Sudah menjadi keputusan Alloh bahwa Dia menanamkan benih – benih rasa cinta
di hati manusia sebagaimana tersebut dalam firmanNya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَـوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَـنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
...
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan apa - apa yang diingini, yaitu wanita – wanita,
anak – anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang –
binatang ternak dan sawah ladang...”QS Ali Imron: 14.
Dunia ini penuh dengan aneka ragam kesenangan seperti disebut ayat ini, di
mana masing – masing dari kesenangan tersebut berpeluang menarik simpati dan
mengikat hati orang yang menyukai dan mencintainya dan ketika simpati sudah
tergaet serta hati sudah terikat maka saat itulah sangat mungkin bagi manusia
sibuk dengan kesenangan tersebut dan melupakan kesenangan abadi. Karena itulah
dalam lanjutan ayat Alloh memberi peringatan, “....itu semua adalah perhiasan
kehidupan dunia dan di sisi Alloh ada tempat kembali yang lebih baik” QS Ali
Imron: 14. Di antara kesenangan – kesenangan dunia yang sangat mungkin menggoda
setiap lelaki adalah kesenangan kepada para wanita. Rasa senang dan cinta
kepada wanita inilah yang kemudian menarik hati lelaki untuk selanjutnya menyukai
kesenangan – kesenangan lain. Karena itulah cinta kepada wanita disebut dalam
urutan pertama. Mencintai wanita tidak masalah karena hal itu bagian dari
kesempurnaan seorang pria. Disebutkan bahwa Ibnu Umar ra melihat seorang wanita
cantik di antara tawanan maka Beliau tidak sabar hingga mencium wanita itu di
hadapan banyak orang. Kendati demikian penyebutan cinta kepada wanita dalam
nomor urut pertama juga bermakna kewaspadaan. Artinya ketika rasa cinta kepada
wanita telah mengikat sukma maka saat itulah seorang lelaki harus betul – betul
waspada dalam menjaga diri. Memang dalam cinta (kepada wanita) ada rasa manis
dan gurih tetapi di sana ada seribu kepahitan dan bahkan kematian. Dalam cinta
ada kolam madu, sungai susu tetapi selanjutnya adalah lautan empedu. Oleh sebab
itu ketika mendengar seorang wanita berkata, “Sesungguhnya para wanita adalah
wewangian dan kalian para lelaki seluruhnya suka mencium wewangian itu” maka
Umar ra segera berkata, “Sesungguhnya para wanita adalah setan – setan yang
diciptakan untuk kami maka kami berlindung kepada Alloh dari keburukan setan –
setan”.
Ketika seorang pria mencintai wanita maka usaha yang harus dilakukan adalah
menormalkan cinta tersebut dan jangan sampai kebablasan. Ingat pesan Rosululloh
SAW, “Cintailah kekasihmu sedang – sedang saja, sebab sangat mungkin dalam
waktu dekat ia bisa menjadi musuhmu....”HR Turmudzi. Sebab jika tidak begitu
maka dampak negatif dari cinta itu akan segera terasa. Dampak negatif yang
dimaksud adalah:
- Sibuk dengan makhluk yang dicintai sehingga jauh
dari menyebut dan menyintai Alloh. Cinta kepada wanita dan cinta kepada
Alloh tak akan pernah terkumpul dalam satu wadah hati. Jika salah satu
hadir maka yang lain pun pergi.
- Hati merasa tersiksa. Sungguh orang yang mencitai
sesuatu selain Alloh maka ia pasti
disiksa dengan sesuatu tersebut. Pepatah berkata, “Tiada di bumi ini yang
paling celaka melebihi seorang pecinta meski ada rasa manis di sana. Kamu
saksikan ia menangis setiap saat karena kerinduan atau kekhawatiran. Jika
jauh dengan yang dicinta maka ia sakit tertusuk kerinduan dan bila bersama
yang dicinta maka ia menderita khawatir berpisah. Matanya panas saat
berjumpa dan matanya panas saat berpisah” jadi cinta dan kerinduan meski
terasa manis tetapi sebenarnya adalah siksaan hati yang paling pedih.
- Seorang pecinta hatinya tertawan oleh yang dicintai
tak ubahnya seperti seekor burung di tangan anak kecil. Menjadi alat
kesenangan dan permainan sebelum akhirnya dilempar ke telaga penderitaan
- Pecinta menjadi lupa kebaikan dunia dan akhiratnya.
Jadi tiada sesuatu sebab yang hebat menghilangkan kebaikan dunia dan
akhirat melebihi cinta.
- Bencana dunia dan akhirat lebih cepat datang
menyerang para pecinta daripada api datang melalap kayu bakar. Sungguh
jika hati dekat dan sibuk dengan rindu maka hati itu jauh dari Alloh. Jadi
hati yang paling jauh dari Alloh adalah hati para pecinta. Jika hati telah
jauh dari Alloh maka bencana pasti datang dari segala arah. Setan akan
menguasainya dan membawanya kepada segala macam bencana.
- Jika cinta begitu kuat menancap dalam hati maka saat
itulah fungsi akal menurun dan menjadikan pecinta tak ubahnya seperti
orang gila atau bahkan lebih gila daripada orang gila. Kasus seperti ini
tidak terhitung jumlah dan salah satunya adalah yang menimpa pecinta Qoes
al Majnun yang sudah sangat terkenal kisahnya.
- Cinta bisa menjadi daya kerja indera rusak atau
paling tidak melemah baik secara maknawi (non fisik) atau Shuwari (fisik).
Secara maknawi bisa disaksikan indera pecinta sudah tak mampu lagi bekerja
dengan baik sehingga melihat, merasakan dan mendengar segala dari dan
tentang yang dicinta seluruhnya baik dan indah. Rosululloh SAW bersabda,
“Kecintaanmu pada sesuatu itu membuat buta dan menjadikan tuli” HR Abu
Dawud. Secara Shuwari cinta
menjadikan pecinta sakit atau lemah tubuhnya. Sorang pemuda yang kelihatan
kurus kering dibawa ke hadapan Ibnu Abbas ra yang sedang berada di Arofah.
“Kenapa dengan pemuda ini?” tanya Ibnu Abbas ra. Mendengar bahwa pemuda
itu sedang dilanda cinta berat maka sepanjang hari Beliau berdo’a memohon
perlindungan Alloh dari cinta berat kepada wanita.
Besarnya resiko dan bahaya yang mungkin menerjang para pecinta ini
mendorong Rosululloh SAW sangat mengasihi para pecinta sehingga Beliau SAW
membantu para pecinta untuk mendapatkan cintanya agar kecintaan itu tidak
semakin menyiksanya. Melihat Mughits terus berjalan menguntit Bariroh (setelah
bercerai) dengan air mata berlinangan maka Nabi SAW bersabda kepada Bariroh, “
Bagaimana jika kamu kembali kepadanya (Mughits) ” Bariroh bertanya, “Wahai
Rosululloh, apakah ini perintah?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, aku cuma memohon
(untuk Mughits)” Bariroh lalu mengakui dengan jujur, “Saya sudah tidak butuh
lagi kepadanya” mendengar ini Nabi SAW lalu bersabda kepada Abbas ra pamannya,
“Hai Abbas, apakah engkau tidak takjub
dengan cinta Mughits kepada Bariroh dan kebencian Bariroh kepada Mughits?”
Jelas sekali di sini bahwa Nabi SAW tidak ingkar terhadap cinta Mughits kepada
Bariroh sebab hal itu di luar batas kemampuan manusia untuk menolaknya.
Ali Karromallohu Wajhah juga demikian, melihat ada seorang anak muda begitu
mencintai sahaya milik Mihlab bin Robah maka Beliau datang kepada Mihlab dan
memohon supaya Mihlab memberikan sahaya wanitanya kepada pemuda itu yang
diketahui bernama Nuhas bin Uyainah. Muawiyah bin Abi Sufyan ra juga demikian,
pernah Beliau membeli seorang sahaya wanita jelita (Jariyah) dan diboyong ke rumahnya. Di suatu malam saat
banyak orang telah terlena dalam tidur, Muawiyah mendengar rintihan kerinduan
dari Jariyah tersebut. Beliau lalu bertanya
dan mendapat jawaban bahwa Jariyah itu sangat mencintai majikannya.
Akhirnya Muawiyah mengembalikan Jariyah itu kepada majikannya. Sulaiman bin
Malik memiliki sahaya pria (Ghulaam) dan wanita (Jaariyah) yang keduanya saling
jatuh cinta. Suatu hari Ghulaam menulis: “Dalam tidur aku melihat dirimu seakan
memberiku minuman dingin menyegarkan, telapak tanganmu bertemu dengan telapak
tanganku dan sepertinya kita menginap dalam satu ranjang. Akhirnya seharian aku
memaksakan diri tidur agar bisa bermimpi bertemu denganmu tetapi aku tidak bisa
lagi memejamkan mataku” tulisan ini dijawab oleh Jariyah dengan tulisan pula:
“Mimpimu sungguh baik dan kamu pasti akan mendapatkan semua yang anda impikan
meski ada orang yang iri hati. Sungguh aku sangat berharap anda memeluk dan
tidur bersamaku di atas montok payudaraku...” hal ini akhirnya sampai di
telinga Sulaiman hingga ia kemudian menikahkan sepasang anak muda itu meski
Sulaiman sendiri merasa sangat cemburu.
Jatuh cinta tidaklah berdosa karena itulah ketika ditanya tentang orang
yang jatuh cinta Umar bin Khotthob ra menjawab, “Itu adalah sesuatu yang tidak
bisa dikuasai” seorang penyair Hijaz, Jami bin Murkhiyah bertanya, “Apakah
seorang pecinta berat itu berdosa?” Said bin Musayyib menjawab, “Yang dicela
adalah apa yang bisa anda lakukan”
maksudnya yang tercela adalah dampak negatif yang ditimbulkan dari cinta
berat tersebut. Betapapun besar dan kuat dorongan cinta, akan tetapi bukan
berarti tidak bisa ditahan. Memang hal ini sangat sulit dilakukan, karena
itulah penghargaan tinggi bagi yang mampu menahan diri kala cinta sedang
menindih. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Empat hal yang bila berada dalam
diri seseorang maka Alloh mengharamkan orang tersebut atas neraka dan Dia pasti
menjaganya dari setan; orang yang menahan diri ketika menyukai, ketika merasa
takut, ketika menginginkan sesuatu, dan ketika marah” (HR Hakim at Tirmidzi
dalam Nawaadirul Ushuul) Ibnu Abbas ra
juga berkata, “ Barang siapa yang terkena cinta berat lalu menyimpan dan menahan
diri dari dosa dan ia mau bersabar maka Alloh pasti memberinya ampunan dan
memasukkannya ke dalam surga”. Sungguh jatuh cinta bisa mengenai siapa saja
termasuk orang – orang yang berilmu dan ahli ibadah, akan tetapi ilmu dan
kedekatan mereka dengan Alloh menjadikan mereka
bisa menahan dan mengontrol diri
dengan baik sehingga tidak hanyut oleh demam perasaan cinta yang menderanya. Di
antara nama ulama tersebut adalah Abdulloh bin Abdulloh bin Utbah, Umar bin
Abdul Aziz kholifah adil yang tercatat pernah jatuh cinta begitu hebat kepada
Jariyah (sahaya wanita) milik Fathimah isterinya. Disebutkan bahwa ketika belum
menjadi Kholifah, Umar begitu cinta kepada Jariyah tersebut hingga Beliau
meminta kepada Fathimah isterinya, “Berikanlah (Hibbahkanlah) Jariyah itu
kepadaku!” Berulangkali Umar meminta tetapi Fathimah tetap tidak memberikannya.
Barulah ketika Umar diangkat menjadi Kholifah maka Fathimah berkata kepada
suaminya, “Dulu memang saya tidak mau, tetapi sekarang saya rela memberikan
Jariyah itu kepada engkau” Mendengar ini Umar sangat gembira dan berkata,
“Kalau begitu cepat hias dia dan segera antarkan kepadaku” setelah berada di
dalam kamar berdua dengan Jariyah itu Umar dengan senang hati berkata, “Bukalah
pakaianmu!” setelah Jariyah mulai membuka baju, Umar menahan, “Sebentar,
ceritakanlah siapa majikanmu dulu dan bagaimana kamu bisa menjadi milik
Fathimah (isteriku)!” Jariyah itu menjelaskan, “Hajjaj memberikan denda harta
kepada salah satu bawahannya (Amil) di Kufah dan kebetulan saya adalah sahaya
Amil tersebut. Hajjaj akhirnya membawaku dan memberikan diriku kepada Abdul
Malik dan oleh Abdul Malik aku dihibahkan kepada Fathimah” Umar bertanya,
“Lantas bagaimana keadaan Amil itu sekarang?” Jariyah itu menjawab, “Ia sudah
meninggal” “Apakah ia mempunyai anak dan bagaimana keadaan anaknya?” Jariyah menjawab, “Ia, dia meninggalkan anak
dan keadaan mereka kini menyedihkan”
mendengar ini Umar segera berkata, “Kenakanlah pakaianmu lagi dan
kembalilah ke tempatmu!”
Umar lalu mengirim surat kepada gubernurnya di Iraq agar mendatangkan anak
Amil yang diceritakan oleh Jariyah. Setelah anak Amil itu datang, Umar berkata,
“Laporkan semua harta benda yang dibayarkan oleh ayahmu sebagai denda yang
dikenakan oleh Hajjaj!” anak itu segera melaporkan seluruh harta yang
dibayarkan oleh ayahnya kepada Hajjaj dan oleh Umar semuanya diganti.
Selanjutnya Umar juga menyerahkan Jariyah tersebut kepada anak itu sambil
berpesan, “Hati – hatilah dengan Jariyah ini, sebab mungkin sekali ayahmu dulu
pernah menggaulinya!” anak itu berkata,
“Jariyah ini untuk anda saja tuan!” Umar
menjawab, “Aku tidak lagi memerlukannya”
“Kalau begitu silahkan dibeli saja!” kata anak tersebut. Umar menjawab,
“Kalau aku membelinya berarti diriku ini bukan termasuk orang yang menahan diri
dari keinginan” dan ketika hendak dibawa pergi oleh si anak, Jariyah berkata
kepada Umar, “Lantas di mana cinta anda kepada saya wahai Amirul Mu’minin?”
Umar menjawab, “Cinta itu tetap seperti dulu dan bahkan mungkin sekarang
bertambah” dan memang kenyataan seperti itu. Sampai akhir hayat, Umar tetap
memendam rasa kepada Jariyah tersebut.
Di antara ulama yang juga mampu menahan rasa cintanya adalah Abu Bakar
Muhammad bin Dawud az Zhohiri yang terkenal dalam berbagai lapangan ilmu
seperti fiqih, hadits, tafsir dan sastra. Menjelang meninggal dunia, Nafthowih
datang dan bertanya, “Bagaimana keadaan anda?” “Seperti yang kamu lihat” jawab
Dawud. “Kenapa anda menahan keinginan anda (memendam rasa) padahal anda bisa
melampiaskannya?” tanya Nafthowih. Dawud menjawab, “Melihat itu ada dua; Mubah
dan Haram. Adapun melihat Mubah maka sungguh hal itulah yang menjadikan aku
sakit seperti sekarang. Adapun melihat Haram maka aku bisa menahan karena
mengingat ucapan Ibnu Abbas....”yang initinya ampunan dan surga bagi seorang
yang jatuh cinta dan mampu menahan diri).
sholat” HR
Nasai – Thobaroni.
Dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahan, “....aku bisa bersabar dari makanan
tetapi tidak bisa sabar dari mereka (para isteri)”Maksud Dicintakan, berarti
tak ada kuasa untuk ditahan dan dikuasai. Masalahnya adalah apakah dalam
pelampiasan cinta itu seseorang teguh meniti jalan yang dibenarkan atau tidak
sabar dan cenderung menghalalkan segala cara menuju pelampiasan. Dan dalam hal
ini para nabi membuktikan bahwa mereka mendapat derajat Ishmah, penjagaan dari
dosa sehingga sebesar apapun cinta tetap mereka lampiaskan melalui jalur yang
dibenarkan yakni jalur pernikahan. Masih tentang cinta Rosululloh SAW kepada
isterinya, ketika ditanya siapakah di antara mereka yang paling Beliau cintai
maka Beliau menjawab, “Aisyah” lalu bagaimana dengan Khodijah? Beliau SAW
menjawab, “Sungguh aku mendapat cinta darinya” kondisi Rosululloh SAW yang
dicintakan oleh Alloh kepada wanita terkadang dijadikan alat oleh para musuh
Alloh untuk menyerang dan memojokkan
Beliau dengan mengatakan, “Tiada keinginan Muhammad kecuali wanita”
sehingga Alloh menurunkan pembelaanNya, “Apakah mereka iri hati kepada
seseorang yang mendapat anugerah dari Alloh?” QS an Nisa’: 54. Dalam Islam
mencintai wanita dengan melewati jalur yang disahkan bahkan mendapat
penghargaan yang tinggi sebagaimana disebutkan Abdulloh bin Abbas ra:
خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ
أَكْثَرُهُمْ نِسَاءً
“Sebaik – baik umat ini adalah yang
paling banyak isterinya”
Wanita Jatuh Cinta
Dalam studi ilmu Fiqih pendapat terkuat mengatakan bahwa hukum lelaki
melihat wanita lain (Ajnabiyyah) adalah haram. Sebaliknya wanita melihat lelaki
lain (Ajnabi) cuma sampai pada batas Makruh. Ini karena lelaki lebih bisa untuk
melaksanakan dan menuruti rasa tertarik yang muncul akibat memandang. Sementara
wanita tidaklah demikian, meski dari segi dorongan keinginan lebih kuat daripada
lelaki. Sungguh sebesar apapun dorongan dan syahwat wanita kepada lelaki, hal
itu tidak akan banyak berpengaruh sebab rasa malu dalam diri wanita juga sangat
tinggi. Dari sinilah kemudian kebanyakan pertemuan dan perjodohan yang lebih
banyak memainkan peranan adalah pihak pria dan jarang sekali sebaliknya. Nabi
SAW bersabda:
فَضُلَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى
الرَّجُلِ بِتِسْعَةٍ وَتِسْعِيْنَ جُزْأً مِنَ اللَّذَّةِ وَلَكِنَّ اللهَ
أَلْقَى عَلَيْهِنَّ الْحَيَاءَ
“Kaum wanita mengalahkan pria dengan
99 bagian dari kelezatan (Syahwat), hanya saja Alloh menuangkan rasa malu atas
mereka”( HR Baihaqi dari Abu Huroiroh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar