Translate

Sabtu, 13 April 2013

BEGINILAH SEHARUSNYA KITA BERSAUDARA

Rosululloh saw bersabda: Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga cintanya kepada saudaranya bagaikan cintanya pada dirinya sendiri.(Muttafaq ‘Alaih) Seorang muslim seyogyanya mencintai saudara muslimnya seperti ia mencintai dirinya sendiri.Merealisasikan hadis tersebut secara tersurat terasa berat sekali (ash sho’bul mumtani’),seolah-olah tak sanggup.Hal ini dikarenakan sifat egoisme individu selalu dominan,bahkan dibakar oleh masyarakat dan media-media elektronik.Tak heran apabila kehidupan sesama muslim masih seperti kehidupan orang-orang dalam kereta.Mereka seolah-olah berjalan dalam satu gerakan,namun setelah kereta berhenti masing-masing menetukan nasibnya sendiri-sendiri.Kadang-kadang mereka saling sikat,saling copet dan lainnya. Walau demikian,seorang muslim harus menerapkan hadis di atas.Penerapannya dengan mengikuti makna hadis sebagai berikut: 1. Makna dari lafadz “Laa Yu’minu” adalah meniadakan kamalul iman (kesempurnaan Iman),bukan nafyul iman (meniadakan iman) sama sekali. 2. Adanya riwyat dari Imam An Nasa’I yang menyebutkan “Minal Khoir” sebagai tambahan “Maa yuhibbu li nafsihi”.Dengan riwayat itu realisasi hadis tersebut terasa lebih mudah,lebih-lebih bagi yang berhati salim,sebab dimensi al khoir luas dan tidak terbatas serta bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi.Karena itu Alloh Subhanahu Wata’aala berfirman: “Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS Al Baqoroh: 148) Sebelum kita merealisasikan kepada sesama muslim secara terbuka,alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu merealisasikan secara intern antar jamah (sebagai upaya tajribah) yang telah mengikat pada Robithoh Al Ukhuwwah Al Imaniyah,dengan istilah murofaqoh atau iltizam.Dimana ikatan itu sejak semula kita arahkan menuju tahaabub (saling mencintai) untuk mencapai mahabbatulloh.Sebab tanpa tahaabub itu kita tidak akan mencapai derajat kesempurnaan iman (mahabbatulloh).Upaya ini sesuai dengan hadis Nabi : Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman.Dan kalian tidak beriman sehingga kalian tahaabub. (HR.Muslim) Konsekuensi tahaabub dalam hidup berjamaah adalah sebagai berikut: 1.Wala’ (loyalitas) dan Shuhbah. Sikap wala’ ini pertama kali ditunjukkan kepada Rois Jamaah,sebagaimana seorang makmum harus loyal kepada imam sholatnya.Sikap wala’ ini bukan sekedar figuritas (karismatik tokoh),sekedar melepaskan dosa,atau sekedar ketaatan kepada seorang guru ngaji.Tetapi lebih dari itu kita relakan wala’ untuk meningkatkan aktifitas guna mencapai ridlo Alloh Subhanahu wata’ala: “Orang mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka harus menampakkan wala’ kepada sebagian yang lain”. (QS At Taubah 71) Shuhbah dalam arti ingin meniti kehidupan para sahabat bersama Rosululloh saw.Dalam praktek tersebut para sahabat selalu kintil,memperhatikan semua kepentingan Rosululloh dan aktifitas dakwahnya. Untuk menuju sikap wala’ dan shuhbah seperti di atas,kita membiasakan praktek ta’rif dan ta’aruf.Semua anggota harus memahami aktifitas dan tugasnya masing-masing,termasuk aktifitas yang menjadi prioritas jamaah yang kita ekspos ke luar secara formal dalam bentuk Yayasan dan Majelis Ta’lim.Sehingga saat ini keduanya harus mulai difungsikan secara aktif,efektif dan optimal.Garapan-garapan jangka pendek dan jangka panjang harus terprogram secara rapi sehingga tidak berjalan karena reaksi keadaan.Semisal program dalam menghadapi perubahan politik dan kebijaksanaan orde baru kurun 90-an ini,bagaimana program menghadapi anggota jamaah yang telah memiliki putra-putri baru ini,dll. Tidak kalah perlunya dalam hal ta’rif dan ta’aruf ini adalah kepeduliaan masing-masing Naib Manthiqy dan Naqib untuk tafaqqud (meneliti) keberadaan anggota-anggotanya.Sedapat mungkin meminimalkan pengangguran aktifitas.Tidak sampai dijumpai anggota kerja keras sementara yang lain bermalas-malasan .Dalam hal ini kita membutuhkan orang yang ringan tangan dalam melaksanankan setiap tugas. Selain itu antar sesama jamaah seyogyanya bersikap terbuka (open action) dan komunikatif.Praktek wala’ dan shuhbah ini perlu untuk menggalang nushroh demi mensukseskan program-program kejamaahan. 2.Wafa’ Tugas kita setelah memasuki jamah adalah wafa’,yaitu kesiapan memenuhi beberapa konsekuensi yang telah kita ikrarkan dahulu.Bila konsekuensi berjamaah tidak dipedulikan,berarti sama dengan memilih diantara tiga pilihan,yaitu taqshir,mukholafah atau khianat.Dan ketiga pilihan itu bukanlah sifat seorang mukmin.Rosululloh saw adalah tipe manusia yang paling wafa’,baik dalam kondisi syiddah (sulit) maupun Rokho’ (mudah). Murofaqoh dan iltizam jamaah memerlukan wafa’.Karena itu menghadiri majelis taushiyah misalnya,tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya selain udzur syar’iy.Jauhnya tempat dan kondisi diri semisal tiada bekal,kesibukan rutin bukan termasuk udzur.Pehatikan perilaku shohabat dalam menerima konsekuensi atas keimanannya.Mereka mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk mewujudkan konsekuensi tersebut. 3.Memahami milik bersama Hidup berjamaah adalah hidup bersama.Karena itu masing-masing anggota harus mengetahui milik jamaah.Jika jamaah mempunyai program,baik rutin maupun insidentil,maka harus didukung dan diupayakan keberhasilannya.Program tersebut berarti harus diangkat sebagai kepemilikan bersama,semua merasa memiliki dan seterusnya.Contoh progam: penyebaran ide dakwah lewat majalah Al Mu’tashim dan buletin Shuhuf,penggalangan dana lewat toko Buurika (Surabaya),Tabriika (Malang),Mabruka (pujon) serta BMT Pujon.Pengumpulan calon generasi lewat lembaga terpadu TK/SD Plus (dalam program di Pujon),sentralisasi aktifitas Markazy dengan membangun gedung di Nambangan Surabaya.Penanganan daerah minus dengan menyebar pesantren cabang (Wates-Kediri,Bendo Rejo-Ngantang,Al Ma’wa Sebaluh,Tahfidzul Quran Putri Mantung-Pujon,Pesantren Putri Pujon Kidul,Pesantren Putra Pujon Kidul dan lain sebagainya),penggalangan kader kecil dengan TPA/TPQ sebanyak 12 lembaga di daerah Pujon,Batu dan Ngantang.Ternyata kita bersama memiliki asset yang kalau sekiranya diuangkan akan bernilai jutaan rupiah,sekalipun Yayasannya mengkas-mengkis,hidup segan matipun tak mau.Hal ini dapat terwujud,mungkin dikarenakan sisi barokah perjuangan secara jamaah disertai niat ikhlas menjauhkan diri dari ightiror bil jamaah. Dengan demikian setiap anggota harus mempunyai aktifitas dan garapan dakwah yang jelas.Diupayakan dirinya harus selalu tasyghil (menyibukkan diri) dalam kancah dakwah.Jika belum,maka harus punya azzam yang untuk itu menurut kemampuannya masing-masing.Ini baru salah satu mengangkat program dakwah sebagai amal jama’I dai jamaah kita. 4.Sentralisasi Sebagaimana yang paling dominan dalam tubuh manusia adalah kepala sebagai tempat merujuk ide dan konsep gerak dan langkah anggota badan yang lain,maka Ro’is,Naib dan Naqib juga demikian.Oleh karena itu,agar tercipta gerak dan langkah yang sama,baik pikir maupun jiwa,maka anggota harus merujuk kepada sentral jamaah,yaitu Rois dalam arti memahami penentuan sikap yang harus dilakukan sehingga adanya kesenjangan selama ini seperti ikhtilaf fil fikroh,ke-eksklusifan,kekakuan,pementahan program,pemaksaan keanggotaan (padahal ini praktek yang tidak boleh),dan lain-lain tidak dijumpai.Oleh Karen itu agar tidak dijumai kesenjangan ,maka anggota diharapkan mengikuti ta’lim ‘aam dan sering berkonsultasi dengan Rois secara pribadi.Juga perlu kesadaran,bahwa produk yang dikeluarkan oleh Rois,Naib,dan Naqib telah melalui pemikiran dan ….. yang matang.Bahkan perlu dipahami prodruk tersebut bukan untuk kepentingan individu mereka.Karena itu anggota jamaah harus taslim dengan produk yang telah dikeluarkan daripada produk luar sebagai konsekuensi as sam’u wat tho’ah fiima ahabba au kariha (mendengar dan taat,baik suka atau tidak).Sikap ini tidak didasarkan pada ta’ashshub (fanatisme),namun untuk keselamatan jamaah. Konsekuensi sebagai muslim yang dapat tahaabub dalam berjamaah,sebagai mana tersebut di atas terasa amat berat.Namun hal itu akan terasa ringan jika disadari bahwa berjamaah termasuk bagian dari perjuangan.Dan perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan.Sebagaimana rahasia yang terungkap dari firman Alloh ta’aala: 1. Surat Al A’rof 199 “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah untuk mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” 2. Surat Al ‘Ashr ayat 3 “Dan saling nasehat –menasehatilah engkau dengan kebenaran dan kesabaran” Dua ayat tersebut menunjukkan bagaimana bersikap dalam amar bil ‘urfi dan wishoyah bil haq.Sikap beramar ma’ruf akan berhadapan dengan celaan orang-orang bodoh.Sedangkan Wishoyah akan berhadapan dengan tantangan sehingga dituntut sabar dalam menghadapinya. Meningkatkan aktifitas diri dalam kehidupan berjamaah dengan saling tahaabub,insyaAlloh akan menjadikan jamaah ada ruhnya.Program-program akan terselesaikan sesuai target,karena tidak terjadi keteledoran-keteledoran baik dari pemimpin atau anggota.Hasilnya adalah jamaah yang solid,bagaikan satu tubuh yang sempurna,sehat dan kuat.Semua anggota tubuh dapat difungsikan sesuai keahlian dan tugasnya masing-masing.Allohu A’lam (Disampaikan pada Taushiyah ke-06,19 Robi’ul Awaal 1417 H / 1 Sepetmber 1996)

Tidak ada komentar: