Pastikan hari-hari anda lebih bermanfaat dengan kami, dan jadilah bijak setelah mengunjungi blog kami. (Mohammad Zajery el Nuri)
Translate
Kamis, 31 Oktober 2013
Mendudukkan Opini “Jodoh Di Tangan Tuhan”
Opini umum di masyarakat menyatakan jodoh di tangan Tuhan. Kesannya kemudian jodoh bukanlah ruang ikhtiar manusia, karena berada di dalam kekuasaan Tuhan. Jika perjodohan (ziwaj) termasuk wilayah di mana manusia terkuasai dan tersetir, artinya pemahaman ini cenderung mengkategorikan perjodohan bagian dari qodlo dan qodar, sebagaimana ajal dan rizki.
Pandangan umum yang menyatakan “jodoh ditangan Tuhan” ini ternyata menyimpan beberapa musykilah (keganjilan). Seperti diyakini bahwa ruang lingkup qodlo dan qodar tidak ada kaitanya dengan dosa dan pahala (taklif syar’i), karena manusia melakoninya secara terpaksa atau tersetir. Kalau demikian halnya, bagaimana mensikapi kasus perjodohan antara Ira Wibowo, seorang muslimah dengan Katon Bagskara, seorang Nasrani ? apakah kasus perjodohan ini tidak ada kaitannya dengan dosa, karena perjodohan itu bagian dari qodlo dan qodar ?
Musykilah (keganjilan) lainnya. Dalam persoalan agama yang sifatnya akidah, ghaibiyah, tauhid, atau ushuluddin, mesti di dasarkan pada nash-nash yang qoth’I (yang jelas dan tegas), setidak-tidaknya berderajat hadits ahad yang shohih, kalau tidak mutawatir. Ternyata berbeda dengan rizki dan ajal yang jelas didukung nash-nash yang qoth’I, perjodohan ternyata tidak di sebut-sebut sebagai wilayah takdir (istilah qodlo dan qodar singkat) secara tegas dan jelas, baik di dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Selama ini, dasar pijakan perjodohan termasuk kategori takdir adalah bahwa dalam hal perjodohan terdapat 2 proses, yaitu kholaqo (proses perjodohan sebagai takdir atau sunnah yang datang dari Allah swt) dan ja’ala (proses penyelenggaraan rumah tangga ideal sebagai ruang ikhtiar manusia), sebagaimana firman Alloh swt:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu jodoh-jodohmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNYa di antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Rum:21)
Dasar pijakan yang didasarkan pada rahasia pemakaian teks bahasa ni (antara teks kholaqo dan teks ja’ala) ternyata tidak ditemukan didalam kitab-kitab tafsir dan masyhur. Kalaupun rahasia teks bahasa ini ada, kiranya pun belum bisa di pakai hujjah bagi suatu keyakianan, karena sifatnya dzonni (tidak tegas dan jelas) atau ijtihadi. Apalagi pada ayat-ayat lain, teks bahasa “ja’ala” (ruang ikhtiar) sebagaimana teks bahasa “kholaqo” (ruang takdir) juga di pakai untuk ruang lingkup proses takdir, seperti dalam Al Qur’an surat Al Furqon: 62, surat An Nahl: 78, surat Yunus: 5, dan lain sebagainya.
Jikalau perjodohan bukan takdir berarti masuk kategori ruang ikhtiar ? Rasanya di dalam perjodohan ada sisi-sisi di mana manusia bisa memilih dan bisa menguasai, seperti rencana melangsungkan perjodohan dalam jangka waktu tertentu (misalnya kalau sudah berumur 25 tahun), memilih jodoh yang ideal, memilih jodoh yang tumbuh dari akar yang baik, memilih membujang dan menduda, atau memilih jodoh secara dini (umur 19 tahun), dsb. Kalau seandainya ada manusia tidak ingin jodoh pada jangak waktu tertentu, itu ikhtiarnya, dan bukan atas setiran atau pengusa takdir.
Terkait dengan ini, seyogyanya manusia dalam proses perjodohan agar sebisanya menerapkan ketentuan dan cara-cara yang sesuai dengan syara’ agar mendapatkan nilai pahala dan tidak berdosa, seperti memilih jodoh yang bukan mahramnya, memproses jodoh dengan pernikahan, memilih jodoh secara moral dengan mempertimbangkan agama, dll. Dalam hal ini tampaknya kasus Ira wibowo dan Katon Bagaskara jelas-jelas tidak mengidahkan kententuan dan cara-cara yang sesuai dengan syara’, maka tentunya di sana ada dosa, jika diteruskan.
Di balik lingkaran manusia bisa memilih dan menguasai ihwal perjodohan, di sana ada kekuatan, kehendak dan kekuasaan, (otoritas) yang disebut dengan al khoshois ar rububiyah (kekhususan-kekhusuan ke Tuhanan) yang meliputi lima hal, yaitu : 1) al kholqu (menciptakan), 2) al ijad (mewujudkan), 3) al imatah (mematikan), 4) ar rizqu (memberikan rizki), dan 5) at tadbir (mengatur). Hal ini dikemukakan ulama atas dasar nash-nash qoth’i dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Kaitanya dengan kegagalan di dalam perjodohan, baik proses menjelang, sedang atau sesudah perjodohan, misalnya sudah mempersiapkan perjodohan dengan baik, nyatanya gagal. Sudah sekian lama mencari, namun tidak ketemu jodoh. Sudah lama berjodoh, di kemudian hari pisah. Maka diyakini di balik kegagalan ini terdapat tadbir (pengaturan) dari Allah swt, sesuai dengan otoritas ketuhananNya. Allah swt berfirman:
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa ((menciptakan ) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan dari yang hidup dan yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ? maka mereka akan menjawab : “ Allah”. Maka katakanlah :” mengapa kamu tidak bertaqwa ((kepadaNya)?.”(QS. Yunus :31, periksa juga ayat 3)
Jadi,konteksnya dalam perjodohan kalau terjadi kegagalan ( tidak sesuai rencana semula), maka bahasanya : “manusia bisa ikhtar, Allah swt yang mengatur”. Jika pandamgan akan adanya otoritas tadbir ini diyakini, kiranya akan tumbuh buah yang bisa dipetik, yaitu sabar, ridlo, tawakal, tidak mengeluh dan tidak putus asa manakala terjadi kegagalan. Dan dengan pandangan sisi manusia bisa menguasai dan memilih dalam perj0dohan, nantinya tidak akan ada manusia memperalat qodlo dan qodar untuk membenarkan kesalahan untuk dan menyalahkan kebenaran. Di dalam hadits disebutkan :
“Akan ada di akhir zaman kaum yang melakukan ma’shiat, lalu beralasan : “Allah telah mentakdirkan ini atas kami”. Orang yang mengkritik mereka pada hari itu laksana orang yang menghunus pedang di jalan Allah.” (Al Aqoid Al Islamiyah,Sayyid Sabiq.Hal 99)
Wallahu subhaanahu wat’aala A’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar