Jaminan lestarinya kehormatan
dan harga diri umat islam ditekankan oleh syara’. Syara’ dengan tegas
menjelaskan misi yang diembannya, seperti dirumuskan oleh ulama’ Ushul Fiqh,
yaitu melestarikan enam perkara elementer (al ushul as sittah) yang meliputi agama, jiwa, akal, nasab, harta benda, dan
kehormatan.
Jaminan lestarinya kehormatan,
salah satu enam perkara elementer itu, rasanya terkait erat dengan akhlak
(etika). Akhlak menjadi ukuran penilaian yang banyak disoroti karena kasat
mata. Sementara akhlak tidak dapat dilepaskan dari perilaku hati yang amat
samar Kalau hati bagus akan tampak akhlak lahiriah yang bagus pula. Sebaliknya,
akhlak kalau jelek, indikasi hati keruh dan kotor. Islam menekankan perbaikan
akhlak dengan memelihara dan menjaga hati melalui tasawuf. Konon,derajat
keimanan kerap dicapai salah satunya melalui salamatul qolbi (hati
yang bersih, selamat) dari penyakit hati. Maka, akhlak Islam hendaknya menjadi
perilaku sehari-hari, baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi,
politik, maupun lainnya sehingga integritas (kekuatan hati, kejujuran) seorang
muslim terpelihara dengan sebenar-benarnya.
Akhlak Islam, agar salamatul qolbi, memandang manusia tak
lepas dari kelebihan dan kekurangan.Kelebihan sebagai anugerah Alloh swt
hendaknya tidak menjadikan bangga diri, melihat diri, dan arogan. Sementara
kekurangan seperti aib, sirri, dosa, dan sebagainya hendaknya ditutupi.
Kekurangan orang lain hendaknya tidak dijadikan bahan ekspos, kecuali sesuai
haknya. Kalau sesuai haknya pun, tetap dengan mengindahkan aturan-aturan syara’
yang berlaku. Alloh swt berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka
adzab yang pedih di dunia dan di akhirat”. (Q.S.
An Nuur: 19)
Syara` menekankan hendaknya aib
seseorang tidak diobral di depan orang banyak agar derajatnya jatuh dan hina
dalam pandangan mereka, semata-mata atas dasar dengki (hiqid), kebencian,
sentimen, dan tendensi lainnya. Kepada mereka hendaknya justru berprasangka
baik. Mencela, mencacat, menelanjangi, mengobral aib, dan membuka aurat atau
yang disebut dengan ta`yir terhadap harga diri dan kehormatan orang Islam yang
bukan kategori fasik besar merupakan pelanggaran berat, lebih berat daripada pelanggaran
itu sendiri. Karena itu menahan diri dari mecelahkan kekurangan orang Islam
termasuk pemikiran bernilai tinggi yang dipuji. Di dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa
menutup aib orang Islam maka Alloh akan menutup aibnya pada hari kiamat.”(Muttafaq alaih. Riyadlus Sholihin hal. 84,
An Nawawi)
Pelanggaran jauh lebih besar
lagi manakala penelanjangan dilakukan habis-habisan, sementara akar yang
ditelanjanginya masih samar, belum jelas, karena tanpa ada bukti dan saksi,
atau ada bukti dan saksi namun belum memadai. Rosululloh saw dalam hadits
menyebutkan: “Cegahlah hudud
karena syubhat-syubhat (ketidakjelasan). (H.R.
Baihaqi. Kasyful Khofa wa Muzilul Ilbas I/71, Al Ijlauni)
Secara khusus, para pemimpin
dalam hal ini boleh diberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya
kesalahannya tidak diobral, dihilangkan sanksinya, atau paling tidak
diringankan sanksinya, mengingat peran dan jasa mereka yang besar. Lebih-lebih
pemimpin yang kategori baik-baik, pertama kali berbuat salah, dan atau
kesalahannya ringan. Di dalam hadits disebutkan: “Ampuni
keterplesetan orang - orang yang memiliki jabatan, kecuali hudud.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`I, dan Baihaqi.
Subulus Salam IV/30, As Shan`ani)
Sistem demokrasi politik yang
lagi trend saat ini tampaknya memberikan rakyat kebebasan seluas-luasnya,
termasuk di dalam menelanjanngi borok pemimpinnya, kalau dirasa tidak cocok,
dsb, atas dasar sentimen, kebencian, dan tendensi lainnya. Ini tentunya berbeda
dengan sistem Islam. Para pemimpin,privasi (rahasia diri) mereka dipelihara. Ahlul Halli wal Aqdi yang terdiri dari
beberapa tokoh yang akseptabel (diterima, diakui) diberi tugas untuk ini.
Menasehati, berbicara dari hati ke hati, dan sebagainya, yang penting tetap
dengan memperhatikan kedudukan dan menimbang peran mereka.
Akhlak islam yang agung ini
kalau diabaikan, tidak diindahkan, oleh individu umat Islam atau lembaga
mereka,seperti partai dan organisasi, rasanya tak banyak berarti artibut dan
simbol Islam yang disandangnya. Justru akhlak jelek yang ditampilkan secara
mencolok itu bisa direspon orang dengan kesan yang negatif.
Lebih dari itu, ini merupakan
perbuatan dzalim,tak ubahnya kedzaliman menghunus pedang di depan kaum
muslimin, padahal membuka pedang dari sarungnya saja sudah dilarang. Dalam hal
ini sampai diatur tata cara membawa senjata di depan sesama saudara ini. (Sunan Abu Dawud hadits nomor 2588 III/31)
Kalau suatu perilaku cenderung dzalim,dibaliknya niscaya ada efek negatif, misalnya
adzab ajilah (sanksi segera di dunia)
seperti sanksi kedzaliman anak kepada orangtuanya, yaitu pelaku dzalim akan
melakukan perbuatan yang sama atau diperlakukan sama sebelum dia mati.
“Barangsiapa
mencela saudaranya dengan suatu dosa maka dia tidak akan mati sampai dia
sendiri melakukannya”. (HR Tirmidzi.
Faidlul Qadir VI/83 dan Asnal Matholib hal. 300, Muhammad Darwisy Al Hut)
Apa yang kita sebutkan di muka
bukanlah atas dasar pro kontra kelompok yang tengah berseteru pada saat ini.
Melainkan antisipasi sikap yang mudah-mudahan berdasarkan hikmah (ilmu yang
valid). Karena kalau terjebak pro kontra efeknya cara pandang menjadi membabi
buta.Baik,karena atas dasar benci,boleh jadi dikatakan salah, dan salah, karena
atas dasar suka,dikatakan baik. Akibat tidak netral. Di dalam syair disebutkan:
“Pandangan suka itu hampir saja tidak melihat segala
cela, sebagaimana pandangan benci menampakkan keburukan-keburukan”. (Al Muqtathof hal. 114, Ali
As Shobuni)
Wallohu Subhanahuu Wata’ala A’lam