Islam mengajarkan bahwa lelaki adalah Qowwam bagi wanita seperti disebutkan
dalam firman Alloh:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...
“Para lelaki adalah Qowwam bagi para
wanita sebab keutamaan yang diberikan oleh Alloh kepada sebagian (lelaki) atas
sebagian yang lain dan sebab yang mereka belanjakan dari harta mereka...”QS an
Nisa’: 34.
Ayat ini banyak disalah artikan sebagai sebuah nash yang menyatakan bahwa
lelaki adalah penguasa atas wanita. Keadilan akan lebih terasa jika kata Qowwam
diartikan sebagai orang yang banyak tanggung jawab. Dengan begitu makna ayat
ini adalah bahwa lelaki (suami) memiliki banyak tanggung jawab kepada wanita
(isteri). Dan memang pada kenyataannya demikian, lelaki kendati berhak mendapat
pengabdian dari isteri tetapi di sisi lain banyak beban juga menumpuk di pundak
lelaki. Beban tanggung jawab atau secara halus tugas yang dimaksud adalah
seperti berikut:
1) Memberi Nafkah
Saat akad nikah telah terlaksana dan ketika suami telah mereguk madu isteri
maka saat itulah suami bertanggung jawab memberi nafkah yang meliputi memberi
makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kendati hal ini wajib bagi suami, akan
tetapi kemurahan Alloh memutuskan bahwa hal ini merupakan sedekah yang paling
utama bagi suami. “Dinar yang kamu belanjakan di jalan Alloh, Dinar yang kamu
belanjakan untuk memerdekakan budak, Dinar yang kamu sedekahkan kepada orang
miskin, Dinar yang kamu berikan kepada
keluargamu. Yang paling banyak pahalanya adalah Dinar yang kamu berikan kepada
keluargamu!”HR Muslim. Mencari nafkah untuk keluarga bagi sebagian orang bisa
jadi sangat mudah, tetapi bagi kebanyakan orang hal ini merupakan suatu tugas
yang berat dan penuh tantangan meski di sana juga terselip rasa senang. Karena
itulah perlu kehati – hatian agar bisa selamat sampai tujuan yaitu mendapat
rizki yang halal. Jabir bin Abdillah ra juga meriwayatkan sabda Nabi SAW yang
artinya: “Wahai manusia! takutlah kalian kepada Alloh dan berbuat baiklah dalam
mencari. Sungguh seorang tak akan mati sebelum memperoleh semua rizkinya meski rizki
itu lambat datang kepadanya. Takutlah kepada Alloh dan berbuatlah indah dalam
mencari, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram”[1] Beratnya
mencari nafkah Halal untuk isteri dan keluarga ternyata terbukti dengan
besarnya penghargaan yang diberikan oleh Islam. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ مِنَ
الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًا لاَ يُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَلاَ الصَّوْمُ وَلاَ
الْحَجُّ وَيُكَفِّرُهَا الْهَمُّ فِى طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ
“Sesungguhnya sebagian dosa- dosa
ada dosa – dosa yang tidak bisa dilebur oleh sholat, tidak puasa dan tidak
haji. Dosa – dosa itu (ternyata hanya bisa) dilebur oleh susah dalam mencari
nafkah”[2]
Kesusahan
dan kesulitan mencari nafkah Halal terkadang bisa membutakan mata banyak orang
sehingga diperlukan keteguhan dan kekuatan hati untuk berusaha maksimal
menghindari jalan haram. Keteguhan itu bisa jadi datang dari suntikan semangat
seorang isteri. Para wanita sholehah zaman
dahulu senantiasa berpesan kepada suaminya yang hendak pergi mencari nafkah,
“Waspadalah dan berhati – hatilah dari jalan haram. Sungguh kami rela dan bisa
menahan rasa lapar tetapi kami tak kuasa menahan panasnya api neraka”.
Sebaliknya terkadang justru isteri sendiri yang mendorong dan menjadikan suami
bertindak nekat dan buta mata menghalalkan yang haram dalam menjemput rizki
dari Alloh. Apakah ada isteri semacam ini? Jawabnya jika memang tidak ada tentu
Rosululloh SAW tidak bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Fussaaq itu penduduk
neraka” dikatakan, “Duhai Rosululloh, siapa Fussaaq itu?” Beliau SAW menjawab,
“Para wanita” seorang berkata, “Bukankah para
wanita adalah para ibu, saudara dan isteri – isteri kita?” Nabi SAW menjawab,
“Memang begitu, tetapi mereka jika diberi tidak pernah berterima kasih dan jika
diuji maka tidak pernah bersabar”[3]para
isteri yang tidak berterima kasih dan selalu menuntut lebih dari suami inilah
yang seringkali memberi andil dalam ketidakberesan suami ketika mencari nafkah.
Karena itu duhai para wanita saudara
Fathimah al Batuul, berterima kasihlah. Dukung dan kuatkan hati suami untuk
bisa teguh meniti jalan Halal. Terimalah dengan lapang dada segala kekurangan.
Jangan anda banyak menuntut. Sungguh tanpa anda tuntut pun naluri suami adalah
ingin memberi yang terbaik dan terbanyak buat isteri. Sungguh hati suami merasa
sedih bila melihat isteri kurang tercukupi dan akan semakin bertambah sedih
bila isteri menuntut yang lebih.
2)
Pergaulan yang Baik.
Abdulloh bin Abbas ra, pernah mengatakan, “Sungguh aku sangat suka berhias
diri untuk isteri seperti halnya aku sangat senang hati melihat isteri berhias
untukku”. Bila tugas wanita adalah senantiasa bisa membuat suami tentram dan
senang maka sebaliknya tugas lelaki adalah mempergauli isteri dengan baik, “Dan
pergaulilah isteri – isteri kalian dengan baik”QS an Nisa’: 19, dan salah
satunya adalah dengan membersihkan dan menghias diri sebagaimana biasa
dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Artinya jika suami membutuhkan wanita yang bersih
dan pandai menghias diri maka sebaliknya isteri juga demikian, ia juga senang
bila melihat suami tampil cantik dan menarik.
Selain itu suami harus bersikap santun dan berlapang dada menghadapi
kekurangan isteri. Sebab kekurangan itu tidak lebih hanya duri yang melekat
pada ikan. Ingat Umar ra yang hanya diam dan mendengar celoteh isterinya. Prinsip Beliau, kendati isteri berkata begini
dan begitu yang menusuk perasaan tetapi ia tetap memasak dan membikin roti
serta merawat anak – anak.
لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ
مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا أُخْرَي
“Jangan seorang mu’min (suami)
membenci mu’minah (isteri). Jika ia marah terhadap salah satu prilaku isteri
maka pasti ia rela terhdap prilaku lain darinya” HR Muslim.
Memang tidaklah muda berlapang dada
menghadapi prilaku buruk isteri
Nabi SAW sendiri pernah sampai
menjatuhkan talak kepada Hafshoh binti Umar ra sebelum akhirnya Jibril datang
dan meminta agar kembali merujuk Hafshoh. Beratnya berlapang dada inilah yang kemudian
menjadikan tidak setiap suami bisa melakukannya.
3) Menjaga dan Mendidik
Dibanding dengan dua poin di atas, tugas menjaga dan mendidik isteri
mungkin yang paling repot. Ini terbukti dengan banyaknya suami yang hanya sibuk
mengurus belanja isteri dan bagaimana cara menjaga kemesraan. Sementara tugas
penting yang berupa mengontrol prilaku isteri terabaikan. Fungsi utama dari
tugas ini adalah menjauhkan isteri dari neraka serta mengajaknya bersama ke
surga. “Jagalah diri dan keluargamu dari neraka!”QS at Tahriim: 6. Ada beberapa
hal yang harus dilakukan dalam tanggung jawab menjaga dan mendidik ini yaitu;
a) mengontrol sholat dan puasa isteri, “Jika wanita sholat lima waktu, puasa
sebulan penuh (Romadhon), menjaga kemaluannya dan taat pada suaminya maka ia
pasti masuk surga Tuhannya” (HR Ibnu Hibban dari Abu Huroiroh). b) mengajarkan
kedermawan, sifat pemurah dan peduli kepada sesama, “Wahai Aisyah, belilah
dirimu dari Alloh meski hanya dengan secuil kurma Aku sama sekali tidak bisa
menanggungmu dari Alloh” dalam riwayat lain dengan teks hadits, “Wahai Aisyah,
berhijablah dari neraka meski hanya dengan secuil kurma” HR Thobaroni. c) mengajarkan isteri supaya tidak melakukan
aktifitas Tabarruj yakni membuka aurat. Artinya mewajibkan isteri supaya berjilbab.
“Dan janganlah kalian melakukan Tabarruj seperti orang – orang jahiliyyah” QS
al Ahzaab: 33. “Wahai Nabi, katakanlah
kepada para isterimu, anak – anak perempuanmu...dan para wanita beriman supaya
mereka menjuntaikan jilbab merekaa....” QS al Ahzaab: 59 “...dan jangan mereka
menampakkan perhiasaan mereka kecuali kepada suami – suami mereka”QS al Ahzaab:
31. Imam al Farro’ menyebutkan bahwa maksud Tabarruj adalah memakai pakaian
transparan hingga warna dan lekuk tubuh kelihatan. Sementara berjilbab seperti
lazim dimengerti adalah memakai pakaian yang bisa menutup seluruh tubuh kecuali
wajah dan kedua telapak tangan.
Seorang teman mengatakan: Para wanita sekarang banyak yang hanya menjadi
isteri suami pada malam hari sementara di siang hari menjadi isteri banyak
lelaki. Saya bertanya kenapa demikian? Teman saya itu menjawab, “Ia, karena
wanita biasa telanjang di malam hari dan hanya dilihat oleh suami. Sementara di
siang hari banyak para wanita biasa membuka kepala, leher, bentuk dada, paha,
betis dan kaki sehingga banyak lelaki lain selain suaminya bisa menikmati
keindahannya”. Selanjutnya disarankan bagi para suami agar memberikan waktu
yang banyak untuk isteri agar tetap di rumah dan tidak membiarkan begitu saja
isteri pergi ke sana kemari tanpa ada urusan jelas dan mendesak. Sebab semakin
banyak wanita beraktifitas di luar rumah maka semakin banyak pula waktu
mengurus rumah terbuang dan seperti diyakini oleh banyak orang sholeh bahwa
banyak beraktifitas di luar rumah justru menimbulkan efek yang tidak baik bagi
moral isteri.
Selain itu, suami hendaknya tidak dengan mudah memberikan kesempatan kepada
dokter pria untuk memeriksa kesehatan isteri kecuali dalam keadaan terpaksa.
Atau jangan pula dengan mudah menerima pembantu rumah tangga lelaki sementara
tugas – tugas yang diberikan bisa dan mungkin dikerjakan oleh pembantu wanita.
Kisah Nabi Yusuf as dan Zulaikho’ disebut dalam Alqur’an bukan berarti tanpa
tujuan. Sungguh salah satu tujuan yang mesti dimengerti dari pemaparan kisah
tersebut adalah bahwa keberadaan lelaki lain (Ajnabi) yang tidak mahrom bagi
isteri dan hilir mudiknya di rumah kita suatu saat pasti akan membawa bencana.
Cemburu untuk Isteri
Prof DR As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mengatakan[4] bahwa cemburu
(Ghoiroh) kepada isteri dan wanita yang menjadi tanggung jawabnya merupakan
suatu moral terpuji dan sangat dituntut Islam serta memang secara akal harus
muncul. Sungguh sangat sayang ketika sebagian orang yang berlabelkan
cendikiawan dan lokomotif kemajuan justru salah merespon kecemburuan ini dan
mengeluarkan kritik menyakitkan berupa tuduhan bahwa kecemburuan ini tak lain
adalah bukti kebodohan, goblok dan fanatik serta bertentangan dengan ilmu
kemajuan. Sungguh tuduhan seperti ini tidak lebih adalah bisikan – bisikan
setan yang menjelma melalui pemahaman dan lisan para cendikiawan yang cara
berfikirnya sudah terkontaminasi atau bahkan teracuni oleh peradaban rendah
Barat dan Eropa....
Kembali kepada cemburu untuk isteri, dalam hal ini selama cemburu dalam
batas yang normal maka Islam sangat mendukung dan memujinya. “Apakah kalian
heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih pencemburu daripada Sa’ad dan
Alloh lebih pencemburu daripada aku” “Tiada seorang yang lebih pencemburu
melebihi Alloh. Karena itulah Dia mengharamkan keburukan – keburukan
(Fawaahisy) HR Bukhori dan masih banyak lagi hadits Nabi SAW yang intinya
memupuk dan menumbuhkan kecemburuan para suami untuk isterinya. Ini karena
meski secara naluri dalam diri manusia telah tertanam rasa cemburu kendati
demikian kadar kecemburuan masing – masing orang berbeda. Jika Uwaimir al
Ajlaani pernah bertanya bagaimana bila suami melihat lelaki lain bersama
isteri, apakah ia membunuh lelaki itu ataukah bagaimana? maka lain halnya
dengan Sa’ad bin Ubadah. Ketika ditanya Rosululloh, “Wahai Sa’ad bagaimana jika
kamu mendapati isterimu bersama lelaki lain?” maka Sa’ad bin Ubadah dengan
mantap menjawab: “Saya pasti membunuh lelaki
itu” mendengar jawaban ini Nabi
SAW lalu bersabda seperti tersebut.
Selain Sa’ad bin Ubadah dan Uwaimir al Ajalaani, dari kalangan sahabat
banyak sekali kisah yang menggambarkan betapa mereka adalah manusia yang
bergengsi dan memiliki Muru’ah tinggi. Salah satu wujud dari Muru’ah tersebut
adalah perhatian mereka akan masalah ini. Salim bin Ubed bin Robi’ah sejak
kecil diasuh dan hidup bersama dalam keluarga Abu Hudzaifah ra. Ketika Salim
sudah besar dan mengerti seperti apa yang dimengerti oleh kebanyakan lelaki
maka Abu Hudzaifah merasa risih dan tidak suka. Kecemburuannya sebagai suami
yang isterinya banyak berinteraksi dengan lelaki lain muncul hingga isterinya
Sahlah binti Suhel akhirnya datang kepada Rosululloh SAW untuk mengadukan
masalah ini. Oleh Nabi SAW, Salim
mendapat izin dan kemurahan sehingga mulai saat itu perasaan Abu Hudzaifah
kembali tenang[5].
Meskipun rasa cemburu suami untuk isteri menunjukkan akan kredibilitas dan
kesungguhan suami menjaga dan mendidik isteri akan tetapi tidak semestinya
cemburu itu terus menerus dituruti. Sebab bisa jadi cemburu itu datang
menyerang tanpa alasan yang jelas. Cemburu seperti inilah yang menjadikan
isteri merugi. Nabi Dawud as pernah berpesan kepada Nabi Sulaiman as: “Wahai
anakku, jangan kamu banyak cemburu kepada isterimu tanpa ada alasan. Sebab
dengan begitu kamu menjadi sebab isterimu dituduh yang bukan – bukan padahal ia
bersih dari semuanya”.
Sebaliknya ketika seorang suami sama sekali tidak cemburu jika isterinya
membuka aurot, ada lelaki tidak mahrom yang dengan bebas keluar masuk rumah
mereka maka suami model begini ini mendapat predikat dari Rosululloh SAW
sebagai seorang Dayyuts atau Shoquur di mana dua kata ini dalam sebagian Kamus
Arab Indonesia diartikan Germo. Dari Amar bin Yasir ra Nabi SAW bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ أَبَدًا
الدَّيُّوْثُ وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ وَمُدْمِنُ الْخَمْرِ
“Tiga orang yang tidak akan masuk
surga; yaitu orang yang menjual kehormatan keluarganya (Dayyuts), wanita yang
menyerupai lelaki dan peminum Khomer” HR
Thobaroni.
Masih tentang tugas suami sebagai Qowwaam, ada banyak hal yang menjadi
alasan kenapa lelaki yang memiliki tugas ini dan bukan sebaliknya. Hal tersebut
adalah: 1) Pria lebih kuat dan tangguh dibanding wanita dalam mengemban beban
di medan kehidupan. Proyek – proyek besar dikendalikan oleh kaum pria.
Peperangan juga dipimpin oleh pria, 2) Akal dan agama lelaki mengungguli wanita
dengan nash hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya, “Tak
kulihat dari yang kurang akal dan agama yang mengalahkan yang memiliki akal
(kaum pria) daripada salah seorang kalian (para wanita)” HR Abu Dawud, 3)
Kesaksian dua orang wanita sejajar dengan kesaksian seorang pria. Firman Alloh,
“....maka jika dua saksi itu tidak dua orang lelaki maka seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari orang – orang yang kalian rela mereka menjadi para
saksi”QS al Baqoroh: 282, 4) Wanita tidak dituntut menghadiri jamaah sholat,
“Sholatmu di rumahmu lebih utama daripada sholatmu di masjid kaummu” HR Ahmad –
Thobaroni, 5) Wanita tidak wajib sholat Jum’at, “Jum’at wajib bagi setiap orang
Islam dalam berjamaah kecuali empat oran; hamba sahaya, wanita[6], anak kecil
atau orang sakit” HR Abu Dawud, 6) Lelaki boleh menikah dengan empat wanita
dengan syarat bisa berbuat adil[7] di antara
mereka. Sementara bagi wanita hanya diperkenankan memiliki seorang suami, 7)
Dalam warisan bagian wanita separuh bagian lelaki, “Bagi lelaki seperti bagian
dua wanita” QS an Nisa’: 11, 8) Wanita tidak boleh pergi sendirian tanpa
disertai Mahrom. Suatu hal yang mesti
difahami bahwa kelebihan – kelebihan tersebut adalah kelebihan dalam sisi jenis
lelaki atas jenis wanita, bukan keunggulan masing – masing individu pria
mengalahkan per individu wanita. Wallohu A’lam.
[1] HR Hakim dan Ibnu Majah. Lafazh
milik Ibnu Majah. Lihat Targhib Wa Tarhiib Bab at Targhiib Fiktisaabil Halal.
[2] HR Thobaroni. Dalam riwayat
Dailami juga disebutkan sabda Nabi SAW:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ دَرَجَةً لاَ
يَنَالُهَا إِلاَّ أَصْحَابُ الْهُمُوْمِ
“Sesungguhnya di surga ada derajat
yang tidak bisa didapatkan kecuali oleh para pemilik kesusahan (susah dalam
mencari ma’isyah / penghidupan)”
[5] Kisah tentang hal ini bisa
dilihat dalam Shohih Muslim Kitaabur Rodhoo’ Bab Rodhoo’atul Kabiir Hadits No 1453.
[6] Meski tidak wajib tetapi wanita
boleh ikut jamaah jum’at dan tidak usah lagi melakukan sholat Zhuhur. Ini
adalah satu bentuk gugurnya amal wajib dengan melakukan aktivitas amal sunnah.
[7][7] Adil di sini adalah adil dalam
menggilir (al Qosmu). Adapun Adil dalam cinta dan
senggama maka itu di luar batas kemampuan manusia. Sebab masing – masing isteri
tentu memiliki daya tarik yang berbeda. Nabi SAW sendiri selaku manusia terbaik
seperti disebutkan oleh Aisyah ra bersabda, “Ya Alloh, inilah gilir yang
bisa saya lakukan. Maka jangan Engkau mencelaku dalam sesuatu yang tak bisa
saya lakukan” HR Ashhaabus Sunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar