Translate

Rabu, 31 Agustus 2016

Memakai Mahkota Raja



“Niat seorang beriman lebih baik dari amalnya...”[1] mengapa niat lebih baik daripada amal? Jawabnya adalah sebab seorang mendapat pahala bukan karena amal tetapi karena niat. Ini terbukti ketika seorang beramal belum mesti ia mendapat pahala dan bahkan justru mendapat dosa yaitu apabila ia beramal bukan karena Alloh. Sebaliknya dengan niat yang baik meski tidak jadi dilaksanakan seseorang sudah mendapat pahala. Penting dan tingginya nilai Niat inilah yang mungkin menjadi salah satu pendorong bagi Imam Nawawi untuk meletakkan sabda Rosululloh SAW riwayat Umar ra tentang niat dalam urutan pertama Kitab Arbain Beliau. Inti ajaran dari hadits tersebut adalah Ikhlash yakni beramal semata karena Alloh dan bukan karena selainNya. Salah satu faedah yang didapat dari beramal karena Alloh adalah keberkahan dan kelanggengan. Sebab Alloh adalah Dzat yang langgeng maka segala sesuatu yang dinisbatkan dan disandarkan kepadaNya juga pasti langgeng dan sebaliknya juga demikian hingga lahirlah sebuah ungkapan Hikmah:

            مَاكَانَ ِللهِ اتَّصَلَ وَمَا كَانَ لِغَيْرِ اللهِ انْفَصَلَ
“Segala hal yang karena Alloh pasti sambung (terus berkesinambungan) dan hal yang tidak karena Alloh pasti terputus / terpisah”

Orang beriman senantiasa memegang prinsip ikhlash ini dalam segala aktivitas yang akan ia lakukan dan salah satunya adalah dalam pernikahan. Sangat ditekankan supaya sebelum memasuki pernikahan pria ataupun wanita terlebih dahulu menata niat. Jangan sampai tujuan selain Alloh menjadi motivasi utama untuk melangkah ke pernikahan. Sungguh jika demikian maka suatu hari penyesalan pasti akan datang. Seorang pernah berkisah bahwa setelah pulang dari studi dari luar negeri, seorang kaya raya datang ke rumah menawarkan anak gadisnya. Dalam hati orang tersebut jika aku menjadi menantu bapak ini tentu aku bisa memanfaatkan kekayaan Beliau untuk berdakwah. Akhirnya pernikahan dilaksanakan dan hanya beberapa bulan setelah pernikahan sang mertua meninggal dunia dengan meninggalkan 12 anak yang masih kecil hingga niat untuk menjadikan harta benda mertua sebagai sarana dakwah pun tidak bisa terlaksanakan dan bahkan orang tersebut akhirnya harus mengurus adik – adik isterinya.  Ada lagi cerita dari seorang teman bahwa ketika ditawari seorang gadis yang tidak seberapa cantik, seorang ustadz langsung menerima dengan pertimbangan bahwa orang tua si gadis adalah orang kaya dan nanti setelah menikah kita bisa menggunakan harta bendanya untuk berdakwah. Pernikahan pun dilaksanakan dan hanya dalam tempo beberapa tahun bangunan pesantren pak Ustadz begitu megah karena memang mertuanya kebetulan seorang kaya raya yang dermawan dan sangat perhatian dengan kemajuan agama. Waktu terus berjalan hingga entah karena apa, terjadi percekcokan antara mertua dan menantu hingga akhirnya menantu harus meninggalkan rumah mertua dan bangunan pesantren yang megah untuk selanjutnya merintis dari bawah dengan bangunan pesantren ala kadarnya.

Suatu ketika saya berkunjung ke seorang teman yang sedang bertugas dakwah di suatu desa. Sampai di sana perasaan kaget segera menyergap begitu melihat kondisinya yang jauh di bawah standar kesejahteraan.  Percakapan pun mengalir di antara kami berdua hingga sampai pada pembahasan latar belakang keberadaan teman di desa tersebut. Teman saya itu bercerita bahwa pada awal menikah ia bersama isteri tinggal di rumah mertua, tetapi karena seringkali terjadi ketidak cocokkan antara diri dan mertua maka ia memutuskan membawa isterinya kelur dari rumah mertua kendati di sana penuh dengan kemewahan hidup.  Saya berkata,, “Mertuamu orang kaya, isterimu anak orang kaya. Kenapa ini terjadi, pasti dulu ketika memutuskan menikah, motivasi utama adalah karena harta kekayaan ?” mendengar ini, teman saya itu dengan terus terang mengakui memang dulu ia mau menikah karena isterinya ini anak orang kaya.

Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa barang siapa yang niat sesuatu selain Alloh, barang siapa yang mencintai selain Alloh maka ia pasti diuji dengan sesuatu tersebut. Ternyata hal ini sudah jauh hari sudah diingatkan oleh Rosululloh SAW, “Barang siapa yang menikahi wanita karena kemuliaannya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita karena hartanya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kemiskinan. Barang siapa yang menikahi wanita karena nasabnya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kerendahan. Dan barang siapa menikahi wanita semata untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan atau menyambung kerabat maka Alloh pasti memberi berkah... “HR Thobaroni.

Niat dan motivasi karena Alloh dalam pernikahan bukan hanya diwajibkan atas calon suami dan isteri tetapi bagi para wali wanita juga harus menjadikan Alloh sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan menantu, suami untuk anak perempuan yang sejak kecil ia merawat dan mendidiknya dengan susah payah karena ia berprinsip seperti yang diajarkan oleh Rosululloh SAW bahwa anak perempuan memiliki keistimewaan menjadi benteng dari api nereka bagi orang tuanya jika anak perempuan mendapat perawatan dan pendidikan dengan baik. Fase terakhir pendidikan yang baik yang harus diberikan orang tua kepada anak perempuan adalah mencarikan lelaki yang baik dan sholeh yang mampu membimbing anak gadisnya untuk mengenal dekat Alloh SWT. Sungguh suatu hal yang percuma bila orang tua mendidik anak perempuan dengan baik lalu menikahkan anak itu dengan lelaki jelek yang jauh dari kriteria kesholehan. Ini namanya, “Anda membangun orang lain yang menghancurkan” . Seorang datang bertanya kepada Hasan bin Ali ra, “Saya mempunyai anak perempuan, menurut anda dengan siapa saya akan menikahkannya?”  Hasan ra menjawab, “Nikahkanlah anakmu dengan lelaki yang bertaqwa. Jika ia mencintai puterimu maka ia pasti memuliakannya, tetapi jika marah maka ia tidak akan menganiayanya” Aisyah ra juga berpesan kepada wali wanita, “Pernikahan itu perbudakan maka hendaknya ia melihat di mana ia menaruh anak perempuannya” Imam Sya’bi berkata, “Barang siapa menikahkan anak perempuannya dengan orang fasiq berarti ia memutuskan tali kekeluargaan anaknya”[2]

Nabi SAW sendiri pernah bersabda, “Jika datang kepada kalian lelaki yang kalian rela dengan agamanya maka nikahkanlah dia. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang melebar”[3] entah apa maksud fitnah dan kerusakan yang lebar, yang pasti jika pernikahan tidak didasarkan atas agama Alloh pasti ujian Alloh akan datang. Seorang wanita sedang melakukan suatu pekerjaan yang tidak lumrah baginya, sebab biasanya ia hanya sibuk mengurus rumah dan jarang sekali keluar rumah apalagi bekerja mencari nafkah di luar rumah. Tetapi kini sehari – hari dia menekuni pekerjaan sebagai buruh tani dengan upah tidak seberapa. Ternyata ini dia lakukan untuk membantu beban keluarga sebab suaminya yang kini sudah tidak lagi bekerja karena sakit dan banyak harta benda simpanan yang sudah habis terjual. Usut – punya usut ternyata dulu sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, wanita ini pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Hari pernikahan sudah ditentukan tetapi oleh orang tuanya digagalkan karena ada seorang lelaki lain (suaminya yang sekarang) yang lebih kaya datang melamar. Pada awal pernikahan memang terlihat sekali kesejahteraan yang dirasakan, akan tetapi setelah tahun demi tahun berlalu barulah cobaan Alloh datang dan kini wanita tersebut hanya bisa meratapi nasibnya.  Calon suaminya yang dulu dibatalkan oleh orang tuanya sekarang justru lebih kaya dan lebih bisa mensejahterakan isterinya jauh dengan kesejahteraan yang ia terima dari suaminya.

Dalam dunia umat islam yang sudah terkena penyakit Wahan[4] ini banyak sekali orang tua yang mendasarkan pilihan menantu pada pekerjaan, status sosial dan kekayaan menantu. Ada rasa gengsi tersendiri bila mendapat menantu anak orang kaya atau memiliki kedudukan. Keadaan ini menjadikan banyak para wali wanita lupa bahwa menikahkan anak wanita merupakan ladang yang sangat subur untuk mendapat pahala besar dari Alloh. Nabi SAW bersabda:

          ...مَنْ زَوَّجَ ِللهِ تَوَّجَهُ اللهُ تَاجَ الْمُلْكِ
 “...Barang siapa menikahkan karena Alloh maka Alloh pasti memakaikan mahkota raja untuknya” [5]

Jika dikembangkan makna hadits ini adalah betapa Alloh Maha Pemberi anugerah memberi pahala amal manusia jauh lebih tinggi dari pada amal tersebut. Ibaratnya setetes keringat sejuta nikmat yang didapat. Hanya dengan menikahkan karenaNya seorang mendapat kemuliaan yang begitu tinggi di sisiNya. Mungkin sekali yang dinilai olehNya adalah niat dan tujuan karenaNya, sebab hal seperti ini jarang sekali dilakukan oleh kebanyakan wali wanita saat menikahkan anak gadisnya. Ada beberapa amal yang sepertinya sedikit tetapi mendapat penghargaan tinggi dari Alloh, di antaranya, 1) Sholat tahajjud meski hanya sebagian dari malam maka Alloh menjanjikan kemulian bagi orang yang melakukannya. Di sini Alloh tidak melihat sedikitnya rokaat, tetapi melihat kepeduliaan bangun di malam hari untuk mengingatNya saat banyak orang masih tidur 2) Sholat Dhuha, kendati dua rokaat tetapi bisa menjadi sedekah 360 persendian manusia yang semuanya menuntut untuk disedekahi. Yang dilihat Alloh adalah kepedulian pelakunya yang menyempatkan diri mengingat Alloh saat banyak orang sibuk dengan aktivitas dunia. Nabi SAW bersabda:
          عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا
“Dia beramal sedikit tetapi mendapat pahala banyak” [6]

Hadits ini bermula ketika seorang lelaki dengan wajah tertutup besi (Muqonna’) datang dan berkata, “Wahai Rosululloh, saya berperang lalu masuk islam? Nabi SAW menjawab, “Masuklah islam dan kemudian berperanglah!”lelaki itu kemudian masuk islam dan berperang lalu meninggal di medan peperangan. Mengetahui ia gugur maka Nabi SAW bersabda seperti di atas.





[1] HR Abu Nuaim dalam al Hilyah 3 / 255 – al Khothib al Baghdadi dalam Tarikhul Baghdad 9 / 237.
[2] Lihat az Zawaajul Islaam al Mubakkir Hal 57 – 58
[3] HR Turmudzi – Ibnu Majah
[4] Cinta dunia dan enggan mati
[5] HR Abu Dawud No 4778
[6] HR Bukhori 

Tidak ada komentar: