Pastikan hari-hari anda lebih bermanfaat dengan kami, dan jadilah bijak setelah mengunjungi blog kami. (Mohammad Zajery el Nuri)
Translate
Minggu, 24 Maret 2013
Biografi Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibnu Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku Kurdi, yang hidup dalam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.
Bersama ayahnya, Syaikh Mula Ramadhan, dan anggota keluarganya yang lain, Al Buthi hijrah ke Damaskus pada saat umurnya baru empat tahun. Ayahnya adalah sosok yang amat dikaguminya.
Pendidikan sang ayah sangat membekas dalam sisi kehidupan intelektualnya. Ayahnya memang dikenal sebagai seorang ulama besar di Damaskus. Bukan saja pandai mengajar murid-murid dan masyarakat di kota Damaskus, Syaikh Mula juga sosok ayah yang penuh perhatian dan tanggung jawab bagi pendidikan anak-anaknya.
Dalam karyanya yang mengupas biografi kehidupan sang ayah,Al Fiqh Al Kamilah li Hayah Asy Syaikh Mula Al Buthi Min Wiladatihi Ila Wafatihi, Syaikh Al Buthi mengurai awal perkembangan Syaikh Mula dari masa kanak-kanak hingga masa remaja saat turut berperang dalam Perang Dunia Pertama. Kemudian menceritakan pernikahan ayahnya, berangkat haji, hingga alasan berhijrah ke Damaskus, yang di kemudian hari menjadi awal kehidupan baru bagi keluarga asal Kurdi itu.
Masih dalam karyanya ini, Al Buthi menceritakan kesibukan ayahnya dalam belajar dan mengajar, menjadi imam dan berdakwah, pola pendidikan yang diterapkannya bagi anak-anaknya, ibadah dan kezuhudannya, kecintaannya kepada orang-orang shalih yang masih hidup maupun yang telah wafat, hubungan baik ayahnya dengan para ulama Damaskus di masa itu, seperti Syaikh Abu Al Khayr Al Madani, Syaikh Badruddin Al Hasani, Syaikh Ibrahim Al Ghalayayni, Syaikh Hasan Jabnakah, dan lainnya, yang menjadi mata rantai tabarruk bagi Al Buthi. Begitu besarnya atsar (pengaruh) dan kecintaan sang ayah, hingga Al Buthi begitu terpacu untuk menulis karyanya tersebut.
Dari Damaskus ke Kairo
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi muda menyelesaikan pendidikan menengahnya di Institut At Tawjih Al Islami di Damaskus. Kemudian pada tahun 1953 ia meninggalkan Damaskus untuk menuju Mesir demi melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar. Dalam tempo dua tahun, ia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di bidang syari’ah. Pada tahun berikutnya di universitas yang sama, ia mengambil kuliah di Fakultas Bahasa Arab hingga lulus dalam waktu yang cukup singkat dengan sangat memuaskan dan mendapat izin mengajar bahasa Arab.
Kemahiran Al Buthi dalam bahasa Arab tak diragukan. Sekalipun bahasa ini adalah bahasa ibu orang-orang Arab seperti dirinya, sebagaimana bahasa-bahasa terkemuka dalam khazanah peradaban dunia, ada orang-orang yang memang dikenal kepakarannya dalam bidang bahasa, dan Al Buthi adalah salah satunya yang menguasai bahasa ibunya tersebut. Di samping itu, kecenderungan kepada bahasa dan budaya membuatnya senang untuk menekuni bahasa selain bahasa Arab, seperti bahasa Turki, Kurdi, bahkan bahasa Inggris.
Selulusnya dari Al Azhar, Al Buthi kembali ke Damaskus. Ia pun diminta untuk membantu mengajar di Fakultas Syari’ah pada tahun 1960, hingga berturut-turut menduduki jabatan struktural, dimulai dari pengajar tetap, menjadi wakil dekan, hingga menjadi dekan di fakultas tersebut pada tahun 1960.
Lantaran keluasan pengetahuannya, ia dipercaya untuk memimpin sebuah lembaga penelitian theologi dan agama-agama di universitas bergengsi di Timur Tengah itu.
Tak lama kemudian, Al Buthi diutus pimpinan rektorat kampusnya untuk melanjutkan program doktoral bidang ushul syari’ah di Al Azhar hingga lulus dan berhak mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu-ilmu syari’ah.
Aktivitasnya sangat padat. Ia aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi tingkat dunia di berbagai negara di Timur Tengah, Amerika, maupun Eropa. Hingga saat ini ia masih menjabat salah seorang anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania, anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, dan anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.
Dan tahun 2012 lalu, beliau menjadi ketua Ikatan Ulama Bilad Asy Syam.
Penulis yang Sangat Produktif
Syaikh Al Buthi adalah seorang penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai lebih dari 60 buah, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain. Beberapa karyanya yang dapat disebutkan di sini, antara lain:
Al Mar‘ah Bayn Thughyan An Nizham Al Gharbiyy wa Latha‘if At Tasyri’ Ar Rabbaniyy
Al Islam wa Al ‘Ashr
Awrubah min At Tiqniyyah ila Ar Ruhaniyyah: Musykilah Al Jisr Al Maqthu’
Barnamij Dirasah Qur‘aniyyah
Syakhshiyyat Istawqafatni
Syarh wa Tahlil Al Hikam Al ‘Atha‘iyah
Kubra Al Yaqiniyyat Al Kauniyyah
Hadzihi Musykilatuhum
Wa Hadzihi Musykilatuna
Kalimat fi Munasabat
Musyawarat Ijtima’iyyah min Hishad Al Internet
Ma’a An Nas Musyawarat wa Fatawa
Manhaj Al Hadharah Al Insaniyyah fi Al Qur‘an
Hadza Ma Qultuhu Amama Ba’dh Ar Ru‘asa‘ wa Al Muluk
Yughalithunaka Idz Yaqulun
Min Al Fikr wa Al Qalb
La Ya‘tihi Al Bathil
Fiqh As Sirah
Al Hubb fi Al Qur‘an wa Dawr Al Hubb fi Hayah Al Insan
Al Islam Maladz Kull Al Mujtama’at Al Insaniyyah
Azh Zhullamiyyun wa An Nuraniyyun
Muhadharat Fil Fiqhil Muqharin Ma’a Muqaddimati Fi Bayani Asbabi Ikhtilafi Al Fuqaha’ Wa Ahammiyyati Dirasatil Fiqhil Muqarin
Al Islam Maladz Kulli Mujtama’at Insaniyyah; Limadza Wa Kaifa?
Al Jihad Fil Islam; Kaifa Nafhamuhu? Wa Kaifa Numarisuhu?
Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Madzhab Islami
Al ‘Uqhubat Islamiyyah; wa ‘Aqduhu At Tanaqhudhu bainaha Wa baina Ma Yusamma bi Thabi’ihal ‘Ashri
Hurriyatul Insan Fi Dhilli ‘Ubudiyyahatihi Lillah
Difa’ ‘An Islam Wa Tarikh
Al Islam Wa ‘Asru; Tahaddiyat Wa ‘Afaq
Al Aqidah Al Islamiyyah wa Al Fikr al Mu’asirah
Al La Madzhabiyyah Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu as Syari’ah Al Islamiyyah
Al Mazdhab al Iqtishady Baina Syuyu’iyyah Wal Islam
Dhawabitu Al Maslahat Fi As Syariah al Islamiyyah
Fi Sabilillahi Wa Al Haq
Hiwar Haula Musykilati Hadhariyyah
Mabahitsul Kitab Wa As Sunnah min ‘Ilmi Ushulil Fiqhi
Mamuzain, Qishatu Hubbub Nabati Fi Al Ardhi wa Aina’u fi As Sama’, Mutarjamah
Manhaj Al ‘Audah Ilal Islam
Masalatu Tahdidi an Nashli Wiqayatn wa ‘Ilajan
Min Al fikri wa Al Qalbi
Min Rawaiyl Qur’an
Naqdul Auhami Al Maddiyah Al Jadaliyah
Tajribatut Tarbiyah Al Islamiyyah Fi Mizan Al Bahts
Al Insan Wa Adatullahi Fi Al Ardli
Al islamu Wa Muskilatus sabab
Bathinul Ismi al Khatar Fi Hayatl Muslimin
Hakadza Fal Nad’u al Islam
Ila Kulli Fatatin Tu’minu Billah
Man Huwa Sayyidu al Qadri fi Hayatil Insan
Minal Mas’ul ‘An Takhallufi Al Muslimin
Min Asrari Al Manhaj Al Islami
Gaya bahasa Al Buthi istimewa dan menarik. Tulisannya proporsional dengan tema-tema yang diusungnya. Tulisannya tidak melenceng dan keluar dari akar permasalahan dan kaya akan sumber-sumber rujukan, terutama dari sumber-sumber rujukan yang juga diambil lawan-lawan debatnya.
Akan tetapi bahasanya terkadang tidak bisa dipahami dengan mudah oleh kalangan bukan pelajar, disebabkan unsur falsafah dan manthiq, yang memang keahliannya. Oleh karena itu, majelis dan halaqah yang diasuhnya di berbagai tempat di keramaian kota Damaskus menjadi sarana untuk memahami karya-karyanya. Walau demikian, sebagaimana dituturkan pecinta Al Buthi, di samping mampu membedah logika, kata-kata Al Buthi juga sangat menyentuh, sehingga mampu membuat pembacanya berurai air mata.
Di Indonesia, karyanya yang paling banyak digemari adalah Fiqh As Sirah. Kitab ini mengupas tentang faidah-faidah yang dapat dipetik dari perjalanan kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, utamanya dari sisi dakwah dan mendirikan peradaban Islam.
Bahkan, karena kitab ini sering dijadikan rujukan oleh aktivis Ikhwanul Muslimin, banyak yang menyangka bahwa beliau adalah tokoh Ikhwan, padahal bukan. Dan beliau sendiri pernah berselisih pendapat dengan Ikhwan. Selain itu banyak juga yang menyangka bahwa beliau adalah menantu Syaikh Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, karena kebetulan namanya mirip dengan Ustadz Ramadhan Al Buthi yang pernah tinggal di Suriah.
Pembela Madzhab yang Empat
Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi mengasuh halaqah pengajian di masjid Damaskus dan beberapa masjid lainnya di seputar kota Damaskus, yang diasuhnya hampir tiap hari. Majelis yang diampunya selalu dihadiri ribuan jama’ah, laki-laki dan perempuan.
Selain mengajar di berbagai halaqah, ia juga aktif menulis di berbagai media massa tentang tema-tema keislaman dan hukum yang pelik, di antaranya berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh para pembaca. Ia juga mengasuh acara-acara dialog keislaman di beberapa stasiun televisi dan radio di Timur Tengah, seperti di Iqra‘ Channel dan Ar Risalah Channel.
Dalam hal pemikiran, Al Buthi dianggap sebagai tokoh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang gencar membela konsep-konsep Madzhab yang Empat dan aqidah Asy’ariyah, Maturidiyah, Al Ghazali, dan lain-lain. Karena itulah beliau pernah berselisih dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Berbekal pengetahuannya yang amat mendalam dan diakui berbagai pihak, ia meredam berbagai permasalahan yang timbul dengan fatwa-fatwanya yang bertabur hujjah dari sumber yang sama yang dijadikan dalil para lawan debatnya. Ujaran-ujaran Al Buthi juga menyejukkan bagi yang benar-benar ingin memahami pemikirannya.
Al Buthi bukan hanya seorang yang pandai di bidang syari’ah dan bahasa, ia juga dikenal sebagai ulama Sunni yang multidisipliner. Ia dikenal alim dalam ilmu filsafat dan aqidah, hafizh Qur’an, menguasai ulumul Qur’an dan ulumul hadits dengan cermat. Sewaktu-waktu ia melakukan kritik atas pemikiran filsafat materialisme Barat, di sisi lain ia juga melakukan pembelaan atas ajaran dan pemikiran madzhab fiqih dan aqidah Ahlus Sunnah.
Di era 1990-an, Al Buthi telah menampakkan intelektualitasnya dengan menggunakan sarana media informasi, seperti televisi dan radio. Ini demi mengusung pemikiran-pemikirannya yang tawassuth(menengah) di tengah gerakan-gerakan Islam yang bermunculan.
Sayangnya, kedekatannya dengan penguasa politik Suriah saat itu, Hafizh Al Assad, menjadi bumbu tak sedap di kalangan pemerhati politik. Namun kedekatannya itu juga menjadi siasat politik Suriah dalam menyokong perjuangan Hamas (Harakah Al Muqawamah Al Islamiyah) dalam menghadapi aneksasi Israel, sekalipun beberapa pandangannya bertolak belakang dengan gerakan-gerakan semacam itu.
Tokoh Sufi Kontemporer
Syaikh Al Buthi juga dikenal sebagai tokoh tasawuf kontemporer. Di Masjid Al Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, Syaikh Al Buthi membahas kitab Ar Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung olehnya.
Dalam tasawuf, Syaikh Al Buthi termasuk yang berada di posisi moderat. Ia berusaha menempatkan dirinya pada posisi yang paling tepat dalam menghadapi persoalan tasawuf, antara kelompok yang menolak dan kelompok yang berlebihan menerimanya.
Syaikh Al Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, “La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas istilah).”
Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh Al Buthi berkata, “Jika tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi tasawuf. Namun jika yang kalian perangi adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-hatilah!”
Beliau juga sering mengulang-ulang perkataan ini, “Namailah sesuka kalian: tasawuf, tazkiyah, akhlak atau yang lainnya selama substansinya sama.”
Menurutnya istilah tidaklah sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam ceramahnya, “Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Athaillah, demi menjaga perasaan saudara-saudara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari Islam.”
Revolusi Musim Semi Arab
Pada saat prahara Revolusi Musim Semi Suriah 2011 hingga kini untuk menggulingkan pemerintahan Basyar Al Assad, secara mengejutkan ia mengambil sikap yang berseberangan dengan kelompok Islamis lainnya. Secara politis ia mendukung rezim Basyar Al Assad dan sekutunya Hizbullah Lebanon. Salah seorang murid beliau menjelaskan bahwa keputusan Syaikh Al Buthi tidak mendukung revolusi adalah karena ia tidak menyetujui cara-cara kekerasan atau perang yang dilakukan aktivis Islam dan mujahidin dari Ikhwanul Muslimin, Salafi, Al Qaidah, dan lainnya. Ia memandang bahwa revolusi berdarah memiliki mudharat yang lebih besar daripada menanggung kezhaliman rezim Basyar Al Assad.
Ia menyetujui perubahan rezim dan perbaikan pemerintahan Suriah yang dilakukan secara damai melalui reformasi dan bukan revolusi. Atas sikapnya tersebut ia mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan dan mendapat dukungan dari kalangan yang lain.
Kamis 22 Maret 2013 malam, seperti biasanya Syaikh Al Buthi mengisi kajian tafsir Al Quran pekanan di Masjid Al Iman, Mazra’a, Damaskus. Kajian ini dilaksanakan selepas shalat Maghrib. Namun, saat kajian berlangsung seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan bom di tengah-tengah majelis ilmu yang sedang diampunya.
Dalam kejadian tersebut Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi meninggal dunia bersama 42muridnya, sedangkan 84 lainnya mengalami luka-luka, termasuk cucu Syaikh Al Buthi.
Menanggapi kematian Syaikh Al Buthi, salah satu rekannya dalam dunia tasawuf, Al Habib Ali Al Jufri mengabarkan keadaan beliau sebelumnya, “Aku telah meneleponnya dua minggu lalu dan beliau (Syaikh Al Buthi) berkata pada akhir perkataannya: ‘Tidak tinggal lagi umur bagiku melainkan beberapa hari yang boleh dihitung. Sesungguhnya aku sedang mencium bau surga dari belakangnya. Jangan lupa, wahai Saudaraku, untuk mendoakanku.’”
Beberapa hari sebelum kewafatannya, beliau juga berkata, “Setiap apa yang berlaku padaku atau yang menuduhku atas ijtihadku, maka aku harap ia tidak terlepas dari ganjaran ijtihad.” Maksud Syaikh Al Buthi adalah bahwa dalam ijtihad yang betul mendapat dua ganjaran dan yang tidak mendapat satu ganjaran, sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Selain itu beredar kabar juga, bahwa Syaikh Al Buthi akhir-akhir ini mendoakan kehancuran rezim Syiah Nusairiyah yang dipimpin Basyar Al Assad, dan sedang dikawal ketat oleh pihak tentara.
Semoga Allah membalas segala kebaikan beliau dan mengampuni segala kesalahan beliau.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar