Sungguh manusia tercipta dengan segala
kelebihan dan kekurangan. Selain kebaikan, dalam diri anak keturunan Adam itu
juga terdapat aneka warna keburukan, akan tetapi justru dalam keburukan inilah
tersimpan Hikmah agung Ilahi, yaitu sebagai sarana ujian bagi manusia itu
sendiri. Barang siapa yang hanyut dalam keburukan itu maka dia termasuk orang
yang celaka dan merugi, sebaliknya keuntungan besar menanti manusia yang mampu
mematahkan keburukan tersebut. Salah satu keburukan yang ditumbuhkan oleh Allah
dalam diri setiap manusia adalah sikap mau menang sendiri, tak mau kalah dengan
orang lain dan cenderung mendahulukan diri sendiri. Sikap seperti ini lazim
disebut Egoisme atau Anaaniyyah. Contoh mudah dari sikap ini
adalah ketika anda melihat sebuah foto anda bersama orang lain, maka pertama
kali yang menjadi sasaran pandangan mata adalah gambar anda sendiri.
Sikap Egoisme ini jika diteliti lebih
jauh ternyata menjelma dalam berbagai macam performa, antara lain:
1) Seperti dalam firman Allah:
إِنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا , إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا , وَإِذَا مَسَّـهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا
“Sesungguhnya manusia tercipta
dengan bersifat keluh kesah, jika apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
dan apabila ia mendapat kebaikan maka ia kikir…”QS al Ma’aarij: 19 – 21.
Yaitu jika tertimpa bencana atau kesusahan
maka manusia merasa sangat susah seakan tak akan ada lagi kebaikan yang datang
serta ke sana kemari mengeluh dan meminta bantuan, tetapi sebaliknya jika
mendapat nikmat dari Allah maka dia menjadi lupa diri dan enggan menularkan
nikmat Allah itu kepada orang lain. Jangankan untuk suatu hal yang sunnah, hal
yang wajib seperti zakatpun ia lupakan. Jadi dengan sikap seperti ini, manusia
telah merampas hak Allah serta hak manusia, padahal sebelumnya saat tertimpa
bencana dia mengeluh kepada Allah dan juga meminta kepada manusia. Dalam ayat
lain, karena sifat ini Allah menyebut manusia sebagai sebagai orang yang pelit (Qotuur
/ Bakhiil), Dia berfirman: “… dan adalah manusia itu sangat kikir” QS
al Isra’: 100.
Dalam rangka menyikapi watak seperti ini,
manusia mendapat bimbingan dari Allah agar bersikap Ta’affuf atau
menjaga diri dan tidak lepas kontrol kala kesusahan melanda, “…orang yang
tidak tahu menyangka bahwa mereka orang–orang kaya karena mereka memelihara
diri dari meminta–minta. Kamu kenal dengan sifat–sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak…”QS al Baqarah: 273, serta bersikap
tepo seliro, bertoleransi kepada orang lain yang membutuhkan saat bisa
memberikan bantuan.
2)
Seperti dalam firman Allah:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِـيْنَ , الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَي النَّاسِ يَسْتَـوْفُوْنَ , وَإِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ
“Kecelakaan besarlah bagi
orang–orang yang curang, (yaitu) orang–orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi” QS al Muthaffifiin: 1–3.
Sikap hanya mau menang sendiri juga mendorong
manusia untuk tidak mau dirugikan oleh orang lain tetapi suka merugikan orang
lain, salah satunya adalah dengan menuntut kesempurnaan timbangan dan takaran
kepada orang lain, sementara jika menimbang atau menakar untuk orang lain dia
mengurangi. Seperti lazimnya firman Allah yang lain, ayat tersebut juga turun
sebagai respon atas sebuah fenomena, Ibnu Abbas ra meriwayatkan: Ketika
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang di Madinah, penduduk Madinah biasa
mengurangi takaran hingga lalu turunlah firman Allah di atas. Dalam ayat lain
Allah berfirman: “Dan tegakkanlah
timbangan itu dengan adil dan janganlah mengurangi neraca itu” QS ar
Rahmaan: 9.
3) Seperti dalam firman Allah:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Dan bergaullah dengan mereka
(isteri–isteri) dengan baik, lalu jika
kalian tidak menyukai mereka maka (bersabarlah) karena mungkin sekali kamu
tidak menyukai sesuatu , padahal Allah menjadika padanya kebaikan yang banyak”QS an Nisa’: 19.
Seorang suami wajib bergaul
dengan isterinya dengan cara yang baik (Mu’aasyarah Bil Ma’ruuf), semua
suami mengerti akan hal ini, akan tetapi seringkali kewajiban ini terlupakan
ketika suami melihat sebuah keburukan isterinya, perasaan dan prilakunya kepada
isteri berubah manakala menyaksikan sesuatu yang tidak menyenangkan dari ibu
anak–anaknya. Jika hal ini dituruti berarti seorang suami hanya menuruti egonya
sendiri yang berupa hanya mau merasakan kesenangan dan kesempurnaan pasangan, tetapi
tidak mau menerima kekurangan, karena inilah Nabi shallallahu alaihi
wasallam berpesan:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا ءَاخَرَ
“Seorang mukmin (suami) jangan
membenci mu’minah (isteri); jika dia marah terhadap suatu karakter darinya
(isterinya) maka sangat mungkin dia rela akan karakter yang lain” HR Muslim
Ayat dan hadits ini memberikan arahan kepada
suami agar jangan tergesa menyalahkan dan membenci isteri hanya karena prilaku
isteri yang tidak berkenan di hati, Imam Sya’rani dalam Tanbiihul
Mughtarriin menulis:
“Dan salah satu karakter para Salaf Sholeh
adalah tabah dan bersabar menghadapi tingkah laku isteri yang tidak
menyenangkan, mereka mengerti bahwa segala yang dilakukan oleh isteri tak lain
adalah gambar hidup dari perlakuan mereka kepada Allah. Ini adalah kaidah
mayoritas (Aktsariyyah) dan bukan keseluruhan. Para Salaf yang Sholeh
itu juga masih tetap memberikan hak isteri secara penuh kendati isteri mereka
melakukan pembangkangan”
4) Seperti dalam firman Allah:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْـهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”QS al Baqarah: 228.
Seperti isteri memiliki kewajiban, ia juga
mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami, Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Hendaknya kamu memberinya makan jika kamu makan,
kamu memberikan pakaian jika kamu berpakaian, dan jangan memukul wajah, jangan
menjelek–jelekkan dan jangan menjauhinya kecuali dalam rumah” HR Ibnu
Hatim – Ibnu Jarir, dan termasuk hak isteri adalah menikmati kecantikan
suami, Ibnu Abbas berkata: “Sesugguhnya aku suka berhias untuk isteriku seperti
aku juga sangat suka jika isteriku berhias untukku”, artinya dalam rangka
mewujudkan hak isteri yang berupa Mu’asyarah Bil Ma’ruuf seorang suami
juga dituntut agar menghias diri, akan tetapi pada kenyataannya, egoisme
mendorong banyak suami meminta pelayanan sempurna dari isteri sementara dia
sendiri tidak mengimbangi pelayanan tersebut dengan servis memuaskan.
5) Keengganan Wanita untuk Dimadu
Egoisme juga menampak pada diri
seorang wanita ketika mendengar bahwa sang suami akan menikah lagi, sepertinya
tak ada isteri yang rela jika ada cinta untuk wanita lain dalam hati suaminya.
Ini adalah naluri semua wanita, tetapi masalahnya adalah memiliki isteri lebih
dari satu adalah hal yang diperbolehkan dan sah dilakukan jika memenuhi segala
persyaratan yang telah ditentukan. Memang bukan sebuah hal yang mudah untuk
menerima madu, tetapi inilah yang telah digariskan olehNya. Dalam sebuah hadits
disebutkan:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلَي النِّسَاءِ وَالْجِهَادِ عَلَي الرِّجَالِ فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ إِحْتِسَابًا كَانَ لَهَا أَجْرُ شَهِيْدٍ
“Sesungguhnya Allah menuliskan
Kecemburuan atas wanita dan Jihad atas para lelaki, maka barang siapa dari
mereka (para wanita) yang ikhlas dan sabar maka baginya pahala orang mati
syahid ”HR
Thabarani / Disebut
oleh Ibnul Jauzi dalam Ahkaamun Nisa’ : 151.
Kisah Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra bisa
dijadikan teladan dalam masalah ini. Isteri Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam itu bercerita: Nabi shallallahu alaihi wasallam datang, aku
lalu berkata: Sudikah anda menikahi saudara saya (Azah)? Nabi shallallahu
alaihi wasallam balik bertanya: “Apakah kamu suka dengan hal ini?”
aku menjawab: “Saya tak akan pernah melarang anda (dari madu) dan saya sangat
suka jika orang yang ikut bersama saya dalam kebaikan itu adalah saudara saya
sendiri”. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda: “Tidak, dia
tidak halal bagiku”(HR Muslim/Tahriimurrabibah Wa Ukhtul Mar’ah)
Peristiwa terkikisnya Egoisme
dikisahkan oleh Allah terjadi dalam pribadi–pribadi para sahabat Nabi shallallahu
alaihi wasallam, di mana mereka adalah tipe manusia yang senantiasa
berusaha membahagiakan orang lain meski mereka sendiri dalam keadaan susah,
sikap seperti biasa disebut dengan Iitsaar, Allah berfirman:
...وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَي أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ...
“…dan mereka mengutamakan (orang
lain/muhajirin) atas diri mereka sendiri meski mereka sendiri sangat
membutuhkan (apa yang mereka berikan)”QS al Hasyr: 9.
Abu Hurairah ra bercerita: Seorang lelaki
datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengeluh
kepayahan serta kelaparan. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu
bertanya kepada para isteri, tetapi ternyata mereka semua tak memiliki
sedikitpun makanan yang bisa disuguhkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam
akhirnya bersabda: “Adakah seorang yang menyuguh lelaki ini pada malam ini?”
seseorang (Abu Tholhah ra) kemudian menjawab: “Saya, wahai Rasulullah”. Lelaki
itu kemudian pulang ke rumah dan berkata kepada isterinya: “Ini adalah tamu
Rasulullah, jangan kamu menyimpan sesuatu makanan?” Isterinya menjawab: “Demi
Allah saya tak menyimpan sedikitpun kecuali jatah makan malam untuk anak kita”.
Lelaki itu berkata: “Jika anak kita meminta makan, maka tidurkan saja dia, dan
matikan lampu, biarlah malam ini perut kita lapar”. Pagi harinya, lelaki tamu
itu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan Nabi shallallahu
alaihi wasallam lalu bersabda: “Sungguh Allah sangat heran dengan suami
isteri itu”Muttafaq Alaih, setelah kejadian ini turunlah firman
Allah seperti tersebut.