Translate

Senin, 17 Maret 2014

KEUTAMAN MENJUJUNG TINGGI WILAYAH-WILAYAH TERLARANG

Firman Allah Subhanahu Wata`ala : “Dan barang siapa menjunjung tinggi hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka itu lebih baik baginya disisi Tuhannya “. ( Q.S. Al Hajj : 30 ) Penguasa dan raja selalu memiliki wilayah-wilayah yang terlarang bagi rakyat melanggarnya. Alloh swt sebagai penguasa di atas penguasa dan raja di atas raja begitupun memiliki wilayah-wilayah terlarang bagi para hamba melanggarnya. Wilayah terlarang itu adalah hal-hal yang diharamkan. Sabda Rasulullah saw : “Ingatlah sesungguhnya setiap raja memiliki wilayah terlarang. Dan sesungguhnya wilayah terlarang milik Alloh swt adalah hal-hal yang dilarang – Nya ( keharaman ). (H.R. Bukhri Muslim ) Adanya wilayah-wilayah terlarang tersebut merupakan realitas dari adanya ghairah ( semangat dan kecemburuan ) tinggi yang dimiliki Alloh swt, sebagaimana Rosululloh saw, para sahabat, dan manusia pada umumnya, juga memilikinya. Sebagai ilustrasi ghairah, Alloh swt telah menciptakan makhluk sekaligus mengaturnya. Menyediakannya makan dan berbagai kenikmatan. Sebagai kompensasi kenikmatan ini, ditetapkanlah wilayah-wilayah terlarang. Jika sekian rahmat diterima dan dinikmati oleh makhluk di satu sisi dan disisi lain mereka memperlihatkan perilaku yang melanggar wilayah-wilayah haram tersebut, itu merupakan bentuk kedurhakaan yang tinggi. Alloh swt cemburu dalam arti tidak suka dengan sikap durhaka itu. Rosulullah saw bersabda : ”Apakah kalian kagum dengan ghairahnya Saad?! Demi Alloh, aku lebih memiliki ghairah dari pada dia. Dan alloh swt lebih memilki ghairah dari pada aku. Demi ghariah, Alloh swt mengharamkan perbuatan-perbuatan keji baik yang terang-terangan maupun yang tersamar. ( H.R. Muslim ) Atas dasar ghairah Alloh swt yang begitu tinggi ini, Rosululloh saw menggariskan bahwa dalam menghindari pelanggaran terhadap wilayah-wilayah terlarang ( nahi ) hendaklah dilakukan dengan totalitas dan habis-habisan. Ketat, tegas, dan teguh. All out. Tidak longgar. Tidak mengenal kompromi. Sementara terhadap wilayah-wilayah yang diperintahkan ( amar ), beliau memberikan tekanan dengan sekuat kemampuan. Sebisanya dan semampunya. Sesuai dengan kapasitas diri. Dalam hal ini proporsi amar ( perintah ) sedikit lebih longgar daripada proporsi nahi ( larangan ). Dalam riwayat hadits disebutkan : “Apa yang aku larang jauhilah,sedang apa yang aku perintahkan lakukanlah ia semampumu”.(H.R.Bukhari Muslim ) Ayat tersebut dimuka mengingatkan bahwa menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang dengan menjauhi dan menghindarinya secara ketat, tegas, dan teguh merupakan sikap yang positif.Ia di nilai tidak sekedar hal ( suatu kewajaran bersikap ),melainkan di nilai sebagai sebuah maqom ( posisi ) yang tinggi dan agung di sisi Allah swt yang hendaknya dicapai oleh orang-orang Islam. Sikap menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang bukanlah ekstrim dan ekslusif , karena itu sudah menjadi bagian dari idealisme keimanan dan menjadi misi risalah tauhid. Menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang menjadi sangat istimewa ketika ummat manusia berada dalam zaman fitnah. Saat ketika kebanyakan orang semakin longgar dalam memasuki dan melanggar wilayah-wilayah haram itu. Saat hal terlarang sudah tidak lagi dianggap terlarang. Akibat realitas yang ada lebih dikedepankan dari pada nash-nash hukum yang ada. Azas manfaat di dahulukan daripada teks hukum. Saat menggejala sikap permisif ( sikap terbuka, membolehkan ) terhadap hal-hal yang sebelumnya di larang keras. Riba menjadi halal. Kepemimpinan wanita menjadi absah. Jilbab menjadi mubah. Loyal (al wala’ )tehadap kaum muslimin dan anti ( al bara’ )terhadap kaum kuffar semakin terkikis dengan dominanya paham-paham kebangsaan dan kemanusiaan. Korupsi sudah rancu dengan komisi dan hadiah. Semakin hari kian dominanlah sikap longgar dalam melanggar hukum-hukum haram itu. Jika zaman sudah mengalami fitnah sedemikian rupa, maka sikap menjunjung tinggi wilayah-wilayah telarang memang layak disebut maqom yang istimewa. Ibarat ikan, ia tetap menjadi tawar di lautan yang serba asin. Penuh komitmen dan konsistensi. Orang-orang yang mempraktekkannya adalah orang-orang mulia dan pilihan. Sikap tegas ini bukan berarti membabi buta dan konyol. Karena dalam Islam ternyata tetap didapati jalan keluar ( makhraj ) dan toleransi ( rukhshoh ) tertentu manakala didapati satu kondisi darurat dan kebutuhan yang mendesak dengan batas-batas tertentu yang telah ditetapkan. Dalam kaidah Ushul dikatakan : “Suatu urusan bila sempit,ia menjadi luas”. Sementara itu, kaum muslimin seluruhnya berkewajiban membela dan menolong agama Alloh swt dengan berjihad dan taat. Jika aktivitas bela agama dengan jihad dan taat dilaksanakan, mereka di jamin akan meraih pembelaan ( kemenangan ) dan kedudukan yang teguh ( kuat ) dalam aktivitas jihad dan taatnya. Alloh swt berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu membela ( agama ) Alloh, dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu ( dalam jihad dan ketaatan )”. ( Q.S. Muhammad : 7 ) Ayat ini menerangakan bahwa jaminan pembelaan, pertolongan, dan posisi yang kuat hanya bisa diraih dengan membela dan menolong agama Alloh swt. Seruan luhur membela agama ini hanya bisa tumbuh dan bangkit bila sudah tertanam ghairah, yaitu semanggat dan kecemburuan beragama yang tinggi ( fanatisme ). Sedang ghairah kiranya hanya bisa tumbuh dan bangkit dari sikap yang luhur, yaitu menjunjung tinggi wilayah-wilayah terlarang. Di katakana dalam peribahasa bahwa hilangnya ghairah merupakan matinya kejantanan. Tanpa ghairah, orang akan menjadi malas, lemah dan loyo. Sementara orang yang berlaku permisif ( longgar ) dalam wilayah haram ( tidak menjunjung tinggi wilayah terlarang ),sulit rasanya dia memiliki ghairah yang tinggi. Kerap terjadi orang yang permisif justru menjadi lembek dan kadang-kadang oportunis ( mencari untung dan enak sendiri ). Lentur.Tidak berprinsip. Ikut-ikutan ( norok buntek ). Plin-plan. Untuk menumbuhkan sikap menjunjung tinggi wilayah terlarang, salah satu caranya adalah dengan menghindari dan menjauhi hilah ( fiksi hukum, rekayasa hukum, atau hukum rekaan ), yaitu suatu gagasan mencapai tujuan tanpa menggunakan cara-cara yang dibenarkan.Rekayasa. efek yang sering muncul dari hilah adalah beban hukum yang “terlalu berat dan ketat” dialihkan kepada beban hukum yang lebih ringan dan longgar. Efek lainnya adalah mentolerir ( tarakkhus, menganggap tidak apa-apa ) hal-hal yang terlarang dngan memanfaatkan nash hukum. Jumhur ulama memiliki daya resistensi ( perlawanan ) yang tinggi tewrhadap fiksi hukum ini. Hilah umumnya dilakuan oleh orang-orang yang pintar. Sementara orang awam umumnya lugu-lugu, murni, dan konsekuen terhadap satu prinsip karena ketidak tahuannya. Cerdik pandai Yahudi misalnya. Ketika mengetahui dilarang menjual lemak, mereka lalu merekayasanya. Mereka olah lemak menjadi minyak kemudian menjualnya. Mereka sesat sekaligus menyesatkan. Hal yang efektif untuk membangkitkan semangat menjunjung tinggi wilayah terlarang adalah menumbuhkan prilaku wara’ (kehati-hatian), yaitu menghindari hal yang tidak terlarang atau tidak berdosa atau yang tidak jelas agar tidak terjerumus kepada hal yang jelas-jelas terlarang atau berdosa. Tidak justru tarakkhush (menganggap tidak apa-apa ) dengan mempergunakan hilah. Apalagi di zaman fitnah yang halal dan haram sudah semakin jambor. Ilustrasi sikap wara’ seperti ditunjukan Sayid Idris, ayah Imam Asy Syafi’i yang engan memakan apel yang terbawa aliran sungai. Atau seperti sahabat Abu Bakar Ash Siddiq,seperti cerita putrinya, Sayyidah Aisyah ra. Dalam sebuah hadis : “Abu Bakar mempunyai budak sahaya yang ditetapkan setiap hari harus membawa bekal ( sebagai cicilan merdeka ) untuknya. Dan Abu Bakar selalu makan dari bekal itu. Pada suatu hari budak itu datang membawa makanan, maka dimakan oleh Abu Bakar. Tiba-tiba budak itu berkata : “ taukah tuan, dari manakah makanan itu?” Abu Bakar menukas : “ mengapa?!” Budak itu menjawab : “ Pada masa jahiliah aku pernah berlagak menjadi dukun didepan seseorang. Aku sebenarnya tidak mengerti perdukunan, cuma ingin mengelabuhinya. Beberapa waktu lalu aku berjumpa dengannya. Mendadak dia memberikanku makanan yang kau makan itu. “maka Amirul Mukminin pertama ini segera memasukan jarinya pada mulut. Memutahkan semua isi perutnya. “ ( H.R. Bukhari )

Tidak ada komentar: