Translate

Jumat, 21 Februari 2014

Memelihara Etika dan Integritas Keislaman

 




Jaminan lestarinya kehormatan dan harga diri umat islam ditekankan oleh syara’. Syara’ dengan tegas menjelaskan misi yang diembannya, seperti dirumuskan oleh ulama’ Ushul Fiqh, yaitu melestarikan enam perkara elementer (al ushul as sittah) yang meliputi agama, jiwa, akal, nasab, harta benda, dan kehormatan.
    
Jaminan lestarinya kehormatan, salah satu enam perkara elementer itu, rasanya terkait erat dengan akhlak (etika). Akhlak menjadi ukuran penilaian yang banyak disoroti karena kasat mata. Sementara akhlak tidak dapat dilepaskan dari perilaku hati yang amat samar Kalau hati bagus akan tampak akhlak lahiriah yang bagus pula. Sebaliknya, akhlak kalau jelek, indikasi hati keruh dan kotor. Islam menekankan perbaikan akhlak dengan memelihara dan menjaga hati melalui tasawuf. Konon,derajat keimanan kerap dicapai salah satunya melalui salamatul qolbi (hati yang bersih, selamat) dari penyakit hati. Maka, akhlak Islam hendaknya menjadi perilaku sehari-hari, baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, politik, maupun lainnya sehingga integritas (kekuatan hati, kejujuran) seorang muslim terpelihara dengan sebenar-benarnya.

Akhlak Islam, agar salamatul qolbi, memandang manusia tak lepas dari kelebihan dan kekurangan.Kelebihan sebagai anugerah Alloh swt hendaknya tidak menjadikan bangga diri, melihat diri, dan arogan. Sementara kekurangan seperti aib, sirri, dosa, dan sebagainya hendaknya ditutupi. Kekurangan orang lain hendaknya tidak dijadikan bahan ekspos, kecuali sesuai haknya. Kalau sesuai haknya pun, tetap dengan mengindahkan aturan-aturan syara’ yang berlaku. Alloh swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji tersiar di kalangan orang-orang yang  beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat”. (Q.S. An Nuur: 19)

Syara` menekankan hendaknya aib seseorang tidak diobral di depan orang banyak agar derajatnya jatuh dan hina dalam pandangan mereka, semata-mata atas dasar dengki (hiqid), kebencian, sentimen, dan tendensi lainnya. Kepada mereka hendaknya justru berprasangka baik. Mencela, mencacat, menelanjangi, mengobral aib, dan membuka aurat atau yang disebut dengan ta`yir terhadap harga diri dan kehormatan orang Islam yang bukan kategori fasik besar merupakan pelanggaran berat, lebih berat daripada pelanggaran itu sendiri. Karena itu menahan diri dari mecelahkan kekurangan orang Islam termasuk pemikiran bernilai tinggi yang dipuji. Di dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa menutup aib orang Islam maka Alloh akan menutup aibnya pada hari kiamat.”(Muttafaq alaih. Riyadlus Sholihin hal. 84, An Nawawi)

Pelanggaran jauh lebih besar lagi manakala penelanjangan dilakukan habis-habisan, sementara akar yang ditelanjanginya masih samar, belum jelas, karena tanpa ada bukti dan saksi, atau ada bukti dan saksi namun belum memadai. Rosululloh saw dalam hadits menyebutkan: “Cegahlah hudud karena syubhat-syubhat (ketidakjelasan). (H.R. Baihaqi. Kasyful Khofa wa Muzilul Ilbas I/71, Al Ijlauni)

Secara khusus, para pemimpin dalam hal ini boleh diberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya kesalahannya tidak diobral, dihilangkan sanksinya, atau paling tidak diringankan sanksinya, mengingat peran dan jasa mereka yang besar. Lebih-lebih pemimpin yang kategori baik-baik, pertama kali berbuat salah, dan atau kesalahannya ringan. Di dalam hadits disebutkan: “Ampuni keterplesetan orang - orang yang memiliki jabatan, kecuali hudud.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`I, dan Baihaqi. Subulus Salam IV/30, As Shan`ani)

Sistem demokrasi politik yang lagi trend saat ini tampaknya memberikan rakyat kebebasan seluas-luasnya, termasuk di dalam menelanjanngi borok pemimpinnya, kalau dirasa tidak cocok, dsb, atas dasar sentimen, kebencian, dan tendensi lainnya. Ini tentunya berbeda dengan sistem Islam. Para pemimpin,privasi (rahasia diri) mereka dipelihara. Ahlul Halli wal Aqdi yang terdiri dari beberapa tokoh yang akseptabel (diterima, diakui) diberi tugas untuk ini. Menasehati, berbicara dari hati ke hati, dan sebagainya, yang penting tetap dengan memperhatikan kedudukan dan menimbang peran mereka.

Akhlak islam yang agung ini kalau diabaikan, tidak diindahkan, oleh individu umat Islam atau lembaga mereka,seperti partai dan organisasi, rasanya tak banyak berarti artibut dan simbol Islam yang disandangnya. Justru akhlak jelek yang ditampilkan secara mencolok itu bisa direspon orang dengan kesan yang negatif.
                
Lebih dari itu, ini merupakan perbuatan dzalim,tak ubahnya kedzaliman menghunus pedang di depan kaum muslimin, padahal membuka pedang dari sarungnya saja sudah dilarang. Dalam hal ini sampai diatur tata cara membawa senjata di depan sesama saudara ini. (Sunan Abu Dawud hadits nomor 2588 III/31) Kalau suatu perilaku cenderung dzalim,dibaliknya niscaya ada efek negatif, misalnya adzab ajilah (sanksi segera di dunia) seperti sanksi kedzaliman anak kepada orangtuanya, yaitu pelaku dzalim akan melakukan perbuatan yang sama atau diperlakukan sama sebelum dia mati.
“Barangsiapa mencela saudaranya dengan suatu dosa maka dia tidak akan mati sampai dia sendiri melakukannya”. (HR Tirmidzi. Faidlul Qadir VI/83 dan Asnal Matholib hal. 300, Muhammad Darwisy Al Hut)
                
Apa yang kita sebutkan di muka bukanlah atas dasar pro kontra kelompok yang tengah berseteru pada saat ini. Melainkan antisipasi sikap yang mudah-mudahan berdasarkan hikmah (ilmu yang valid). Karena kalau terjebak pro kontra efeknya cara pandang menjadi membabi buta.Baik,karena atas dasar benci,boleh jadi dikatakan salah, dan salah, karena atas dasar suka,dikatakan baik. Akibat tidak netral. Di dalam syair disebutkan:
“Pandangan suka itu hampir saja tidak melihat segala cela, sebagaimana pandangan benci menampakkan keburukan-keburukan”. (Al Muqtathof hal. 114, Ali As Shobuni)

Wallohu Subhanahuu Wata’ala A’lam

Tidak ada komentar: