Pastikan hari-hari anda lebih bermanfaat dengan kami, dan jadilah bijak setelah mengunjungi blog kami. (Mohammad Zajery el Nuri)
Translate
Sabtu, 22 Maret 2014
HAZM FIL MAUQIF [Tegas dalam Bersikap]
Berbeda dengan Pemilu multipartai dulu, yaitu pemilu pada tahun 1955 dan pemilu pada tahun 1971 serta pemilu berikutnya yang hanya dengan tiga kontestan,pemilu multipartai pada tanggal pada tanggal 9 April 2014 mendatang diperkirakan sedikitnya ada beberapa partai yang mengatasnamakan ummat islam, bahkan sebagian malah secara transparan mencatumkan Islam sebagai asanya. Para pengamat menduga, tidak ada lagi partai yang bakal menang sebagai mayoritas tunggal. Partai besar paling banter diperkirakan memperoleh 40-60% suara. Dengan demikian, untuk dapat memenangkan suara di parlemen, optimis diperlukan kesediaan masing-masing partai untuk berkolisi atau beraliansi.
Pada saat ini, kita mellihat hanya beberapa partai saja yang mengatasnamakan Katolik dan Protestan, itu pun barangkali partai gurem. Akan tetapi samar-samar sebagian pihak Katolik., Protestan, Hindu, Budha ditambah kaum abangan dan golongan kebangsaan berjalan bersama menuju sebuah partai tertentu. Bisa jadi harapan mereka, partai itu kelak menjadi partai terbesar seperti PNI dulu yang mampu membentuk satu kesatuan front yang kuat. Melihat latar belakang pendukungnya. Front itu nantinya jelas dimaksudkan untuk mengimbangi kalangan muslimin. Nah, bila demikian, partai-partai Islam yang ada sudah siapkan melakukan koalisi untuk membangun front bersama? Jika sudah siap, dengan partai manakah koalisi itu dibangun?! Selanjutnya, jika koalisi itu dilakukan antar partai-partai Islam, seberapa besarkah komitmen masing-masing untuk koalisi itu?!
Jika hal-hal di atas tidak diinsafi, rasanya akan dapat memicu lahirnya kondisi yang merugikan kepentingan kaum muslimin, umpamanya perpecahan dan pertentangan, jika dihubungkan dengan ayat:
“Mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain”.(QS Al An’am 65) Nyatanya wadah-wadah politik yang saling bertentangan itu sudah ada, kini kita tinggal menunggu waktu, sementara kita akan mendengar bersorak gembiranya lawan-lawan ummat Islam. Oleh karena itu senyampang fitnah belum turun, maka kita harus mengantisipasinya dengan mengambil sikap yang tegas.
Dalam akhlak pergaulan, kita dianjurkan untuk berlaku mulatthofah (lemah lembut). Mulathofah bisa berbentuk mendukung, membantu, dan kerja sama pantas diberikan kepada sesama saudara kita seagama. Sementara bersikap mulathofah kepada non-Islam atau kepada orang-orang yang menghujat Islam adalah mental jelek yang harus di buang jauh-jauh. Melakukan mulathofah kepada mereka itu hampir bisa dikatakan menyerupai orang-orang yang punya sikap mudahanah. Apabila diinsafi, sesungguhnya akhlak merupakan cerminan aqidah yang tertanam pada diri kita, karena itu di sana pun ada pahala dan dosanya, dan termasuk urusan agama yang mendasar.
Dalam bersikap memang kita tidak boleh kaku, kita harus luwes (fleksibel) terhadap siapa pun, tapi hendaknya hal itu jangan menjadi alasan untuk mengabaikan ketegasan sikap terhadap kebenaran atau kesalahan. Imam Hasan Al Bashri menyebut ciri khas seorang muslim diantaranya yaitu : yaitu (…) bersikap tegas, teguh, dan mantap yang ditampilkan dalam bingkai sikap lemah lembut atau flesibelitas. (Mau’idzotul Mu’minin.Syeikh Jamaluddin al Qosimi,hal 242)
Bentuk sikap itu seperti pernah ditampakan oleh Nabiyullah Musa AS dan Nabiyullah Harun AS terhadap Fir’aun, seorang pengusa non-Islam. Sikap itu digambarkan oleh Allah swt dalam al-qur’an surat Thoha: 44 ;
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ….”
Pada ayat tersebut, Alloh swt tidak berarti menyuruh kedua Nabi itu untuk berkata-kata manis di depan Fir’aun, memujinya, mendukungnya, kompromi atau berkerja sama dengannya, akan tetapi diperintahkan keduanya menasehati Fir’aun secara tegas, tajam, kritis dan pedas, dalam ungkapan bahasa yang bijaksana. Tugas yang diemban kedua Nabi itu ialah menekan Fir’aun agar memerdekakan Bani Israil dan mencegah menyiksa mereka serta mengajak dia beriman pada risalah kenabiannya, sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat selanjutnya.
Ketegasan sikap yang perlu ditampilkan menghadapi orang-oarng yang kafir, orang yang menghujat agama Islam dan golongan-golongan yang sebangsanya (golongan kebangsaan, marhaen, demokrat, dsb) itulah sekarng yang mendesak untuk dibangkitkan.perwujudan dari ketegasan sikap itu yaitu dengan melakukan satu diantara dua alternaif dasar berikut ini:
1. Kita memutus hubungan sama sekali dalam arti menjauhi mereka sejauh-jauhnya. Karena kompromi dengan mereka berarti tidak ada bedanya antara kita dengan mereka.
2. Kita dekati mereka, dengan maksud memberikan peringatan (dzikro), dengan tetap menjaga kepentingan Islam. Dua alternative ini diambil dari firman Alloh swt.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu setelah dzikro duduk bersama orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al An’am : 68-69)
Sebagai akibat dari tiadanya ketegasan dari kaum muslimin, lawan-lawan mereka tidak lagi segan, apalagi gentar dihadapannya. Padahal dahulu mereka diliputi ketakutan dalam jarak sebuah perjalanan. Kini mereka tidak hanya bisa menyerang, tetapi mereka sanggup menjadikan kaum muslimin bulan-bulanan. Inilah barang kali maksudnya hadits:
“…Dan pasti Alloh akan melenyapkan haibah kamu dari data musuh-musuhmu..” (HR.Abu Dawud)
Akirnya kita meski menunjukkan kembali ketegasan sikap kita terhadap lawan-lawan kita. Hal ini agar haibah yang dulu lekat dengan umat Isalm tidak lenyap, karena haibah itu dapat menjadi modal untuk berdakwah yang penting, walaupun ia sendiri tidak perlu diupayakan dengan cara digawe-gawe (Tashonnu’).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar