Pastikan hari-hari anda lebih bermanfaat dengan kami, dan jadilah bijak setelah mengunjungi blog kami. (Mohammad Zajery el Nuri)
Translate
Kamis, 31 Oktober 2013
Tasawuf dan Pemantapan Semangat Hijrah
Sabda Rosululloh saw:
“Tidak ada hijroh setelah Fathu Makkah.Tetapi jihad dan niat.”(HR.Abu Dawud)
Dalam pertemuan bersama para sahabat, tanggal 8 Rabi’ul awal tahun ke-17 hijriyah, Khalifah Umar bin Khottob, setelah mendapatkan saran dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari,memutuskan hendak menetapkan kalender tahun baru islam. Sahabat Ali bin Abi Tholib saat itu mengusulkan agar peristiwa hijrah di jadikan tonggak untuk mengawali tahun baru islam itu. Usul Abu Hasan ini di setujui para sahabat yang hadir pada pertemuan. Alasannya hijrah merupakan titik pemisah periode Makkah dan periode Madinah dan merupakan awal keberhasilan perjuangan Rosululloh saw dalam menegakkan agama Islam.
Hijrah dari Makkah ke Madinah yang monumental itu agaknya telah berakhir, seperti dikatakan oleh hadits di atas, bersamaan dengan peristiwa Fathu Makkah pada bulan Muharrom tahun ke-8 Hijriyah.Akan tetapi, semangat hijrah ( berpindah tempat, menjauhi dosa ) harusnya tidak boleh pupus dari jiwa kaum muslimin. Hadis tersebut secara terang dan jelas ( eksplisit ) menyebutkan eksistensi hijrah yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin sampai kapan pun, yaitu hijrah dalam rangka jihad dan hijrah dalam rangka niat yang baik, yang disebut dengan hjrah lahiriyah.
Jihad maknanya mengeluarkan segenap kemampuan dalam rangka menegakkan kalimat Alloh dan menegakkan masyarakat muslim. Mengeluarkan segenap kemampuan di dalam peperangan melawan musuh adalah bagian dari jihad, namun jihad bukan berarti hanya perang melulu saja. Sementara target yang hendak di capai dengan jihad ialah tegaknya masyarakat muslim dan terbentuknya Daulah Islamiyah ( pemerintahan islam ) yang benar.( Fiqih Siroh, Al Buthi, hal. 170, Darul Fikr, Damaskus, 1990 )
Sebagaimana jihad, berpindah tempat tinggal dengan niat yang baik juga bagian dari hijrah. Berpindah tempat untuk mencari ilmu ( tholabul ilmi ). Berpindah tempat untuk memperbaiki diri ( ishlahun nafs ). Berpindah tempat untuk amal lillah ( beraktifitas karena Alloh swt ), dan lain sebagainya merupakan bagian dari hijrah karena niat yang baik. Pembentukan jamaah dakwah kiranya tidak lepas dari niat untuk mencari ilmu, niat memperbaiki diri, dan niat beraktifitas karena Alloh swt. Karena itu, semoga pembentukan jama’ah berikut aktifitas kita di dalamnya dikategorikan bagian dari hijrah lillah wa lirosulihi shollallohu ‘alaihi wasallam.
Secara implisit ( tersirat ), hijrah juga berarti melepaskan dan menjauhkan diri dari dosa dan apa saja yang diserukan oleh setan dan nafsu ammaroh bis suu’. Hijrah dalam bentuk ini disebut hijrah batiniyah. Rasululloh saw bersabda :
“Orang yang berhijrah ialah orang yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah.” ( Abu Dawud, hadis nomor 2481, jilid 111/4 )
Hijrah secara batiniyah ini merupaka tuntutan keimanan. Sebab, bergelimang dengan dosa, bertekuk lutut terhadap nafsu ammaroh bis suu’, dan melanggar larangan Allah swt menyebabkan hati keras dan beku ( qosawatul qolbi ). Padahal hati yang keras dan beku ini sumber dari hampir seluruh penyakit hati, seperti kibir, ujub, hasud dan riya’. Fir’aun,karena asalnya bergelimang dosa; berlaku dzalim, mengingkari ayat-ayat Allah dan membantai kebenaran, akibatnya hati dia membatu. Dari hati membatu inilah Fir’aun menjadi arogan, ujub, hasud dan riya’, walaupun sudah kalah dan terpampang jelas kebenaran di depannya.
Ketika misalnya 70.000 pakar sihir yang di datangkannya kalah dengan nabi Musa as, dan mereka justru beriman, Fir’aun malah membabi buta. Puluhan ribu pakar sihir itu di potong kaki dan tangannya secara bersilang, lalu di salib ramai-ramai. Tidak cukup itu, berikutnya Fir’aun juga membuat kebijakan yang tidak bijak, yaitu membunuhi semua anak laki-laki, untuk yang kedua kalinya. Juga ketika di timpa adzab, Fir’aun tidak malah sadar, tapi justru menyombongkan diri dan menimpakan sebab kesialan ( tathoyyur )kepada Musa as. Padahal kala tumbuh kondisi tentram ( tidak ada adzab ), dia mengklaim sebagai hasil usahanya. ( QS.Al A’raaf : 113-133 )
Ajaran tasawuf, ihsan,atau menurut Ibnu Taimiyah disebut dengan suluk, agaknya merupakan media yang bisa mengatasi kebekuan hati. Praktek dari ajaran tasawuf, ihsan, atau suluk, seperti dihasilkan oleh Rosulullah saw dari “bertapa” di gua Hiro,yaitu mahabbatullah ( cinta Alloh ) muhasabatun nafsi ( menghitung, meneliti diri ), muroqobah ( mawas diri ), serta tafkir madzohiril kaun ( berfikir terus tentang keagungan alam ).Empat hal ini kalau berproses dan bergerak, niscaya menghasilkan shofa’ul qolb ( kondisi hati yang bersih ) atau salamatul qolbi (keselamatan hati ) dari penyakit hati yang menghinggapinya. (Fikih Siroh, Al Buthi, hal. 79-81, Darul Fikr, Damaskus 1990 ). Jikalau kaum muslimin secara umum saja butuh terapi ini, maka lebih-lebih kader dai.
Menapaki tahun baru hijriyah 1422 H ini merupakan momentum yang tepat untuk memantapkan hijrah baik lahiriyah maupun batiniyah melalui wadah kejamaahan ini. Hijrah telah terbukti menjadi babak pendahuluan ( prelude )bagi setiap kebangkitan perjuangan. Tetapi tidak Cuma hijrah, melainkan harus diimbangi dengan upaya diri membersihkan hati ( tazkiyatun nafs ) lewat praktek tasawuf, ihsan dan suluk. Karena inti kekuatan yang mendasari keberhasilan Rasululloh saw dan para sahabatnya terdapat pada kekuatan hati ( ruhiyah ). Hati yang bersih inilah modal yang berguna kala kita semua sowan kepada Alloh subhanahu wata’ala.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar