Translate

Kamis, 31 Oktober 2013

Mendudukkan Opini “Jodoh Di Tangan Tuhan”‎

Opini umum di masyarakat menyatakan jodoh di tangan Tuhan. Kesannya kemudian jodoh ‎bukanlah ruang ikhtiar manusia, karena berada di dalam kekuasaan Tuhan. Jika perjodohan (ziwaj) ‎termasuk wilayah di mana manusia terkuasai dan tersetir, artinya pemahaman ini cenderung ‎mengkategorikan perjodohan bagian dari qodlo dan qodar, sebagaimana ajal dan rizki.‎ Pandangan umum yang menyatakan “jodoh ditangan Tuhan” ini ternyata menyimpan ‎beberapa musykilah (keganjilan). Seperti diyakini bahwa ruang lingkup qodlo dan qodar tidak ada ‎kaitanya dengan dosa dan pahala (taklif syar’i), karena manusia melakoninya secara terpaksa atau ‎tersetir. Kalau demikian halnya, bagaimana mensikapi kasus perjodohan antara Ira Wibowo, seorang ‎muslimah dengan Katon Bagskara, seorang Nasrani ? apakah kasus perjodohan ini tidak ada kaitannya ‎dengan dosa, karena perjodohan itu bagian dari qodlo dan qodar ?‎ Musykilah (keganjilan) lainnya. Dalam persoalan agama yang sifatnya akidah, ghaibiyah, ‎tauhid, atau ushuluddin, mesti di dasarkan pada nash-nash yang qoth’I (yang jelas dan tegas), setidak-‎tidaknya berderajat hadits ahad yang shohih, kalau tidak mutawatir. Ternyata berbeda dengan rizki ‎dan ajal yang jelas didukung nash-nash yang qoth’I, perjodohan ternyata tidak di sebut-sebut sebagai ‎wilayah takdir (istilah qodlo dan qodar singkat) secara tegas dan jelas, baik di dalam Al Qur’an maupun ‎Al Hadits. ‎ Selama ini, dasar pijakan perjodohan termasuk kategori takdir adalah bahwa dalam hal ‎perjodohan terdapat 2 proses, yaitu kholaqo (proses perjodohan sebagai takdir atau sunnah yang ‎datang dari Allah swt) dan ja’ala (proses penyelenggaraan rumah tangga ideal sebagai ruang ikhtiar ‎manusia), sebagaimana firman Alloh swt:‎ ‎“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu jodoh-jodohmu dari ‎jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNYa di ‎antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda ‎bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Rum:21)‎ Dasar pijakan yang didasarkan pada rahasia pemakaian teks bahasa ni (antara teks kholaqo dan ‎teks ja’ala) ternyata tidak ditemukan didalam kitab-kitab tafsir dan masyhur. Kalaupun rahasia teks ‎bahasa ini ada, kiranya pun belum bisa di pakai hujjah bagi suatu keyakianan, karena sifatnya dzonni ‎‎(tidak tegas dan jelas) atau ijtihadi. Apalagi pada ayat-ayat lain, teks bahasa “ja’ala” (ruang ikhtiar) ‎sebagaimana teks bahasa “kholaqo” (ruang takdir) juga di pakai untuk ruang lingkup proses takdir, ‎seperti dalam Al Qur’an surat Al Furqon: 62, surat An Nahl: 78, surat Yunus: 5, dan lain sebagainya.‎ Jikalau perjodohan bukan takdir berarti masuk kategori ruang ikhtiar ? Rasanya di dalam ‎perjodohan ada sisi-sisi di mana manusia bisa memilih dan bisa menguasai, seperti rencana ‎melangsungkan perjodohan dalam jangka waktu tertentu (misalnya kalau sudah berumur 25 tahun), ‎memilih jodoh yang ideal, memilih jodoh yang tumbuh dari akar yang baik, memilih membujang dan ‎menduda, atau memilih jodoh secara dini (umur 19 tahun), dsb. Kalau seandainya ada manusia tidak ‎ingin jodoh pada jangak waktu tertentu, itu ikhtiarnya, dan bukan atas setiran atau pengusa takdir. ‎ Terkait dengan ini, seyogyanya manusia dalam proses perjodohan agar sebisanya menerapkan ‎ketentuan dan cara-cara yang sesuai dengan syara’ agar mendapatkan nilai pahala dan tidak berdosa, ‎seperti memilih jodoh yang bukan mahramnya, memproses jodoh dengan pernikahan, memilih jodoh ‎secara moral dengan mempertimbangkan agama, dll. Dalam hal ini tampaknya kasus Ira wibowo dan ‎Katon Bagaskara jelas-jelas tidak mengidahkan kententuan dan cara-cara yang sesuai dengan syara’, ‎maka tentunya di sana ada dosa, jika diteruskan. ‎ Di balik lingkaran manusia bisa memilih dan menguasai ihwal perjodohan, di sana ada ‎kekuatan, kehendak dan kekuasaan, (otoritas) yang disebut dengan al khoshois ar rububiyah ‎‎(kekhususan-kekhusuan ke Tuhanan) yang meliputi lima hal, yaitu : 1) al kholqu (menciptakan), 2) al ‎ijad (mewujudkan), 3) al imatah (mematikan), 4) ar rizqu (memberikan rizki), dan 5) at tadbir ‎‎(mengatur). Hal ini dikemukakan ulama atas dasar nash-nash qoth’i dari Al Qur’an dan Al Hadits.‎ Kaitanya dengan kegagalan di dalam perjodohan, baik proses menjelang, sedang atau sesudah ‎perjodohan, misalnya sudah mempersiapkan perjodohan dengan baik, nyatanya gagal. Sudah sekian ‎lama mencari, namun tidak ketemu jodoh. Sudah lama berjodoh, di kemudian hari pisah. Maka diyakini ‎di balik kegagalan ini terdapat tadbir (pengaturan) dari Allah swt, sesuai dengan otoritas ‎ketuhananNya. Allah swt berfirman:‎ ‎“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa ‎‎((menciptakan ) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan dari yang hidup dan ‎yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ? ‎maka mereka akan menjawab : “ Allah”. Maka katakanlah :” mengapa kamu tidak bertaqwa ‎‎((kepadaNya)?.”(QS. Yunus :31, periksa juga ayat 3)‎ Jadi,konteksnya dalam perjodohan kalau terjadi kegagalan ( tidak sesuai rencana semula), ‎maka bahasanya : “manusia bisa ikhtar, Allah swt yang mengatur”. Jika pandamgan akan adanya ‎otoritas tadbir ini diyakini, kiranya akan tumbuh buah yang bisa dipetik, yaitu sabar, ridlo, tawakal, tidak ‎mengeluh dan tidak putus asa manakala terjadi kegagalan. Dan dengan pandangan sisi manusia bisa ‎menguasai dan memilih dalam perj0dohan, nantinya tidak akan ada manusia memperalat qodlo dan ‎qodar untuk membenarkan kesalahan untuk dan menyalahkan kebenaran. Di dalam hadits disebutkan ‎‎:‎ ‎“Akan ada di akhir zaman kaum yang melakukan ma’shiat, lalu beralasan : “Allah telah mentakdirkan ini ‎atas kami”. Orang yang mengkritik mereka pada hari itu laksana orang yang menghunus pedang di jalan ‎Allah.” (Al Aqoid Al Islamiyah,Sayyid Sabiq.Hal 99)‎ Wallahu subhaanahu wat’aala A’lam

Tidak ada komentar: