Seorang Ibu pernah bertanya tentang sabda Nabi SAW yang artinya, “Demi Dzat
yang diriku berada dalam kekuasaanNya. Tiada lelaki yang mengajak isteri menuju
Firosynya (mengajak ke ranjang) lalu isterinya menolak kecuali Dzat yang berada
di langit marah kepada (isteri) sampai suami ridho kepadanya”[1]. Abu Huroiroh
ra juga menyatakan: “Nabi SAW melaknat al Musawwifah dan al Muflisah”[2]. Al Musawwifah
adalah wanita yang jika suami mengajaknya maka ia berkata,”Sekarang? nanti
sajalah” sedang al Muflisah adalah wanita yang saat diajak suami maka ia
mengaku sedang haid padahal tidak haid. Di sini dengan jelas dinyatakan bahwa
isteri yang menolak ajakan suami
mendapat marah dari Alloh dan laknat malaikat serta Rosululloh SAW. Lantas
bagaimana jika suami menolak ajakan isteri?.
Sungguh hak suami atas isteri sangatlah besar hingga pada saatnya nanti
yang pertama kali ditanyakan kepada wanita adalah sholatnya dan bagaimana
perlakuannya kepada suami. Ketika datang dari Yaman, Muadz bin Jabal berkata,
“Wahai Rosululloh, saya melihat orang -
orang di Yaman satu sama lain saling bersujud memberi penghormatan. Apakah kami
bisa bersujud kepada engkau?” Nabi SAW menjawab, “Andai aku memberi perintah
manusia agar sujud kepada manusia tentu aku akan memerintahkan isteri bersujud
kepada suami”[3]Hak
suami atas isteri juga disebut dalam sabda Nabi SAW, “...demi Dzat yang diriku
berada dalam gengamanNya, andai dari kaki hingga kepala suami ada luka yang
mengalirkan nanah kemudian isteri datang dan menjilatinya maka ia belum
sepenuhnya memberikan hak suaminya”[4] Karena itulah
dalam kondisi apapun tak ada alasan bagi isteri untuk menolak ajakan suami,
“Seorang wanita jangan sampai menolak kebutuhan suaminya meski di atas pelana unta, meski di atas
pelana unta” [5]
seorang bertanya, “Salah satu dari kami mempunyai hajat kepada ister?” Nabi SAW
bersabda, “Tak ada alasan bagi isteri untuk menolak meski di atas dapur api
(Tannur)”.
Hanya Alloh yang lebih mengetahui apa rahasia tersembunyi yang terdapat
dalam sabda Nabi SAW ini. Yang pasti memang lelaki harus segera terpenuhi
hasratnya. Sebab jika tidak maka akan terjadi sesuatu yang dinamakan kekacauan
dalam berfikir dan ketidak tentraman dalam
hati. Jika Nabi SAW saja menyatakan bisa menahan diri dari makan dan
minum tetapi tak sanggup menahan lapar dari hasrat yang telah muncul, tentu
bagi pria selain Beliau hasrat itu harus lebih segera terpenuhi karena jika
tidak maka hal – hal negatif pasti muncul. Di samping itu wanita cenderung bisa
siap atau instan setiap saat, berbeda dengan pria. Karena itulah tekanan agar
memenuhi hasrat pasangan kepada pria lebih ringan daripada kepada wanita. Para
ulama Fiqih sendiri berbeda pendapat soal standar kewajiban nafkah batin yang
harus diberikan suami kepada isteri. Kendati demikian mayoritas sepakat bahwa
nafkah batin bagi suami yang mampu wajib memberikannya kepada isteri minimal
sekali dalam setiap kali masa suci, “....maka jika para wanita itu telah
bersuci maka datangilah mereka dari arah yang telah diperintahkan oleh Alloh
atas kalian” QS al Baqoroh: 222. pendapat lain menyatakan bahwa
nafkah batin ini harus diberikan sesuai kekuatan suami dan kebutuhan isteri.
Nafkah batin bagi isteri dihukumi wajib berdasarkan pada keputusan tentang
diperbolehkannya wanita meminta cerai bila memang suaminya Impoten. Sementara
itu Imam Ahmad menyatakan bahwa kewajiban memberi nafkah batin kepada isteri
adalah sekali dalam setiap empat bulan. Ini berdasarkan pada sebuah kasus di
mana Umar ra di tengah malam mendengar seorang wanita berkata: “Malam yang
gelap dan panjang. Mata tak terpejam karena tak ada suami untuk bersenang –
senang. Demi Alloh, andai tiada Alloh tentu ranjang ini akan bergoyang –
goyang. Rasa takut dan malu kepada Tuhanku serta penghormatanku kepada suami
membuatku bisa mengendalikan diri untuk menjaga kendaraan miliknya” keesokan
harinya Umar ra bertanya di mana suami wanita itu dan mendapat jawaban bahwa
suaminya masuk dalam pasukan yang sedang
bertugas di Irak. Selanjutnya Umar ra bertanya berapa bulan wanita mampu
bersabar ditinggal suaminya pergi? Para wanita itu menjawab: Sebulan, dua bulan
dan semakin menipis dalam tiga bulan serta habis dalam empat bulan. Dari sini
kemudian Umar ra pasti menarik kembali pasukan yang telah bertugas selama empat
bulan.
Suami tidak hanya mendapat pemenuhan hasrat dari isteri setiap saat, tetapi
juga memiliki hak mengarahkan kendaraan isteri ke arah yang dikehendaki. Suatu
ketika Umar ra datang dan mengadukan, “Wahai Rosululloh, saya mengalami
kehancuran” “Apa yang menyebabkanmu
hancur?”tanya Nabi SAW. Umar ra menjawab, ”Tadi malam saya telah memindah
(arah) kendaraan saya” Nabi SAW diam tidak menjawab hingga turunlah firman
Alloh, “Para isterimu adalah sawah ladangmu maka datangilah sawah ladang itu
bagaimanapun kamu suka”QS al Baqoroh: 223. dalam versi lain disebutkan bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan para lelaki Muhajirin yang menikah dengan para
wanita Anshor. Mendapati suami mereka melakukan aktivitas sex dengan gaya yang
tidak biasa[6],
para wanita Anshor protes sebab kaum lelaki Madinah tidak biasa melakukan hal
tersebut. Apalagi opini yang disebarkan oleh Yahudi sudah mempengaruhi fikiran
penduduk Madinah bahwa barang siapa yang mendatangi isteri dari belakang maka
kelak anak yang terlahir dari hubungan tersebut akan bermata juling. Hal ini
kemudian sampai kepada Rosululloh SAW hingga turunlah ayat tersebut. Meski
memperbolehkan mendatangi wanita kapan saja, di mana saja dengan cara apa saja
Islam tetapi memberi batasan agar suami tidak melakukan senggama di lubang anus
isteri, tidak menggauli isteri pada saat
menstruasi serta tidak menggauli isteri pada siang hari bulan Romadhon.
Isteri Muda
Menggauli wanita bagi lelaki tidak hanya sekedar sebagai ibadah dan
pemenuhan libido. Lebih jauh dari itu dari aspek non fisik, dari sisi Rohani
hal itu menjadikan pria lebih tenang dan tentram serta mampu berkonsentrasi
penuh dalam beribadah. Dari sisi fisik, sex bagi kaum pria juga memiliki efek
yang cukup signifikan. Sex yang normal menjadikan fisik lelaki lebih sehat,
apalagi bagi lelaki yang sudah berumur dan melakukan sex dengan daun muda.
Karena itulah Nabi SAW bersabda kepada Jabir, “Kenapa kamu tidak menikahi gadis
yang bisa kamu buat bersenang – senang dan ia juga bisa bersenang – senang
denganmu” HR Muslim. Nabi SAW juga bersabda:
عَلَيْكُمْ بِاْلأَبْكَارِ
فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَـقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Carilah oleh kalian para gadis, sebab mereka lebih manis
mulutnya, lebih panas rahimnya dan lebih rela dengan yang sedikit” HR Ibnu Majah.
Meski menganjurkan agar mencari isteri perawan, ternyata dari seluruh
isteri Rosululloh SAW yang tercatat masih berstatus gadis ketika menikah dengan
Beliau hanyalah Aisyah ra. Mayoritas isteri Beliau adalah janda. Ini
membuktikan bahwa Nabi SAW tidak menikah semata atas dorongan syahwat mencari
kepuasan seperti yang dituduhkan oleh para Dajjal pembohong yang menjadi musuh
– musuh Islam, tetapi karena ada tujuan – tujuan lain yang jauh lebih mulia.
Inilah antara lain tujuan – tujuan tersebut; 1) memperbanyak penolong dan
pembantu (Anshoor) dari para mertua
sehingga posisi Beliau semakin kuat
menghadapi para penantang yang menghalang di jalan dakwah. 2) Kabilah – kabilah
yang menjadi mertua Rosululloh SAW naik status menjadi lebih mulia karena
memiliki hubungan kerabat dengan Beliau SAW. 3) Memperlihatkan kepada banyak
orang hal – hal yang tersembunyi dari Nabi SAW agar tuduhan sebagai penyihir
dan tukang ramal musnah. 4) Menunjukkan mukjizat yang berupa kemampuan Beliau
SAW yang menggauli sembilan isterinya dalam satu malam[7].
Tentang menikahi wanita perawan, Alqomah meriwayatkan bahwa ia sedang
berjalan bersama Abdulloh bin Mas’ud ra di Mina. Di tengah jalan mereka bertemu
dengan Utsman bin Affab ra. “Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu
wahai Abu Abdurrohman!” kata Utsman. Abdulloh bin Mas’ud pun merespon dan
mereka kemudian mencari tempat untuk bercakap. Utsman ra kemudian mengatakan:
أَلاَ نُزَوِّجُكَ جَارِيَةً شَابَّةً . لَعَلَّهَا تُذَكِّرُكَ بَعْضَ
مَا مَضَى مِنْ زَمَانِكَ ؟
“Apakah saya bisa menikahkan anda
dengan gadis muda? Mungkin sekali ia bisa mengingatkan kepada anda sebagian
dari masa anda yang telah lewat?”[8]
al Hafizh Ibnu Hajar menuturkan: Ketika itu mungkin sekali Utsman bin Affan
ra melihat keadaan Ibnu Mas’ud ra yang terlihat lusuh seperti tidak terawat dan
ini disimpulkan oleh Utsman ra karena Abdulloh bin Mas’ud ra telah kehilangan
isteri sebagai tempat bersenang – senang baginya. Karena itulah ia kemudian
menyarankan agar Ibnu Mas’ud menikah lagi dengan seorang gadis muda. Al Hafizh
melanjutkan, ‘’Ungkapan “Mungkin sekali ia akan mengingatkan kepada anda
sebagian dari masa anda yang telah lewat” menyiratkan bahwa menggauli isteri
muda bisa menambah semangat (Nasyaath) dan kekuatan. Dan sebaliknya juga
demikian. Wallohu A’lam[9]. Hikmah yang
disampaikan oleh Utsman ra kepada Abdulloh bin Mas’ud ra itulah yang mungkin
menjadi salah satu motivasi bagi seorang
Umar ra yang ketika itu sudah berumur menikahi Ummu Kultsum binti Ali bin Abi
Tholib ra.
Budaya Rohbaaniyyah
Sekelompok sahabat pernah datang bertanya kepada Aisyah ra seputar amal
ibadah Rosululloh SAW. Mendengar penjelasan Aisyah ra mereka sepertinya
menganggap sedikit amal Nabi SAW. Kendati demikian mereka maklum karena Nabi
SAW adalah manusia yang mendapat jaminan bebas dari neraka. Sebagian lalu
berkata, “Aku tak akan menikah dengan wanita” yang lain berkata, “Aku tak akan
memakan daging” dan sebagian lain berkata, “Aku tak akan tidur di atas tikar”
tak lama Nabi SAW datang dan mengetahui apa yang mereka ungkapkan. Nabi SAW
lalu bersabda, “Mengapa mereka mengucapkan seperti itu. Adapun diriku maka aku
sholat juga tidur, berpuasa juga berbuka dan aku juga menikahi
wanita...”Muttafaq Alaihi
Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini, tetapi yang paling
pokok adalah sikap dan tindakan yang diambil oleh Rosululloh SAW guna
membarantas benih – benih ekstrimisme dalam beragama. Islam tidak membenarkan
seseorang terus – terusan bepuasa atau semalam suntuk melakukan sholat dan
Islam juga tidak membenarkan gaya hidup Rohbaaniyyah, menjauh dari wanita
seperti yang hendak dilakukan oleh para sahabatnya termasuk yang pernah
dilakukan oleh Utsman bin Mazh’un, “Rosululloh SAW menolak Utsman bin
Mazh’un yang berniat hidup menjauh dari wanita (Tabattul)...” HR Muslim.
Dalam sejarah, gaya hidup Rohbaaniyyah, tidak menikah dengan wanita
merupakan suatu budaya yang diciptakan oleh orang – orang Nashroni sebagaimana
dikisahkan oleh Alqur’an:
...وَرَهْبَانِيَّةَ نِ ابْتَدَعُوْهَا
مَا كَتَبْـنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا
حَقَّ رِعَايَتِـهَا ...
“.... dan mereka mengada – adakan Rohbaaniyyah
padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang
mengada – adakannya untuk mencari keridho’an Alloh.lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”QS al Hadid: 27.
Ayat in tak lain adalah bentuk teguran keras dan penghinaan terhadap kaum
Nashroni dari dua sisi; 1) mereka merubah agama Alloh dengan menciptakan gaya
hidup kependetaan (Rohbaaniyyah) padahal Alloh tidak pernah mewajibkan hal
tersebut atas mereka. 2) kendati mereka sendiri yang mewajibkan Rohbaaniyyah ,
akan tetapi justru mereka sendiri yang melakukan pelanggaran. Nabi SAW bersabda
kepada Abdulloh bin Mas’ud ra, “Tahukah kamu bahwa Bani Isroil terpecah menjadi
72 golongan dan tak ada yang selamat dari mereka kecuali tiga golongan; golongan pertama bangkit setelah Nabi Isa as
di hadapan para raja durjana untuk mengajak kepada agama Isa as. Mereka lalu
berperang dan terbunuh. Mereka bersabar dan selamat Kemudian sekelompok lagi
bangkit di hadapan para raja durjana dan mengajak kepada agama Isa as meski tak
ada kekuatan untuk berperang. Mereka lalu dibunuh dan dipotong dengan gergaji
serta dibakar dengan api. Mereka bersabar dan selamat. Kelompok ketiga tidak
memiliki kekuatan berperang atau kemampuan menegakkan keadilan hingga mereka
lalu mengungsi ke gunung – gunung untuk beribadah dan menjadi pendeta. Mereka
inilah yang disebut Alloh dalam firmanNya, “dan Rohbaaniyyah yang mereka ada-
adakan...” HR Ibnu Abi Hatim.
Nabi SAW juga pernah bersabda, “Jangan kalian memberatkan diri hingga Alloh
akan memberatkan kalian. Sungguh ada kaum yang memberatkan diri mereka sehingga
Alloh pun memberatkan mereka. Itulah sisa – sisa mereka di gereja – gereja dan
rumah – rumah yang mereka ada – adakan.” HR Abu Ya’la. Sungguh Islam tidak
mengenal Rohbaaniyyah yang berupa menjauh dari wanita, tetapi Islam mengenal
Rohbaaniyyah dalam bentuk lain seperti disebut dalam sabda Nabi Saw:
...عَلَيْكَ بِالْجِهَادِ فَإِنَّهُ رُهْبَانِيَّةُ اْلإِسْلاَمِ
...
“...tetapilah Jihad oleh kalian, sungguh ia adalah Rohbaaniyyah Islam....” HR Ahmad
[1] HR Muslim
[2] HR Abu
Ya’la
[3] HR
Turmudzi dalam Kitaabun Nikaah. Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
[4] HR Imam Ahmad
[5] HR Ahmad
dan Ibnu Majah
[6] Para
lelaki Makkah biasa mendatangi wanita dari depan, belakang maupun dari atas.
Sementara para wanita Madinah hanya biasa mengenal satu arah maka ketika
seorang dari mereka menikah dengan lelaki dari Makkah protes pun muncul
[7] Lihat az Zawaajul Islaami al
Mubakkir / 31.Syakh Ali Shobuni
[8] HR
Bukhori Muslim. Lafazh milik Muslim / 1400
[9] Lihat Fathul
Baari Syarah Hadits ke 5065.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar