Allah
ta’aalaa berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan , tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada
Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat…“QS al An’aam:159.
Setelah berpesan melalui RasulNya agar umat ini meniti shirathal
mustaqim dan bukan mengikuti berbagai jalan selainnya sebagaimana dalam
firmanNya, “dan bahwa adalah jalanKu
yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan
kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. “QS al An’aam:153, maka dalam ayat ini
Allah memberikan peringatan kepada umat ini tentang apa yang kelak akan mereka
alami sebagai satu garis kehidupan berupa tindakan menyia-nyiakan agama,
setelah sebelumnya berada di jalan yang benar, yang muncul dalam fenomena
perpecahan sekian banyak madzhab, aliran-aliran dan bid’ah-bid’ah di mana hal
ini menjadikan mereka terkotak-kotak dalam fanatisme berbagai macam kelompok
dan golongan. Akibatnya kebenaran pun lenyap, ikatan persatuan terputus dan
persaudaraan seiman berubah menjadi umat yang saling berlawanan dan bermusuhan
sebagaimana pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Realitas tersebut dilatar
belakangi oleh beberapa hal seperti berikut:
- Perebutan Kekuasaan. Ini telah terjadi semenjak akhir pemerintahan Khilafah Ar Rasyidah dan berlanjut hingga masa sekarang.
- Fanatik Ras dan Semboyan Kebangsaan
- Fanatisme Madzhab dan Aliran dalam dasar-dasar dan cabang-cabang agama sehingga satu sama lain saling mencela.
- Berkata tentang agama berdasarkan pendapat
- Penyusupan dan rekayasa musuh-musuh agama
Sebagian ahli tafsir generasi terdahulu (Salaf) berpendapat bahwa ayat ini
turun terkait ahli kitab yang telah memecah belah agama Nabi Ibrahim, Nabi Musa
dan Nabi Isa alaihissalaam serta merubahnya menjadi agama-agama yang
berbeda pula dan masing-masing memiliki madzhab-madzhab dan aliran-aliran yang
fanatik di mana antara mereka saling memusuhi dan memerangi (bunuh membunuh).
Dua tafsiran ini bisa saja dipadukan karena ayat tersebut mencakup ahli
kitab dan kelompok-kelompok dalam kaum muslimin. Jadi ayat tersebut memiliki
misi memberikan peringatan (Tahdziir) akan bahaya perpecahan/perbedaan (Tafriiq)
yang tidak diperbolehkan (tercela) sebagaimana disebut dalam firman Allah:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat,“QS Ali Imra:105.
Jadi Tafriiq yang
diperingatkan oleh Allah adalah memisahkan dasar-dasar Islam yang telah menjadi
satu kesatuan sebagaimana dilakukan sebagian orang Arab yang menolak
mengeluarkan zakat pasca Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat
sehingga Abu Bakar ra berkata: “Sungguh aku pasti akan memerangi orang yang
memisahkan antara shalat dan zakat”. Sementara Tafriiq dalam pendapat,
sebab akibat (Ta’liilaat), penjelasan-penjelasan (Tabyiinaat) dan
cabang-cabang fiqih maka tidak menjadi masalah.
Akhirnya semua Tafriiq yang tidak menyebabkan sikap saling mengkafirkan
(Takfiir), saling memerangi (Taqaatul), berpecah belah dan fitnah
maka itu hanyalah sebatasTafriiq dalam pemikiran, pencarian dalil dan
usaha maksimal menemukan kebenaran. Sebaliknya Tafriiq yang
mengantarkan kepada tindakan Takfiir dan saling menyerang dalam masalah
agama maka inilah yang diperingatkan oleh Allah kepada kita untuk dijauhi. Abu
Asyur dalam at Tahrirr wa At Tanwiir 8/196 mengatakan: [Adapun perebutan
kekuasaan dan harta dunia di kalangan kaum muslimin maka bukan termasuk Tafriiq
(perpecahan) dalam agama. Hanya saja ini
termasuk kondisi yang menjadikan jamaah
(persatuan umat) terancam]
Karena itulah suatu keharusan bagi seluruh kelompok untuk berdiri dalam
satu barisan demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Tetapi, perselisihan senantiasa
terjadi di kalangan mereka. Dari Sa’ad (bin Abi Waqqash) ra bahwa Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Aku memohon kepada Tuhanku agar tidak
menghancurkan umatku dengan paceklik. Diapun Mengabulkannya. Dan aku lalu
memohon kepadaNya agar tidak Menghancurkan umatku dengan banjir. Dia pun
Mengabulkannya. Lalu aku memohon kepadaNya agar tidak Menjadikan perselisihan
di antara mereka. (permohonanku) ini ditolak”HR Ibnu Abi Syaibah. (Khashaish
al Ummah al Muhammadiyyah hal 42.)
Lalu kapankah kita berbeda agar bisa bersatu? Sebuah pertanyaan yang
membutuhkan jawaban yang harus dibarengi dengan usaha serius dan berat yang
dituntun oleh sikap Istiqamah, jiwa dermawan, hati yang bersih dan rahmat
kepada umat dengan berbagai macam sarana di mana sarana memiliki hukum sama
seperti tujuan.
= والله يتولى الجميع برعايته =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar