“Niat seorang beriman lebih baik dari amalnya...”[1] mengapa niat
lebih baik daripada amal? Jawabnya adalah sebab seorang mendapat pahala bukan
karena amal tetapi karena niat. Ini terbukti ketika seorang beramal belum mesti
ia mendapat pahala dan bahkan justru mendapat dosa yaitu apabila ia beramal
bukan karena Alloh. Sebaliknya dengan niat yang baik meski tidak jadi
dilaksanakan seseorang sudah mendapat pahala. Penting dan tingginya nilai Niat
inilah yang mungkin menjadi salah satu pendorong bagi Imam Nawawi untuk
meletakkan sabda Rosululloh SAW riwayat Umar ra tentang niat dalam urutan pertama
Kitab Arbain Beliau. Inti ajaran dari hadits tersebut adalah Ikhlash yakni
beramal semata karena Alloh dan bukan karena selainNya. Salah satu faedah yang
didapat dari beramal karena Alloh adalah keberkahan dan kelanggengan. Sebab
Alloh adalah Dzat yang langgeng maka segala sesuatu yang dinisbatkan dan
disandarkan kepadaNya juga pasti langgeng dan sebaliknya juga demikian hingga
lahirlah sebuah ungkapan Hikmah:
مَاكَانَ ِللهِ اتَّصَلَ وَمَا كَانَ لِغَيْرِ اللهِ انْفَصَلَ
“Segala hal yang karena Alloh pasti
sambung (terus berkesinambungan) dan hal yang tidak karena Alloh pasti terputus
/ terpisah”
Orang beriman senantiasa memegang prinsip ikhlash ini dalam segala
aktivitas yang akan ia lakukan dan salah satunya adalah dalam pernikahan.
Sangat ditekankan supaya sebelum memasuki pernikahan pria ataupun wanita
terlebih dahulu menata niat. Jangan sampai tujuan selain Alloh menjadi motivasi
utama untuk melangkah ke pernikahan. Sungguh jika demikian maka suatu hari
penyesalan pasti akan datang. Seorang pernah berkisah bahwa setelah pulang dari
studi dari luar negeri, seorang kaya raya datang ke rumah menawarkan anak
gadisnya. Dalam hati orang tersebut jika aku menjadi menantu bapak ini tentu
aku bisa memanfaatkan kekayaan Beliau untuk berdakwah. Akhirnya pernikahan
dilaksanakan dan hanya beberapa bulan setelah pernikahan sang mertua meninggal
dunia dengan meninggalkan 12 anak yang masih kecil hingga niat untuk menjadikan
harta benda mertua sebagai sarana dakwah pun tidak bisa terlaksanakan dan
bahkan orang tersebut akhirnya harus mengurus adik – adik isterinya. Ada lagi cerita dari seorang teman bahwa
ketika ditawari seorang gadis yang tidak seberapa cantik, seorang ustadz
langsung menerima dengan pertimbangan bahwa orang tua si gadis adalah orang
kaya dan nanti setelah menikah kita bisa menggunakan harta bendanya untuk
berdakwah. Pernikahan pun dilaksanakan dan hanya dalam tempo beberapa tahun
bangunan pesantren pak Ustadz begitu megah karena memang mertuanya kebetulan
seorang kaya raya yang dermawan dan sangat perhatian dengan kemajuan agama.
Waktu terus berjalan hingga entah karena apa, terjadi percekcokan antara mertua
dan menantu hingga akhirnya menantu harus meninggalkan rumah mertua dan
bangunan pesantren yang megah untuk selanjutnya merintis dari bawah dengan
bangunan pesantren ala kadarnya.
Suatu ketika saya berkunjung ke seorang teman yang sedang bertugas dakwah
di suatu desa. Sampai di sana perasaan kaget segera menyergap begitu melihat
kondisinya yang jauh di bawah standar kesejahteraan. Percakapan pun mengalir di antara kami berdua
hingga sampai pada pembahasan latar belakang keberadaan teman di desa tersebut.
Teman saya itu bercerita bahwa pada awal menikah ia bersama isteri tinggal di
rumah mertua, tetapi karena seringkali terjadi ketidak cocokkan antara diri dan
mertua maka ia memutuskan membawa isterinya kelur dari rumah mertua kendati di
sana penuh dengan kemewahan hidup. Saya
berkata,, “Mertuamu orang kaya, isterimu anak orang kaya. Kenapa ini terjadi,
pasti dulu ketika memutuskan menikah, motivasi utama adalah karena harta
kekayaan ?” mendengar ini, teman saya itu dengan terus terang mengakui memang
dulu ia mau menikah karena isterinya ini anak orang kaya.
Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa barang siapa yang niat sesuatu
selain Alloh, barang siapa yang mencintai selain Alloh maka ia pasti diuji
dengan sesuatu tersebut. Ternyata hal ini sudah jauh hari sudah diingatkan oleh
Rosululloh SAW, “Barang siapa yang menikahi wanita karena kemuliaannya maka
Alloh tidak menambahnya kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita
karena hartanya maka Alloh tidak menambahnya kecuali kemiskinan. Barang siapa
yang menikahi wanita karena nasabnya maka Alloh tidak menambahnya kecuali
kerendahan. Dan barang siapa menikahi wanita semata untuk menundukkan pandangan,
menjaga kemaluan atau menyambung kerabat maka Alloh pasti memberi berkah... “HR
Thobaroni.
Niat dan motivasi karena Alloh dalam pernikahan bukan hanya diwajibkan atas
calon suami dan isteri tetapi bagi para wali wanita juga harus menjadikan Alloh
sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan menantu, suami untuk anak
perempuan yang sejak kecil ia merawat dan mendidiknya dengan susah payah karena
ia berprinsip seperti yang diajarkan oleh Rosululloh SAW bahwa anak perempuan
memiliki keistimewaan menjadi benteng dari api nereka bagi orang tuanya jika
anak perempuan mendapat perawatan dan pendidikan dengan baik. Fase terakhir
pendidikan yang baik yang harus diberikan orang tua kepada anak perempuan
adalah mencarikan lelaki yang baik dan sholeh yang mampu membimbing anak
gadisnya untuk mengenal dekat Alloh SWT. Sungguh suatu hal yang percuma bila
orang tua mendidik anak perempuan dengan baik lalu menikahkan anak itu dengan
lelaki jelek yang jauh dari kriteria kesholehan. Ini namanya, “Anda membangun
orang lain yang menghancurkan” . Seorang datang bertanya kepada Hasan bin Ali
ra, “Saya mempunyai anak perempuan, menurut anda dengan siapa saya akan
menikahkannya?” Hasan ra menjawab,
“Nikahkanlah anakmu dengan lelaki yang bertaqwa. Jika ia mencintai puterimu
maka ia pasti memuliakannya, tetapi jika marah maka ia tidak akan
menganiayanya” Aisyah ra juga berpesan kepada wali wanita, “Pernikahan itu
perbudakan maka hendaknya ia melihat di mana ia menaruh anak perempuannya” Imam
Sya’bi berkata, “Barang siapa menikahkan anak perempuannya dengan orang fasiq
berarti ia memutuskan tali kekeluargaan anaknya”[2]
Nabi SAW sendiri pernah bersabda, “Jika datang kepada kalian lelaki yang
kalian rela dengan agamanya maka nikahkanlah dia. Jika tidak maka akan terjadi
fitnah di bumi dan kerusakan yang melebar”[3] entah apa
maksud fitnah dan kerusakan yang lebar, yang pasti jika pernikahan tidak
didasarkan atas agama Alloh pasti ujian Alloh akan datang. Seorang wanita
sedang melakukan suatu pekerjaan yang tidak lumrah baginya, sebab biasanya ia
hanya sibuk mengurus rumah dan jarang sekali keluar rumah apalagi bekerja
mencari nafkah di luar rumah. Tetapi kini sehari – hari dia menekuni pekerjaan
sebagai buruh tani dengan upah tidak seberapa. Ternyata ini dia lakukan untuk membantu
beban keluarga sebab suaminya yang kini sudah tidak lagi bekerja karena sakit
dan banyak harta benda simpanan yang sudah habis terjual. Usut – punya usut
ternyata dulu sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, wanita ini pernah
dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Hari pernikahan sudah
ditentukan tetapi oleh orang tuanya digagalkan karena ada seorang lelaki lain
(suaminya yang sekarang) yang lebih kaya datang melamar. Pada awal pernikahan
memang terlihat sekali kesejahteraan yang dirasakan, akan tetapi setelah tahun
demi tahun berlalu barulah cobaan Alloh datang dan kini wanita tersebut hanya
bisa meratapi nasibnya. Calon suaminya
yang dulu dibatalkan oleh orang tuanya sekarang justru lebih kaya dan lebih
bisa mensejahterakan isterinya jauh dengan kesejahteraan yang ia terima dari
suaminya.
Dalam dunia umat islam yang sudah terkena penyakit Wahan[4] ini banyak
sekali orang tua yang mendasarkan pilihan menantu pada pekerjaan, status sosial
dan kekayaan menantu. Ada rasa gengsi tersendiri bila mendapat menantu anak
orang kaya atau memiliki kedudukan. Keadaan ini menjadikan banyak para wali
wanita lupa bahwa menikahkan anak wanita merupakan ladang yang sangat subur
untuk mendapat pahala besar dari Alloh. Nabi SAW bersabda:
...مَنْ زَوَّجَ ِللهِ تَوَّجَهُ اللهُ تَاجَ الْمُلْكِ
“...Barang siapa menikahkan karena Alloh maka
Alloh pasti memakaikan mahkota raja untuknya” [5]
Jika dikembangkan makna hadits ini adalah betapa Alloh Maha Pemberi
anugerah memberi pahala amal manusia jauh lebih tinggi dari pada amal tersebut.
Ibaratnya setetes keringat sejuta nikmat yang didapat. Hanya dengan menikahkan
karenaNya seorang mendapat kemuliaan yang begitu tinggi di sisiNya. Mungkin
sekali yang dinilai olehNya adalah niat dan tujuan karenaNya, sebab hal seperti
ini jarang sekali dilakukan oleh kebanyakan wali wanita saat menikahkan anak
gadisnya. Ada beberapa amal yang sepertinya sedikit tetapi mendapat penghargaan
tinggi dari Alloh, di antaranya, 1) Sholat tahajjud meski hanya sebagian dari
malam maka Alloh menjanjikan kemulian bagi orang yang melakukannya. Di sini
Alloh tidak melihat sedikitnya rokaat, tetapi melihat kepeduliaan bangun di
malam hari untuk mengingatNya saat banyak orang masih tidur 2) Sholat Dhuha,
kendati dua rokaat tetapi bisa menjadi sedekah 360 persendian manusia yang
semuanya menuntut untuk disedekahi. Yang dilihat Alloh adalah kepedulian
pelakunya yang menyempatkan diri mengingat Alloh saat banyak orang sibuk dengan
aktivitas dunia. Nabi SAW bersabda:
عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ
كَثِيْرًا
“Dia beramal sedikit tetapi mendapat
pahala banyak” [6]
Hadits ini bermula ketika seorang lelaki dengan wajah tertutup besi
(Muqonna’) datang dan berkata, “Wahai Rosululloh, saya berperang lalu masuk
islam? Nabi SAW menjawab, “Masuklah islam dan kemudian berperanglah!”lelaki itu
kemudian masuk islam dan berperang lalu meninggal di medan peperangan.
Mengetahui ia gugur maka Nabi SAW bersabda seperti di atas.