Pastikan hari-hari anda lebih bermanfaat dengan kami, dan jadilah bijak setelah mengunjungi blog kami. (Mohammad Zajery el Nuri)
Translate
Kamis, 31 Oktober 2013
MEMBANGUN “KEBAIKAN” SECARA BERKARAKTER
Allah subhanahu wata’alaa berfirman:
“Barang siapa membawa kebaikan maka ia memperoleh balasan yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tetram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu”. (QS.An-Naml: 89)
Ayat ini mendorong kita untuk melaksanakan kebaikan (al-hasanah). Dengan melaksankan kebaikan, kita akan meraih keuntungan: pertama, mendapatkan pahala yang lebih baik kelak di akhirat di samping mendapatkan buah atau hasil mulia yang bisa dipetik di dunia sebagai balasannya. Ukuran satu kebaikan pahalanya adalah sepuluh kali lipat kebaikan.Firman Alloh swt:
“Barang siapa membawa kebaikan maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari kebaikan itu”. (QS. Al-An’aam: 160)
Menurut para ulama, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat kebaikan adalah ukuran nilai kebaikan terendah, karena satu kebaikan bisa dilipat gandakan oleh Alloh swt hingga tujuh ratus kali lipatnya atau hingga tak terbatas, sesuai dengan kadar kemurnian niat, keikhlasan, kekhusyu’an hati, kemanfaatannya bagi orang lain, dan sebagainya
Selain pahala di akhirat, dengan kebaikan juga bisa dipetik hasil atau buah kebaikan itu di dunia. Ibaratnya, hasil panen hanyalah di raih oleh petani yang telah bekerja menanam. Mengharapkan hasil tanpa menanam adalah khayalan (utopia)
Kedua, mendapatkan keamanan dan ketentraman kala menghadapi kejutan-kejutan dahsyat pada hari kiamat. Ibaratnya kebaikan adalah bekal. Orang bepergian jauh dengan bekal cukup niscaya merasa lebih tenang. Inilah dua dari sekian keuntungan berbuat kebaikan.
Ayat tersebut meski berbentuk berita (khabar), sesungguhnya yang dikehendaki adalah perintah (amar). Seperti diketahui, untuk mengungkapkan perintah, Al-Qur’an kadang kala mennggunakan bahasa berita. Ayat itu memerintahkan kita giat dan rajin menjalankan kebaikan. Kebaikan dalam bentuk apa, tidak di sebutkannya, berarti kebaikan itu bersifat umum. Hal ini diindikasikan dengan adanya partikel “al” (alif lam) pada kata “hasanah” yang menurut para ulama berkonotasi: “li istighraqil jinsi” (untuk menghabiskan segala jenis). Jadi jenis kebaikan apa saja kita diperintahkan menjalankannya.
Prinsip-prinsip yang kita bangun lewat gerakan jamaah dakwah ini insya’allah mengacu kepada kebaikan itu. Kita tidak berkumpul, berkelompok, atau bergerak bersama untuk kejahatan. Visi dan misi kita adalah kebaikan, bahkan kalau perlu memeloporinya.
Sesuai dengan anjuran ayat dimuka, prinsip-prinsip yang kita bina lewat gerakan hendaknya dijalankan. Prinsip-prinsip itu diundangkan tidak sekedar sebagai aksesoris, tapi untuk diamalkan. Bahkan diharapkan prinsip-prinsip kejamaahan itu menjadi karakter hidup kita sebagai anggotanya, baik bawahan maupun atasan.
Dalam gerakan jamaah dakwah ini misalnya ada tandzim atau tansiq (system keteraturan bersama ) yang itu adalah untuk diamalkan sebagai suatu kebaikan.
Salah satu ruh dari gerakan jamaah ini adalah adanya sikap tawadud, tarahum, dan ta’athuf, yaitu sikap saling cinta kasih,saling berkasih sayang, dan saling lemah lembut antar individu jamaah. Antar individu jamaah hendaknya saling bekerja-sama, bahu-membahu,dan tolong-menolong laksana keluarga besar yang diikat dalam satu tubuh. Saling ada ta’liful qulub. Rasulullah saw bersabda :
“Orang-orang yang bersifat kasih sayang akan dikasihsayangi oleh Allah Tuhan Yang Maha Penyayang. Kasih sayangi orang-orang di bumi niscaya orang-orang di langit akan mengasih sayangimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidizi)
Hadits ini dikenal sebagai hadits musalsal bil awwaliyah, yaitu hadits yang jalur periwayatannya ditransmisikan secara berenteten (tasalsul), dan masing-masing perawi mengatakan: “aku meriwayatakannya dari fulan dan ini hadits pertama yang aku dengar darinya”. Penyebutan sebagai musalsal bil awwaliyah menunjukan hadits ini penting dijalankan dan agung nilainya. (fathul Qarib Al-Mujib, Sayyid Alawi, hal. 154)
Prinsip lain yang kita bangun lewat gerakan ini adalah semboyan 2 in, yaitu “in ajriya illa “alallah” dan “in uridu illal ishlah”. Keikhlasan dan kelurusan niat serta perbaikan diri, keluarga, dan masyarakat dalam setiap gerak dakwah kita adalah wujud dari semboyan ini. Antar individu jamaah hendaknya mengedepankan husnud dzon. Saling memaklumi dan saling memahami. Saling nasehat-menasehati. Menerima udzur. Silaturrahim dan ziarah.
Dan bersama itu, harus ada upaya untuk meminimalisasi ghill, rasa dengki, iri, dan dendam satu jamaah terhadap jamaah yang lain sebagai bagian dari ishlah dan tazkiyatun nafsi. Tidak boleh ada “jarak” karena satus asal santri, mahasiswa, atau masyarakat biasa misalnya. Dikotomi kultural semacam ini adalah bagian dari fanatisme.
Sikap kita mengacu pada pendapat ulama dalam memahami nash Al-Qur’an dan Al Hadits juga bagian dari prinsip pemikiran yang kita bangun lewat gerakan ini. Sebisanya kita menghindari hilah (rekayasa) dalam menetapkan hukum, filsafat dan berfikir liberal (meletakan kebebasan di atas segala-galanya) demi mensucikan suatu hukum dengan konteks tempat dan waktu, serta tidak banyak berkomentar tentang suatu hukum yang sifatnya sudah baku. Sikap ini lebih selamat, sebagai manifestasi dari keimanan yang berarti keyakinan, ketundukan dan kepatuhan.
Tidak mengapa kita dikatakan sebagai kelompok tekstual, karena golongan ahli hadits sendiri yang di motori oleh Imam Malik bin Anas juga cenderung tekstual. Biarkanlah sebagian ajaran agama yang baku ini tetap dengan ketauqifiannya. Jangan diotak-atik dengan nalar. Sikap banyak komentar dan mendahulukan nalar ini kerap mencelakakan orang.Rasulullah saw bersabda:
“Suatu kaum tidak tersesat setelah dahulunya dikaruniai petunjuk kecuali (karena) mereka memiliki sikap membantah”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Prinsip menjauhi perkara-perkara syubhat dan menghindari perpecahan akibat polarisasi kepartaian dan golongan (at-tafarruq al-hizbi) juga bagian dari prinsip pemikiran yang kita bangun melalui gerakan ini .
Sikap mengintegrasikan dzikir dengan fikir atau suluk dengan harakah termasuk pula prinsip pemikiran yang kita bangun. Kita tidak mengharapkan gerakan ini menjadi sekedar gerakan pemikiran yang kering dari dzikir atau gerakan dzikir yang kering dari pemikiran. Kita tidak juga menghendaki gerakan ini menjadi sekedar gerakan fisik namun suluk (perilaku jiwa) tidak tertata. Perpaduan antara dzikir dan fikir serta antara harakah dan suluk itulah prinsip yang kita bina.
Dan berbagai prinsip-prinsip lain yang kita bangun melalui gerakan jamaah dakwah ini seluruhnya merupakan insya’allah merupakan suatu kebaikan.
Untuk menjalankan prinsip-prinsip yang kita yakini sebagai kebaikan tersebut tentu membutuhkan energi mujahadah yang tinggi, dari mulai kegiatan, kerajinan, kesemangatan, kesungguhan, keseriusan, hingga stamina dan fitalitas yang tinggi. Dengan mujahadah-lah kita bisa berbuat kebaikan terus-menerus dan kesinambungan, meski terhadap urusan yang terbilang kecil sekalipun. Mujahadah inilah yang menghasilkan keberkahan, kemajuan, dan kecermelangan. Firman Alloh swt :
“Dan orang-orang yang bermujahadah di jalan Kami, benar-benar Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami”. (QS. Al-Ankabuut: 69)
Guru besar tasawuf, Ibnu Arabi, mengatakan bahwa barang siapa serius berbuat untuk mencapai suatu kebaikan, semangatnya akan selalu menyala-nyala untuk tujuan itu, niscaya cepat atau lambat dia akan mencapainya. Sementara Abuya Assayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengatakan bahwa dengan semangat dan cita-cita yang tinggi, panji-panji kebesaran akan bisa berkibar.
Tugas kita dengan demikian adalah mujahadah yang terus-menerus dan kesinambungan disertai dengan dedikasi yang tinggi. Mudah-mudahan dengan itu Alloh swt memberikan hasil yang bisa dipetik kelak. Kita sekedar berharap, karena realisasi pencapaian target pada akhirnya kewenagan Alloh swt. Siapa tahu target yang diharapkan tidak tercapai saat ini tapi kelak, 20 tahun yang akan datang misalnya atau lebih, dan justu saat itu target terlampaui dan berlebih serta dinikmati anak cucu dan generasi akan datang.
“Bila suatu hal yang di cari (target, tujuan atau keinginan) terlambat datang, boleh jadi dalam ketelambatan itu kelak terdapat segala hal yang dicari.”
Hanya saja, manusia pada umumnya cenderung bersifat tergesa-gesa. Sukanya cepat berhasil dan melihat kenyataan buah yang dikerjakannya segera. Firman Alloh swt:
“Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagai mana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. “(QS. Al-Israa’: 11, periksa pula QS. Al-Anbiyaa’: 37)
Tugas kita ibaratnya adalah menanam dan terus menanam kebaikan. Siapa tahu bila hasil panennya tidak kini, namun kelak dan kenyataannya jauh lebih besar dari apa yang kita duga sebelumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar