Translate

Rabu, 12 Juni 2013

MENGHINDARI SIKAP DZALIM DALAM MEMILIH PRESIDEN

Seorang muslim,seperti telah dimaklumi,harus mengikatkan diri dengan hukum Allah swt dalam setiap pola sikap dan pola jiwanya,termasuk dalam hal memilih pemimpin. Dalam kontek ini adalah,memilih presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sesuai kaidah. Ajaran agama islam menetapkan,untuk memilih pemimpin tertinggi, Khalifah atau katakan presiden, bisa di lakukan dengan dua metode : Pertama, Adamul Istikhlaf, yaitu khalifah tidak menentukan siapa pengganti setelahnya. Pengangkatan khalifah (yang baru )diserahkan kepada kaum muslimin. Dalam hal ini di serahkan kepada wali kaum muslimin,yaitu Ahlul Halli Wal Aqdi. Metode ini pernah di peraktekan oleh Rasulullah saw dan juga oleh khlifha Umar bin Khattab ra. Kedua, metode Istikhlaf, yaitu mengangkat khalifah dengan menentukan pengganti khalifah sebelum khalifah terdahulu meninggal. Metode Istikhlaf ini seperti ditempuh oleh khalifah Abu Bakar ash – Siddik, yaitu ketika menjelang wafat beliau menentapkan Umar bin Khattab ra. Sebagai khalifah. Berikutnya khalifah itu mendapatkan pengukuhan dari Ahlul Halli Wal Aqdi. (Syari’atulloh Al Kholidah,Sayyiid Muhammad bin Alawy al Maliki,hal 114) Pengangkatan atau pemilihan khalifah dengan metode Istikhlaf atau adamul Istkhlaf dalam sejarah kenabian dan sejarah khulafaur rasyidin ternyata harus selalu mendapatkan penetapan atau pengukuhan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Ahlul Halli wal Aqdi yang dalam istilah lain disebut Ahlus Syuro, Ahlur Ra’yi wat Tadbir, adalah kumpulan beberapa orang yang memiliki kapasitas tertentu dalam hal agama, moral dan ilmu, termasuk ilmu politik. Mereka adalah orang-orang cerdik pandai, memiliki dedikasi yang tinggi, berwawasan luas, jernih dalam berpikir, bertanggung jawab dan objektif. Metode pengangkatan khalifah melalui Ahlul Halli wal Aqdi ini selanjutnya lazim digunakan dalam sistem pemerintahan islam. Saat ini setelah pemilu legislatif selesai, bangsa indonesia akan mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, kali ini, bangsa indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Meskipun berbeda dengan mekanisme pemilihan pemimpin pada masa pemerintahan khulafa-ar rasyidah yang memilih dan mengukuhkan Presiden melalui Ahlul Halli wal Aqdi, di negeri indonesia, pemilihan presiden dilakukan oleh setiap individu bangsa ini. Setiap orang dengan syarat-syarat tertentu berhak memilih. Dan hal itu tetap sah selama kaum muslimin bersepakat dan tidak bertentangan dengan syarat berdasarkan hadits: Meskipun demikian mekanisme ini tentu rawan dengan sikap-sikap subyektif dan ketidakjernihan. Misalnya,memilih calon presiden semata-mata didasarkan karena wajahnya ganteng, atau memilih calon presiden yang perempuan yang semata-mata atas dasar kesetaraan jenis kelamin (gender). Kerawanan ini terbuka lebar di samping karena dominanya politik uang juga karena mayoritas individu bangsa indonesia awam. Mereka menjatuhkan pilihan atas dasar subyektifitas, bukan pada sesuatu yang obyektif, seperti mencermati visi dan misi, platfrom (program), maupun integritas (kepribadian) calon presiden yang bersih dan berwibawa. Berangkat dari sini, marilah kita kaji firman Allah swt: $pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#ÿrä‹Ï‚­Fs? öNä.uä!$t/#uä öNä3tRºuq÷zÎ)ur uä!$uŠÏ9÷rr& ÈbÎ) (#q™6ystGó™$# tøÿà6ø9$# ’n?tã Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur Oßg©9uqtGtƒ öNä3ZÏiB y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqßJÎ=»©à9$# ÇËÌÈ “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu jadikan saudara-saudaramu sebagai kekasih-kekasihmu atau pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.(Q.S. at-Taubah:23) Ayat ini turun masih berkaitan deklarasi pemulaan surat at-Taubah (baro’ah) yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib ra atas perintah Rasulullah saw pada musim haji tahun 9 hijriah. Sepulang dari perang Tabuk Rasulallah saw. hendak menunaikan haji, namun pada saat yang sama, orang-orang musyrik datang di Baitullah melaksanakan thawaf sambil telanjang. Beliau tidak berkenan melaksanakan haji dalam keadaan seperti itu. Beliau lalu mengutus sahabat Abu Bakar Ash-shiddiq sebagai amir haji. Menyusul kemudian, beliau mengutus juga sahabat Ali bin Abi Thalib ra. untuk mendeklarasikan turunnya permulaan surat at-Taubah. Usai membaca permulaan surat at-Taubah, tiga puluh atau empat puluh ayat, sahabat Ali bin Abi Thalib ra. menyampaikan maklumat (juga atas perintah Rasulullahg saw.) yang berisi empat hal, yaitu: 1. Mulai tahun depan orang musyrik dilarang mendekati Baitullah. 2. Orang yang telanjang dilarang thawaf di Baitullah. 3. Tidak akan masuk surga kecuali setiap jiwa yang beriman, dan 4. Barang siapa (orang-orang kafir) yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah saw.(kafir mu’ahad), maka perjanjian itu berakhir hingga batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian itu. Adapun siapa (orang kafir) yang tidak memiliki perjanjian, maka kepadanya diberikan tempo hingga empat bulan (untuk memilih masuk islam, atau memilih menjadi kafir dzimmi, atau memilih diperangi, kalau tidak mau masuk islam atau tidak mau menjadi kafir dzimmi). Dan masing-masing pihak hendaklah menyempurnakan janjinya.demikian empat poin maklumat yang disampaikan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Pernyataan pemutusan hubungan dengan orang-orang kafir ini tanpak amat tegas. Kaum muslimin hendaknya berlepas diri dari orang-orang kafir itu. Nah,pernyataan ini tidak mendapatkan respon yang positif dari sebagian kaum muslimin, khususnya kaum muslimin yang tergolong lemah iman.Orang- orang yang imannya lemah ini di hati mereka masih tertanam kuat fanastisme ras dan kekerabatan. Mereka enggan berperang dan melepas hubungan dengan orang-orang kafir yang notabene musuh mereka, khususnya orang-orang kafir yang ada hubungan kekerabatan dengan mereka. Ayat tersebut di atas meski turun dengan latar belakang kasus tertentu,namun makna dan pengertiannya akan terus berjalan hingga hari kiamat kelak. Ayat tersebut memberikan pengertian tidak bolehnya kita menjadikan pemimpin orang-orang kafir,walau pun orang-orang kafir itu ayah atau saudara kita, karena meski mereka ayah atau saudara kita, tetapi mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan( istahabbul kufra alal iman). Fokus ‘Istahabbul kufro alal iman (mengutamakan kekafiran atas keimanan) ini bersifat umum dan perlu kita berikan perhatian. Pada saat ini banyak tokoh di negeri ini yang berebut diangkat menjadi pemimpin. Partai- partai yang mengusung mereka pun beragam. Mereka hampir semua terdiri dari orang-orang islam, namun di antara mereka tingkat ke islamannya sulit di katakan kaaffah (totalitas). Pola jiwanya yang bisa jadi muslim namun pola pikirannya jauh dari islam. Mereka mengaku muslim namun masih mengadopsi sistem-sistem (isme/paham) selain islam. Bahkan, sebagian besar memandang sistem selain Islam-lah yang harus di junjung tinggi, karena mengarah kepada kemajuan. Islam di anggap sebagai penyebab kemerosotan,kemunduran, dan keterbelakangan. Mereka, karena itu, mencampur islam dengan sistem-sistem atau paradigma lain. Mereka tidak merasa yakin cukup dengan sistem islam secara terpadu. Mereka muslim, tapi kapitalis. Mereka muslim, tapi liberal. Mereka muslim, tapi sosialis. Mereka muslim, tapi sekuler. Mereka muslim, tapi mengutamakan demokrasi liberal. Merekalah yang dalam winarah Rasulullah S.A.W. disebut penyeru-penyeru ke neraka jahannam.(Aqidatul Muslim.Kholid Abdurrohman,hal 78) orang-orang seperti ini tidakkah masuk dalam pengertian ayat mengutamakan kekafiran atas keimanan?? Jika demikian, maka mereka seharusnya tidak dipilih sebagai pemimpin, betapapun mereka pun orang islam. Kita memiliki hak dan kewajiban untuk tidak mencintai mereka, menjalin hubungan dengan mereka, sebaliknya kita harus berlepas diri dari mereka. Ayat di atas menyeru kita berlepas diri dari ayah atau saudara kita yang masih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Sementara di antara tokoh-tokoh yang mencalonkan menjadi pemimpin di negeri ini bukan ayah atau saudara kita sekandung,bukan pula orang yang dekat dengan kita,bukan juga orang yang kita kenal,tantunya seruan berlepas diri dari mereka lebih kuat. Kalau tokoh-tokoh islam yang masih berpandangan mengutamakan kekafiran atas keimanan itu tetap saja kita pilih, jangan-jangan kita termasuk orang-orang yang dzalim, sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Kita mendzalimi diri kita sendiri sekaligus mendzolimi kaum muslimin seluruhnya. Kita tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kita mencintai orang yang semestinya kita benci. Kita memilih orang yang semestinya tidak boleh di pilih. Sementara kita tahu apa sanksi bagi orang yang berlaku dzalim. Perbuatan dzalim merupakan perbuatan yang sanksinya disegerakan oleh Allah swt. Di dunia, disamping perbuatan durhaka kepada orang tua. Sanksi buruk suatu kedzaliman skalanya tidak akan menimpa diri kita sendiri, namun menjangkau pula seluruh kaum mislimin. Firman Allah swt : #qà)¨?$#ur ZpuZ÷FÏù žw ¨ûtù‹ÅÁè? tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNä3YÏB Zp¢¹!%s{ ( (#þqßJn=÷æ$#ur žcr& ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÎÈ Dan peliharalah dirimu dari sanksi yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaNya. (Q.S.al-Anfaal:25) Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah saw.bersabda: Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku, dan Aku juga menjadikan kedzaliman itu haram dilakukan diantara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat dzalim.(H.R.Muslim) Dari sini, kita harus teliti sebelum membeli, teliti dan berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan siapa pemimpin kita ke depan. Kita seharusnya tidak memilih laksana memilih kucing dalam karung. Yakni memilih tanpa mengetahui visi misi dan platfrom pemimpin itu. Jangan-jangan visi dan misinya mengutamakan kekafiran atas keimanan. Sekali lagi, dalam memilih pemimpin hendaknya kita cermat, teliti, dan berhati-hati. Jangan sampai salah pilih, yang menjadikan kita dicatat sebagai orang yang dzalim atas diri kita sendiri sekaligus atas kaum muslimin. Jangan terpengaruh penampilan lahiriah. Jangan ikut-ikutan (norok buntek). Jangan dikungkung oleh penjara fanatisme apakah fanatisme ras, suku,jenis kelamin,atau golongan. Jangan tergiur keuntungan (uang) sesaat. Kita di tuntut terikat dengan hukum Allah swt dalam setiap pola pikir dan pola jiwa kita. Akibat kecerobohan kita dalam memilih, tidak mustahil, sebagai ganjarannya, kita kemudian diberikan pemimpin yang justru menyengsarakan kita. Pemimpin yang di kelilingi oleh pengawal-pengawal (bithonah) yang buruk. Pemimpin yang mementingkan dirinya sendiri, peminpin yang mengabaikan islam mengutamakan kekafiran, walaupun dia mengaku muslim. Wallahu Subhanahu wata`ala a`lam.

Tidak ada komentar: