Perubahan Masa
Masalah perubahan hukum bersama masa (menyesuaikan masa) memang tidak bisa diingkari, sebab jika kita hanya terpaku kepada zhahir Nash maka agama ini akan membeku. Sebaliknya jika kita merubah sampai pada al Ushul maka kita akan menjadi seperti Yahudi dan Nashrani. Ini berarti yang benar adalah tengah tengah antara ini dan itu. al Ushul tidak boleh dirubah oleh siapapun. Artinya hanya segala sesuatu yang tergali (al Mustanbathath) dari al Ushul itulah yang terkadang berubah menyesuaikan masa selama tidak bertabrakan dengan Nash Syari.
Abu Nuaim dalam al Hilyah meriwayatkan dari Arzab al Kindi sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
سَيَكُوْنُ بَعْدِيْ أَشْيَاءُ فَأَحَبُّهَا إِلَيَّ أَنْ تُلْزِمُوْا مَا أَحْدَثَ عُمَرُ
“Akan ada setelahku banyaknya sesuatu, maka yang *paling aku sukai* dari sesuatu itu adalah kalian menetapkan diri kalian pada *apa yang diperbaruhi oleh Umar*”
Dalil keabsahan adanya perubahan ini banyak sekali yang sebagian di antaranya telah disebutkan di berbagai kitab:
Pengumpulan Alquran (padahal tidak mungkin ada wahyu baru turun atau nasakh yang terdahulu pasca Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat)
Mengumpulkan orang untuk shalat Tarawih (padahal tidak mungkin akan turun perintah kewajibannya pasca Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat)
Fatwa Umar ra terkait Thalaq. Ibnu Abbas ra meriwayatkan: [Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abu Bakar, dan dua tahun pertama pemerintahan Umar, Thalaq tiga hanya jatuh satu. Umar kemudian mengatakan, Sesungguhnya orang orang terburu buru dalam urusan yang sebenarnya mereka harus pelan pelan. Andai kita mengesahkan atas mereka Umar kemudian mengesahkan atas mereka. Ia lalu menghitung tiga Thalaq tiga tersebut karena niat (maksud) orang sudah berbeda. Dulu mereka mengucapkan Thalaq tiga hanya sebagai bentuk penguat (Ta’kid) pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (HR Muslim)
Fatwa Umar ra terkait hasul bumi daerah taklukan: Beliau berkata:
لَوْلاَ آخِرُ الْمُسْلِمِيْنَ مَا فَتَحْتُ قَرْيَةً إِلاَّ قَسَّمْـتُهَا سُهْمَانًا كَمَا قَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم خَيْبَرَ سُهْمَانًا , وَلَكِنِّي أَرَدْتُ أَنْ يَكُوْنَ جِرْيَةً تَجْرِيْ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ وَكَرِهْتُ أَنْ يُتْرَكَ آخِرُ الْمُسْلِمِيْنَ لاَ شَيْءَ لَهُمْ
“Andai bukan karena kaum muslimin masa akan datang niscaya tidak kutaklukkan suatu daerah kecuali aku akan membaginya sesuai bagian – bagiannya seperti Rasullah shallallahu alaihi wasallam telah membagi Khaibar. Akan tetapi aku bermaksud agar daerah itu terus mengalir (hasilnya. pent) untuk kaum muslimin dan aku tidak suka kaum muslimin akan datang dibiarkan tidak memiliki sesuatu apapun (HR Bukhari)
Sanksi bagi para pemabuk (Sakran). Dari Anas ra sesungguhnya didatangkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam seorang lelaki yang telah meminum Khamar. Beliau kemudian (memerintahkan agar itu dipukul) memukul orang itu dengan dua pelepah kurma *sebanyak kira kira 40 kali.* Ini diikuti dan juga dilakukan oleh Abu Bakar ra.
Sampai pada masa khilafah Umar ra, Beliau meminta pendapat kepada orang orang. Abdurrahman bin Auf ra lalu memberikan pendapat: *Had paling ringan adalah 80.* Umar ra lalu menetapkan usulan ini.
Sebab atau illat dari hal itu adalah seperti dalam riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra yang berkata: Lalu kami khawatir musuh datang kepadanya dalam kerumunan manusia dan lalu membunuhnya. Maka kami jadikan pukulan dengan cemeti itu secara terang terangan.
Lalu bid'ah yang bagai mana yang hendah engkau ingkari...???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar