Ghoilan bin Salamah ats Tsaqofi ketika masuk Islam memiliki sepuluh isteri[1]. Umairoh al
Asadi ketika memeluk Islam memiliki
delapan isteri[2].
Sementara Naufal bin Muawiyah addiyali ketika masuk islam mempunyai lima orang
isteri[3]. Hal itu mereka
sampaikan kepada Nabi SAW dan Beliau SAW lalu memerintahkan, “Pilihlah empat dari
mereka!”. Dari hadits – hadits ini semua ulama sepakat bahwa lelaki
diperbolehkan memperisteri lebih dari satu dan tidak lebih dari empat wanita.
Sementara sekelompok Syi’ah mengatakan bahwa lelaki boleh mempunyai isteri
lebih dari empat yaitu sampai sembilan isteri. Dan ada yang lebih gila lagi
sampai pada batas yang tidak ditentukan. Keabsahan memiliki isteri sampai empat
dinyatakan jelas dalam firman Alloh:
...فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ َمثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ...
“....maka kawinilah wanita – wanita
yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat...”QS an Nisa’: 3.
Diperbolehkan menikah dengan empat wanita bila memang seorang suami bisa
berbuat adil. Jika tidak bisa berbuat adil maka cukup beristeri satu saja
sebagaimana dalam lanjutan ayat”...jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil
maka kawinilah seorang saja atau budak – budak yang kamu miliki”QS an Nisa’:3.
maksud adil di sini adalah adil dalam memberi nafkah dan menggiliri. Adapun
adil dalam cinta, kasih sayang dan senggama maka sungguh hal ini di luar batas
kemampuan manusia. Mungkinkah hati bisa sama dalam bersimpati kepada isteri
yang lebih mudah dan lebih cantik?. Suatu hal mustahil bila hati disuruh sama
dalam ketertarikan kepada warna hitam dan warna putih. Karena itulah Nabi SAW
sendiri selaku manusia yang paling bertaqwa dan paling adil menyatakan
kepasrahan kepada Alloh:
أَللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا لاَ
أَمْلِكُ
“Ya Alloh inilah giliran yang bisa
saya lakukan maka jangan Engaku cela diriku karena sesuatu yang tak mampu aku
kuasai”
Sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh siapapun yang dimaksud dalam hadits
ini adalah cinta dan senggama. Usaha apapun yang dilakukan untuk menyamakan perasaan cinta dan hasrat
kepada semua isteri adalah suatu hal yang sia – sia. Alloh menegaskan, “Dan
kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara para isteri meski kalian
sangat ingin berbuat demikian....”QS an Nisa’: 129. Karena adil
dalam urusan cinta dan senggama suatu hal yang tidak mungkin dilakukan maka
Alqur’an memberikan bimbingan agar jangan sampai karena begitu besar cinta
kepada salah seorang isteri kemudian isteri yang lain dibiarkan terkatung –
katung. “...karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung – katung”QS an Nisa’:
129. yang dilarang dalam ayat ini adalah terlalu cenderung, bukan
cenderung. Sebab cenderung adalah watak manusia dan ini oleh Islam tidak
disalahkan. Oleh sebagian orang ayat QS
an Nisa’ : 129 ini disalah artikan dan dijadikan senjata untuk melarang dan
tidak membenarkan poligami dan dengan tanpa malu menyatakan bahwa poligami itu
boleh jika adil sementara semua lelaki tak ada yang bisa adil. Ini berarti
poligami adalah sebuah larangan. Sungguh pendapat ini tak lain hanya muncul
dari Egoisme bukan dari ilmu dan penafsiran Alqur’an secara benar yang berupa
bahwa keadilan yang dituntut dan menjadi syarat diperbolehkannya poligami
adalah keadilan dalam memberi nafkah dan menggiliri. Sementara dalam hal cinta,
kasing sayang dan seterusnya merupakan sesuatu di luar batas kemampuan manusia
yang hal ini juga berpeluang menjadikan suami tidak adil dalam menggiliri dan
memberi nafkah. Karena itulah Alqur’an memberikan peringatan sebagai sebuah tindakan antisipasi.
Di samping sebagai sebuah keyakinan yang harus ditanamkan kuat dalam hati,
diperbolehkannya poligami (Ta’addudu zaujaat) harus pula dimengerti
sebagai suatu hal yang Urgensi dalam kehidupan ini. Apalagi Poligami bukanlah
suatu syariat yang baru. Sejak lama Poligami itu dijalani dengan tanpa aturan
dan batas tertentu. Islam kemudian datang dengan memberikan aturan yang jelas
dan lebih adil dalam poligami. Islam datang pada kondisi di mana banyak lelaki
berpoligami dengan lebih dari empat isteri sebagaimana yang dilakukan oleh nama
– nama yang telah tersebut di atas. Islam kemudian memberikan batasan maksimal
empat dan bahkan mengharuskan satu saja kalau memang tak ada kemampuan berbuat
adil dalam Nafaqoh dan Qosmu (Nggiliri. Jawa). Jika sebelumnya poligami menjadi
salah satu sarana menuruti hawa nafsu dan mencari kesenangan (Istimta’) belaka
maka Islam menjadikan poligami sebagai sarana menuju kehidupan yang lurus dan
mulia. Lebih dari itu, Poligami merupakan sebuah syariat yang sebenarnya
menjadi salah satu dari berbagai hal yang harus dibanggakan dari berbagai warna
syariat Islam. Poligami adalah obat,
atau solusi dari penyakit dan berbagai kesulitan yang selama ini banyak mendera
masyarakat pada detik ini. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk bisa
sembuh dan lepas dari masalah kecuali kembali kepada hukum dan aturan Islam.
Sungguh di sana banyak hal yang menjadikan poligami sebagai sebuah urgensi;
misalnya isteri mandul atau sakit yang menjadikan suaminya tidak mungkin lagi
bisa menahan diri (Tahasshun). Mughiroh bin Syu’bah ra, sahabat yang biasa
menikah empat wanita sekaligus dan menceraikan empat sekaligus ini tercatat
pernah mengatakan, “Jika suami hanya mempunyai seorang isteri maka suami itu
ikut sakit bila isteri sakit. Suami ikut Haid bila isteri haid. Dan jika suami
cuma memiliki dua isteri maka ia bagaikan hidup di antara dua kobaran api”.
Dari berbagai hal yang menjadikan poligami sebagai urgensi yang paling penting
adalah keharusan adanya keseimbangan dalam masyarakat. Dua sisi timbangan harus
sama tidak boleh ada yang condong ke kanan atau ke kiri. Dan semestinya agar
keseimbangan ini tercipta, jumlah kaum pria harus sama dengan jumlah wanita.
Jika jumlah wanita lebih banyak atau jumlah pria lebih banyak, apa yang mesti
harus dilakukan. Upaya model apa yang harus dikerahkan, langkah seperti apa
yang harus dijalankan untuk menanggulangi kenyataan jumlah wanita lebih banyak
dari jumlah pria? Apakah wanita harus terhalang dari merasakan nikmatnya
menjadi seorang isteri dan asyiknya menjadi seorang ibu yang menyusui dan
menimang bayi? Apakah wanita akan dibiarkan menyusuri jalan berlubang menuju
jurang pergaulan bebas, perzinaan dan
perselingkuhan sebagaimana telah terjadi di Eropa ketika jumlah wanita melonjak
di atas jumlah pria pasca perang Dunia kedua?. Atau apakah kemelut ini diatasi
dengan cara – cara yang mulia dan manusiawi dan lebih menghargai wanita dan
keluarganya? Akal sempurna dan masih waras tentu memilih dan menyatakan bahwa
mengikat wanita dengan ikatan suci serta merangkulnya bersama wanita lain untuk
bernaung di bawah perlindungan seorang lelaki itu lebih mulia, lebih utama
daripada membiarkan wanita menjadi kekasih gelap dan teman selingkuh seorang
lelaki dengan ikatan dan hubungan penuh dosa serta diancam dengan panasnya api
neraka.
Seorang dosen wanita di salah satu perguruan tinggi Jerman menyatakan,
“Sesungguhnya solusi bagi wanita Jerman adalah diperbolehkannya Poligami” lebih
lanjut dosen wanita yang beragama kristen itu mengakui: “Aku lebih memilih
menjadi isteri kesepuluh seorang lelaki
yang baik dan bertanggung jawab daripada menjadi isteri tunggal seorang
lelaki yang lemah dan tidak bertanggung jawab” Pada 1948, seusai perang dunia
kedua persatuan pemuda Jerman yang mengadakan Munas di Munich membuat suatu
kata sepakat yang sangat bertentangan dengan aturan gereja yang melarang keras
Poligami. Munas tersebut membuat kata sepakat dan mengumumkan: “Poligami
merupakan suatu hal yang sah dilakukan untuk mengatasi jumlah wanita yang
sangat jauh di atas jumlah pria pasca perang dunia kedua”. Jika keputusan ini
diambil pada 58 tahun silam, tentu keputusan ini semakin sesuai dengan realitas
sekarang di mana angka kelahiran bayi pria jauh lebih sedikit dengan angka
kelahiran bayi wanita.
Sungguh jauh hari sebelum keputusan ini dibuat, 14 Abad sebelum keputusan
ini muncul, Islam telah terlebih dahulu mengambil poligami sebagai sebuah
solusi yang paling efektif dan bermoral. Tidak seperti yang dilakukan oleh
Nashroni yang tetap diam dan cenderung tak peduli dengan situasi serta enjoy
dengan fenomena perzinaan dan perselingkuhan. Sungguh sejak 13 Abad yang lalu
Islam bahkan telah memberi penghargaan tinggi kepada suami yang bisa dan
memiliki kemampuan berpoligami sebagai manusia yang tangguh dan bermoral yang
memiliki keunggulan daripada yang lain. Abdulloh bin Abbas ra berkata:
خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ أَكْثَرُهُمْ
نِسَاءً
“Sebaik – baik umat ini adalah yang
paling banyak wanitanya”
Jika melihat sejarah manusia mulia terdahulu, nyaris tak ada dari mereka
yang beristrikan hanya seorang wanita. Nabi Ibrohim as misalnya, selain beristrikan
wanita cantik jelita bernama Saroh, Beliau juga menggauli Hajar dan terlahirlah
Nabi Ismail. Secara akal, andai Nabi Ibrohim tidak berpoligami tentu bangsa
Arab sekarang tidak tercatat dalam daftar manusia yang pernah menghuni bumi.
Nabi Ya’qub as juga demikian, Beliau juga berpoligami sehingga disebutkan dari
satu isterinya terlahir Yusuf dan Bun’yamin sementara dari isteri yang lain
terlahir saudara – saudara Nabi Yusuf as. Nabi Dawud as tercatat memiliki
seratus isteri. Nabi Sulaiman as bahkan disebutkan memiliki 500 isteri dan
Rosululloh SAW sendiri dalam versi Anas tercatat pernah menikah dengan lima
belas wanita. Dua ditalak sebelum berkumpul, dua ditalak setelah berkumpul dan
dua meninggal di masa hidup Beliau SAW dan ketika meniggal Beliau
SAWmeninggalkan 9 isteri.
Kecemburuan Wanita
Poligami, sebuah solusi penuh hikmah yang telah ditawarkan Islam sebagai
langkah menanggulangi melonjaknya jumlah wanita jauh di atas pria, ternyata
tidak hanya terhalang oleh musuh – musuh Islam sendiri, tetapi justru solusi
ini banyak terjegal oleh kaum wanita sendiri. Mayoritas wanita menolak jika
suami menikah lagi meski suaminya orang yang mampu melaksanakan hal itu. Bahkan
ada sebagian wanita yang lebih memilih bercerai daripada hidup bersanding
dengan madu. Memang untuk bisa bersanding dengan madu bukanlah suatu hal yang
mudah. Karena itulah Islam memberi penghargaan sangat mahal bagi setiap wanita
yang mampu memberi kesempatan atau bahkan mencarikan isteri untuk suaminya
seperti halnya Islam menghargai dan memuji lelaki yang dengan adil merawat banyak isteri. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلى النِّسَاءِ وَالْجِهَادَ عَلَى
الرِّجَالِ . فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ إِحْتِسَابًا كَانَ لَهَا أَجْرُ شَهِيْـدٍ
“Sesungguhnya Alloh Menulis Ghoiroh
(cemburu) atas para wanita dan menulis Jihad atas para lelaki. Maka barang
siapa dari mereka (para wanita) sabar akan hal itusemata karena Alloh maka baginya pahala orang mati syahid” HR Thobaroni.
Surga penuh dengan kenikmatan yang tak terbayangkan oleh indera manusia. Di
sana tak ada susah tak ada payah, yang
ada hanya gembira dan tertawa. Aneka ragam kelezatan dipersilahkan untuk
dirasakan sepuas – puasnya selamanya tak akan ada habisnya. Sungai – sungai
Arak, susu dan madu mengalir jernih tak ada putusnya. Di sana juga ada telaga
Kautsar milik Rosululloh SAW yang paling banyak didatangi oleh manusia pada
saat itu. Indah dan sungguh
menggairahkan serta mengobarkan kecemburuan manusia beriman untuk segera
memasukinya. Akan tetapi dari para penduduk surga yang tenggelam dalam lautan
nikmat dan anugerah Alloh itu, ada sekelompok orang yang justru ingin kembali
lagi ke dunia. Perasaan ini muncul setelah mereka menyaksikan betapa besar dan
luas anugerah dan kemuliaan yang Alloh
yang curahkan atas orang – orang yang terbunuh di jalan Alloh. Mereka berharap
bisa kembali ke dunia semata karena ingin berjihad dan terbunuh berkali- kali
sehigga kenikamatan dan anugerah yang mereka terima semakin bertambah melimpah.
Wanita tidak dituntut untuk berjihad / berperang di jalan Alloh, ini
berarti kesempatan mati sebagai Syahid tidak ada. Akan tetapi wanita masih
mendapat kesempatan meraih pahala seorang Syahid jika ia mampu mengikis
Egoismenya dan mematahkan dorongan kecemburuannya untuk selanjutnya merelakan
suaminya menikahi wanita lain yang juga memiliki keinginan sama dengannya,
yaitu menjadi seorang isteri dan ibu yang baik bagi anak – anaknya. Untuk bisa
bersikap seperti ini sungguh teramat sulit dan sepertinya tidak mungkin. Maklum
karena balasan dari sikap ini adalah surga dan bukan hanya surga, tetapi
derajat tinggi di surga berupa derajat orang – orang yang Syahid. “Surga itu
dikepung dengan hal - hal yang tidak menyenangkan (Makaarih) sedang neraka
dikepung dengan hal – hal yang menyenangkan (Syahawaat)” Apapun usaha
yang dilakukan oleh isteri untuk tidak membagi suaminya dengan wanita lain ,
tak lebih hanya usaha yang efektif di dunia ini saja. Sebab kelak di akhirat,
isteri harus mau membagi suaminya dengan para bidadari surga. “Seorang isteri
tidak menyakiti suaminya di dunia kecuali bidadari isteri suaminya berkata:
“Jangan menyakitinya, sungguh ia tak lebih hanya sebagai tamumu yang sebentar
lagi akan meninggalkanmu dan (datang) kepada kami” HR Turmudzi Ahmad Ibnu
Majah.
Wanita mulia, bukan hanya wanita yang mampu memberikan ketenangan dan
layanan memuaskan kepada suaminya. Lebih dari itu, wanita mulia adalah wanita
yang mampu menahan diri dan tidak terbawa emosi begitu mendengar suaminya
menikah lagi. Inilah karakter wanita sholehah masa lalu di mana mereka bukan
hanya diam melihat suami menikah lagi, tetapi justru menawarkan agar suaminya
menikah lagi. Ummu Habibah ra misalnya, isteri Rosululloh SAW ini bahkan pernah
menawarkan kepada suaminya, “Wahai Rosululloh, nikahilah Azzah saudara saya!”
Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu menyukai hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Saya
tidak pernah akan menjadi wanita yang menyepikan anda (melarang menikah lagi.
Dan saya suka bila saudara perempuan saya ikut serta bersama saya beroleh
kebaikan” Rosululloh SAW lalu
menjelaskan, “Hal itu tidak halal bagiku” Inilah Islam,
meski mempersilahkan berpoligami tetapi tetap member batasan – batasan yang
jelas dan sangat manusiawi. Apa yang ditawarkan oleh Ummu Habibah menunjukkan
betapa kecemburuan dalam dirinya kepada wanita lain justru berubah menjadi
kasih sayang yang salah satu wujudnya menginginkan agar wanita lain juga
mendapat kesempatan yang sama dengannya dalam beroleh kebaikan. Sementara
penolakan Rosululloh SAW menunjukkan bahwa mengumpulkan dua saudara wanita
adalah sebuah larangan.
Robi’ah binti Ismail, seorang wanita Sufi kaya raya dengan jumlah kekayaan
6 ribu Dinar ini menikah dengan Ahmad bin Abil Hawaari. Setelah menikah ia
berkata kepada suaminya, “Tak ada hak
bagiku melarang anda dari diriku serta wanita selainku. Karena itu silahkan
anda menikah lagi!” Ahmad kemudian menikah lagi dengan tiga wanita. Sebagaimana
diceritakan oleh Ahmad, Robi’ah senantiasa menyuguhkan menu daging kepadanya
seraya berpesan, “Silahkan membawa kekuatan anda kepada kepada isteri – isteri
anda” dan setiap kali Ahmad menginginkan Robi’ah pada siang hari maka Robi’ah
memohon, “Tolong jangan membatalkan puasa saya!” dan ketika keinginan itu
datang pada malam hari maka Robi’ah meminta kepada suaminya, “Saya mohon malam
ini engkau berikan kepadaku bersama Alloh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar