindari..Perbedaan pendapat dalam masalah fiqh ini berangkat bahwa nash-nash syara’ yang ada sebagian besar membuka penafsiran (interpretasi) tidak tunggal.Disisi lain,nash-nash itu tidak memuat keseluruhan realitas permasalahan yang terjadi di dunia secara detail,karena jumlah nash terbatas sedang realitas permasalahan terus berkembang.Untuk ini diperlukan qiyas,memahami illat suatu hukum,memperhatikan tujuan Alloh swt,menetapkan suatu hukum,memperhatikan visi dan misi dasar syari’at dan sebagainya (ijtihad).Sementara dalam masalah ini,potensi akal para ulama,kapasitas pengetahuan dan interpretasi mereka serta lingkunagn di mana mereka berada berbeda antara satu dengan lainnya.Dari sinilah terjadi perbedaan pendapat itu.Namun,mereka semuanya sama dalam upaya dan mencari kebenaran.Selanjutnya kelak,barang siapa pendapatnya benar maka mendapatkna dua pahala,sedang barangsiapa yang salah mendapatkan satu pahala. Imam Malik bin Anas berkata: “Tidak ada diantara kita kecuali bisa diterima dan ditolak (pendapatnya),kecuali penghuni makam ini (Rosululloh saw). Imam Asy Syafi’I berkata, “Barangsiapa telah tampak jelas sunnah Rosululloh saw baginya,maka tidak halal baginya menigggalkan sunnah itu dan beralih kepada pendapat seseorang” Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini kalau dipaksa harus disatukan justru bertentangan dengan karakteristik agama Islam.Alloh menghendaki agar agama ini bertahan abadi dan mampu mengikuti perkembangan zaman,Oleh karena itu,masalah-masalah yang tidak prinsipil dalam agama ini dibuat elastis,luwes,mudah,tidak mandeg dan tidak kaku. Perbedaan pendapat dalam masalah fiqh tidaklah mengurangi nilai keunggulan agama Islam,sebaliknya justru menjadi berkah dan rahmat bagi ummat Islam.Seperti diketahui,dalam bidang fiqh,munculnya dua atau lebih pendapat adalah suatu hal yang lazim.”Fiihi Qoulaani…fiihi tsalatsatu aqwal,dst) Suatu ketika,bila didapati kesempitan dalam suatu madzhab,ummat Islam bisa mendapati kemudahan dalam madzhab yang lain,apakah dalam bidang ibadah,muamalah,munakahah,maupun jinayah,yang kesemuanya berdasar pada dalil-dalil syara’ dan dibenarkan. Kholifah Ja’far al Manshur pernah menggagas untuk menetapkan Madzhab Maliki berikut al Muwaththo’ saja sebagai Undang-Undang Khilafah Abbasiyah.Imam Malik bin Anas justru menolak dan berkata,”Sesungguhnya para sahabat Rosululloh saw berpendar-pencar di wilayah Islam yang sangat luas padahal masing-masing kaum mempunyai pengetahuan.Apabila anda membawa mereka hanya pada satu pendapat saja maka bisa terjadi kekacauan.” Dalam masalah perbedaan pendapat fiqh ini yang kemudian dituntut dari kita adalah sikap toleran (tasamuh),berlapang dada,dan saling menghargai,karena semuanya didasarkan pada dalil-dalil syara’ dan hasil kesungguhan berijtihad.Tidak fanatik (ta’ashshub) buta dan mengklaim benar sendiri.Kita harus memandang perbedaan ini bukanlah suatu sekat yang meretakkan hubungan batin dan kendala untuk bekerja sama dalam kebaikan.Para sahabat dan ulama salaf dahulu pun kadang-kadang berbeda pendapat,namun hal itu tidak menjadikan mereka retak hubungan,berselisih dan berpecah. Imam Syafi’I tatkala melaksanakan sholat subuh bersama jamaah pengikut madzhab Hanafi di Bagdad,beliau tidak melakukan qunut,padahal qunut subuh merupakan madzhab beliau.Artinya beliau memahami bahwa diluar madzhab beliau pun ada kebenaran. Imam Abu Hanifah semula berpendapat bahwa bersedekah lebih utama daripada haji tathowwu’ (haji sunnah).Namun ketika beliau melaksanakan haji dan melihat beratnya pelaksanaan ibadah haji,beliau mengubah pendapatnya menjadi mengutamakan haji tathowwu’ atas sedekah.Kebenaran hanya milik Alloh dan rosululloh saw. Namun,hal ini bukan berarti bahwa bermadzhab dalam maslah fiqh harus ditinggalkan.Para ulama yang merumuskan sekian banyak madzhab itu sesungguhnya adalah acuan kita dalam memahami agama.Agama Islam ibarat samudara tak bertepi,dan Ulama’ lah yang mengalirkan samudra itu menjadi sungai-sungai dan sumur.Memahami agama tanpa ulama adalah sikap yang tidak benar dan tidak jujur.Apalagi sering didapati kelompok atau orang yang mengaku lepas dari madzhab,kenyataannya dia mengulang dan mengacu juga pada ulama’,ibarat berlari dari air tapi tercebur juga pada air itu.Namun usaha kita untuk terus meningkatkan wawasan keagamaan adalah suatu tuntutan kita beragama juga.Firman Alloh swt:                        Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri) QS An Nisa’: 83 Satu hal yang perlu diingat bahwa dulu kaum muslimin jika berbeda pendapat mereka merujuk kepada Kholifah untuk mencari penyelesaianya.Sedangkan sekarang dimanakah Kholifah itu? Maka sepatutnya kaum muslimin mencari Qodli dan Mufti,tapi dimanakah Qodli dan Mufti itu? Kita ingatlkan sekian kalinya bahwa perbedaan pendapat yang mengarah kepada keluasan cara berfikir (sa’atul fikri) adalah suatu perbedaan yang terpuji,sedang perbedaan pendapat yang mengarah kepada perpecahan (syiqoq) adalah suatu yang tercela. Akhirnya,prinsip “Kita saling membantu dalam hal-hal yang kita sepakati dan toleran untuk hal yang kita perselisihkan (selama tidak mengarah pada perpecahan)”,senantiasa mari kita lestarikan,seraya kita berusaha meningkatkan wawasan keagamaan kita

Tidak ada komentar: