Translate

Sabtu, 02 November 2013

DUA PERMATA YANG HILANG

Diantara sinyalemen yang diungkapkan Rasulullah saw tentang tanda-tanda akhir zaman ialah adanya sosok generasi yang terasing ( gharib ). Tentu generasi yang baik ini bukan terasing dari komunitas orang banyak karena apa yang diperbuatnya salah, melainkan mereka terasing karena kokoh dalam keimananya, sementara kebanyakan manusia pada saat itu justru kebalikannya. Ada dua karakter besar yang dilakaukan oleh kebanyakan manusia pada waktu itu. Pertama, mereka melalaikan Allah swt. Perilaku dan pikiran mereka tidak dikaitkan dengan keagungan dan ketentuan Allah swt, meliankan fokus mereka semata-mata berorientasi pandangan ihwal kedunia-wian. Kedua, menanggalkan ajaran kebenaran yang di bawa oleh Al Qu’an. Jangankan mereka ber-upaya memahami ayat-ayat dari wahyu Allah untuk dimasukkan otaknya, mereka justru menggugat keabsahan Al Qur’an, setidak-tidaknya mereka memutarbalikkan makna tersurat dari kitab suci itu. Dengan dua karakter ini kebanyakan manusia saat itu menjadi tidak murni lagi dalam berislam, kondisinya sudah terinfiltrasi ( disusupi ) oleh ajaran yang lainnya. Kondisi ini mengakibatkan kebanyakan mereka termasuk orang-orang yang fasik,persis dengan kondisi ahlul kitab di masa-masa sebelumnya. Atas kondisi yang bisa saja menimpa umat Islam di setiap masa ini, Allah swt berfirman : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasik. ( QS. Al Hadid : 16) Menurut Imam An Nawawi, kata li dzikrillah pada ayat ini maksudnya ada dua, yaitu (….) (tuduk hati ketika mengingat Allah swt ) dan (….) ( tunduk hati untuk tujuan mengingat Allah swt). Arti pertama maksudnya mengingat Allah dengan ketundukan hati telah menjadi suatu kedudukan tertentu di sisi Allah swt ( maqom ). Sedang arti kedua maksudnya mengingat Allah dengan ketundukan hati secara tidak stabil, masih situasional (hal). Dengan demikian kondisi yang maksimal ialah menjadikan dzikrullah sebagai maqom, sedang kondisi yang setidak-tidaknya ialah menjadikan dzikrullah sebagai hal. Dzikrullah yang mempunyai arti luas bisa jadi berarti membawakan doa atau wiridan yang dianjurkan membacanya. Juga berarti dzikrullah melakukan perbuatan baik yang fardlu maupun sunnah secara rutin, seperti tilawah Al Qur’an, pengajian ilmu, dan berdakwah, termasuk segala aktifitas politik menuju tatanan Allah swt di bumi. Karena yang terpenting dari dzikrullah adalah membebaskan diri dari lalai dan lupa kepada Allah swt.Sehingga menurut Said bin Jubair,setiap perbuatan yang didarmabaktikan juntuk Alloh adalah dzikir.(Fi Sabilil Huda War Rosyad,hal 32.Sayyid Muhammad al Maliky) Selain kesadaran berdzikir, kesadaran lainnya ialah membenarkan secara tanpa kompromi atas apapun yang dibawa oleh Al-Qur’an. Kehujjahan Al-Qur’an dan kewajiban mengamalkannya adalah urusan yang maklumun fiddin bid dlarurah, tanpa butuh dalil lagi. Karena dari mengamalkan Al-Qur’an itulah makna berpegang teguh kepada agama Islam. Allah saw berfirman : “Alif laam raaa. Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu”. (QS Hud: 1) Soal Al-Qur’an ini mesti disadari bahwa walaupun turunya telah habis bersamaan wafatnya Rasulullah saw, akan tetapi antisipasi Al-Qur’an terhadap kasus-kasus kontemporer juga perkembangannya terhadap penggalian hukum akan terus eksis sepanjang masa. Al-Qur’an semakin di gali dan dikaji, akan semakin bertambahlah rahasia, kedalaman, dan kedetailannya. Imam Ali bin Muhammad Al Habsyi berkata : “Tanazzulnya ( kemampuannya berkembang mengantisipasi zaman ) bagi para ulama senantiasa tetap eksis, sementara dia sudah terputus periodesasi turunnya”.(Syari’atulloh al Kholidah,hal 19) Dua hal ini ( dzikrullah dan menerima Al-Qur’an ) rasanya merupakan dua kesatuan yang terpadu. Artinya kalau orang senantiasa berdzikir kepada Allah swt akan selalu membenarkan apapun yang dibawa Al-Qur’an. Begitu pula orang yang membenarkan Al-Qur’an akan berdzikir kepada Allah swt. Maka orang yang emoh berdzikir dan menolak kebenaran Al-Qur’an, dikhawatirkan jangan-jangan dia berkolaborasi (bekerja sama ) dengan setan. Allah swt berfirman : “Barang siapa yang berpaling dari dzikir Tuhan Yang Maha Pemurah ( Al-Qur’an), kami adakan baginya setan, maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”. (QS.Zukhruf : 36) Dari sini semestinya aktivitas kehidupan kita hendaknya jangan terlepas dari aktivitas dzikir serta aktivitas berdawah dan belajar ( untuk terus mengkaji Al-Qur’an), sebab dua hal itulah permata ( hikmah) yang kerap hilang, minimal selalu timbul tenggelam dari diri kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda : “Ingatlah sesungguhnya dunia itu terkutuk. Juga terkutuk apa yang ada di dunia itu, selain dzikirullah dan suatu yang mengantarkan padanya dan orang yang berilmu atau orang yang belajar.” (HR.Tirmidzi) wallohu a'lam bisshowaf.

Tidak ada komentar: