Sebelum berangkat melaksanakan munajat empat puluh hari di Bukit Sina untuk menerima kitab suci Taurat, Nabi Musa as menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Nabi Harun as untuk mengatur masyarakat bani Israil. Dalam kesempatan itu, beliau pun berpesan kepada penggantinya agar melaksanakan agena-agenda reformasi (ishlah) yang selama itu dijalankan. Di dalam Al Qur'an diterangkan:
وَقَالَ مُوسَى لأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah , dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan". (QS Al A'raaf : 142)
Pada saat kepemimpinan Nabi Harun as ini, Bani Israel ternyata melakukan pembusukan dengan menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Saat Nabi Harun as, pemimpin mereka menegur, memberi saran agar tidak terfitnah oleh patung anak sapi, mereka tidak sami'na wa atho'na, justru menentang. Kata mereka:
قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى
Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami". (QS Thoha : 91)
Tampaknya disini Bani Israil membeda-bedakan ketaatan terhadap satu pemimpin atas pemimpin yang lain. Mereka cenderung mendahulukan ketaatan figuritas atas dasar kharisma Nabi Musa as yang tegas dan tempramental dengan Nabi Harun as yang lebih tua, kalem dan lemah lembut. Dan efek dari prinsip figuritas ini, sistem kepemimpinan itu menjadi labil dan goncang. Peralihan kepemimpinan yang sesungguhnya wajar berubah menjadi kacau, apalagi dengan masuknya aktor perilaku buruk, yaitu Samiri.
***
Kepemimpinan dalam islam dimaksudkan dalam rangka mengemban amanat agama, seperti mengamalkan perintah amar ma'ruf nahi munkar. Tugas kepemimpinan berarti pula tugas agama. Oleh karena itu kepengurusan, penugasan, ekspedisi (pengiriman), pergantian kepemimpinan dan sebagainya oleh Rois (pemimpin tertinggi) akan selalu dikaitkan dengan agama. Khalifah Umar bin Khottob kala menugaskan pegawainya berkata:
"Sesungguhnya aku mengutus petugas-petugasku kepadamu dalam rangka mengajarkan kitab Tuhan dan sunnah Nabi kepadamu, serta menegakkan agama bagimu. (As Siyasah As Syar'iyah, Ibnu Taimiyah, 24)
Ajaran Islam mengatur kepemimpinan tegak berdiri di atas prinsip sami'na wa atho'na (ketundukan dan kepatuhan). Prinsip ini paling tidak menyiratkan dua hal. Pertama, kalau Rois memutuskan menetapkan tugas tertentu, maka tugas itu mengikat untuk diterima dan dilaksanakan tak ubahnya mengemban amanat. Di sini sepatutnya tidak ada komentar balik atas dasar nalar, lebih-lebih bereaksi menolak. Tugas memikul amanat selama tidak meminta tapi diberikan kepercayaan, dalam pelaksanaannya Insya'alloh akan diberikan kemudahan, dilempangkan jalannya, dan terbantu, selama bertawakkal, percaya penuh kepada Alloh swt, teguh pendirian, dan kuat dalam ibadah. Pesan Rasululloh saw kepada Abdurrahman bin Samuroh :
"Wahai Abdurrahman, jangan kamu meminta tugas. Sesungguhnya bila kamu diberikan suatu tugas tanpa meminta, kamu akan diberikan pertolongan. Sedang bila diberinya dengan meminta-minta kamu akan dibebaninya". (HR Bukhari Muslim)
Dalam hadits yang lain malah dijelaskan bentuk pertolongan dalam mengemban amanah yang tidak diminta itu bahwa malaikat akan diperbantukan kepadanya untuk memberinya petunjuk dan arah yang benar dalam ucapan maupun perbuatan (As Siyasah As Syar'iyah Ibnu Taimiyah, hal. 8)
`
Kedua, kaitannya dengan pengikut, bawahan, juga harus mengedepankan prinsip sami'na wa atho'na seperti halnya keharusan sami'na wa atho'na pihak yang mendapat tugas tertentu. Nurut, tidak mengedepankan pertimbangan atas pemimpin yang diangkat oleh Rois kemampuan, kompetensi, skill, ilmu, dan lain sebagainya. Asal pemimpn di atas yang mendapatkan amanat itu mengerti agama dan jujur.
Di samping sami'na wa atho'na, pengikut atau bawahan dituntut pula turut membantu terhadap pemimpin yang ditugaskan mengemban amanat, paling tidak dengan memberikan saran dan masukan, selain tentunya memohon kepada Alloh swt semoga dia diberikan kelurusan arah. Pengikut atau bawahan justru tidak boleh berlepas diri, melakukan mosi (reaksi) tidak percaya, dan memandang pemimpin yang ditugaskan tidak akan mampu menjalankan amanatnya.
Sementara hadits Rasululloh saw yang sering dijadikan dalil perlunya pemimpin memiliki keahlian, kompetensi, kecakapan ilmu dan semacamnya, yaitu hadits:
Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya saat. Tanya orang: "Apakah bentuk disia-siakannya amanat?" Jawab beliau: "Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya saat (kiamat, kehancuran). (Shahih Al Bukhari, bab Ilmu (hadits pertama), I/21)
Imam Al Qannuji (1248-1307 H)
dalam komentarnya terhadap pernyataan "bukan ahlinya" dalam hadits tersebut mengatakan:
"Dengan memberikan kekuasaan kepada selain ahli agama dan orang-orang yang amanat."
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Batthol. Dia berkata, "Para pemimpin itu orang-orang yang dipercaya Alloh swt untuk mengatur hamba-hambaNya. Dia mewajibkan mereka memberikan nasehat. Bila mereka menugaskan urusan tertentu kepada selain ahli agama maka mereka benar-benar mensia-siakan amanat." (Aunul Bari, syarah tajridus shorih, Al Qannuji, I/188)
Dari sini ukuran ahli yang dimaksudkan oleh hadits di atas ternyata tidak semata keahlian yang dipahami secara umum sebagai kemampuan, kompeteni, ilmu, kecakapan, dsb. Melainkan keahlian dalam hal yang prinsip yaitu agama dan amanat (kejujuran dan kesetiaan melaksanakan tanggung jawab).
Apa yang dilakukan oleh Bani Israil dengan menampakkan loyalitas yang berdiri di atas prinsip kharisma figur hasilnya ternyata sangat rawan (gawat, menjadikan keadaan buruk) dan riskan (beresiko, mengandung bahaya besar), khususnya di saat terjadi alih kepemimpinan. Maka kita harus banyak berterima kasih kepada Rasululloh saw yang telah memberikan pendidikan loyal kepada pemimpin yang atas dasar prinsip sami'na wa atho'na. Bahkan terhadap pemimpin yang berstatus habasyi umpamanya. Di dalam hadits disebutkan:
"Tunduk dan patuhlah sekalipun diangkat untukmu seorang amil (petugas) habasyi yang kepalanya seakan-akan buah kismis, anggur keing (kepalanya kecil, berambut pendek, tetapi keriting dan kusut). (HR Al Bukhori, Aunul Bari syarah Tajridus Shorih, Al Qannuji, I/744)
Usamah bin Zaid beliau angkat sebagai pemimpin ekspedisi ke Suriah saat umurnya baru 17 tahun. Kalaulah pertimbangan beliau kecakapan, ilmu, dan kompetensi, rasanya masih ada sahabat yang lebih cakap, berkompeten, dan berilmu dibanding putera sahabat Zaid bin Haritsah dari istri Ummu Aiman ini.
Sistem kepemimpinan yang tegak berdiri di atas prinsip sami'na wa atho'na kiranya akan menumbuhkan soliditas yang tidak didapati pada kepemimpinan figuritas. Dengan kesolidan, kepemimpinan akan menjadi kokoh, kuat, rapi, stabil dan eksis. Kesolidan ini akan memarahkan musuh, tidak malah membuat musuh bertepuk ria akibat perpecahan dan kehancuran, seperti ibroh yang bisa diperoleh dari dialog Nabi Musa as dengan Nabi Harun as pasca kepulangan beliau dari munajat empat puluh hari:
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (١٥۰) قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (١٥١)
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu ?" Dan Musa melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya.
Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka mau membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dzolim"
Musa berdo'a: "Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang diantara para penyayang."
(QS Al A'raaf : 150-151, dan telaah pula QS At Thoha: 85-97)
والله سبحانه وتعا لى أعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar