Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
Dialah
Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Makna
dan Penjelasan Ayat melalui sepenggal ayat 189 surat Al A’raaf tersebut di atas
Allah swt memberikan informasi bahwa Dia menjadikan manusia seluruhnya berasal
dari diri yang satu (nafsin wahidah), yaitu diri Nabi Adam as.
Informasi
dari Allah swt bahwa umat manusia seluruhnya berasal dari keturunan Nabi Adam
as terasa lebih menenteramkan dan memuaskan dari pada informasi yang
dikemukakan belakangan oleh Charles Darwin (1804-1872) dengan teori evolusinya
yang menyatakan umat manusia berasal dari sejenis makhluk yang disebut
anthropoides (kera). Diri manusia seluruhnya secara naluri akan mengingkari
informasi belakangan itu, tanpa harus susah-susah membatalkan teori itu dengan
dasar-dasar Islam.
Dari
diri Nabi Adam as, Allah swt lalu menciptakan isterinya, yaitu Ibu Hawwa’. Imam
Ibnu Katsir menyatakan bahwa ibu Hawwa’ diciptakan dari tulang rusuk sebelah
kiri Nabi Adam as saat beliau tengah tidur. Beliau lalu merasa cinta dan
tenteram denga ibu Hawwa’ dan begitu pula sebaliknya ibu Hawwa’ merasa cinta
dan tenteram dengan Nabi Adam as.
Dari
pertautan pasangan ini lahir dan tersebarlah umat manusia laki-laki dan
perempuan ke berbagai pelosok bumi lengkap dengan perbedaan kelompok, karakter,
warna kulit, bahasa, dialek, dsb. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada ayat
lain:
يَااَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا
وَنِسَاءً
وَنِسَاءً
Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S.
An Nisaa’: 1)
Inilah
sunnatullah, setiap manusia secara fithrah merasa cinta, tenteram, sayang,
senang, dan suka dengan lawan jenisnya. Laki-laki cenderung cinta dan tenteram
terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan cenderung cinta dan tenteram dengan
laki-laki.
Dalam
diri manusia terdapat naluri berkeinginan terhadap lawan jenis (gharizah nau’).
Jenis laki-laki dilengkapi dengan spermatozoa (sel kelamin jantan) sedang jenis
perempuan dilengkapi dengan ovum (sel telur betina) yang antara satu dengan
lainnya saling butuh-membutuhkan karena didorong oleh libido (naluri seksual)
yang merupakan instink terkuat dalam tubuh manusia. Naluri tersebut menuntut
pemenuhan, pelampiasan, dan pemuasan dengan hidup berumah tangga atau
berpasangan, utamanya bila ada stimulus (perangsang, pembangkit). Jika tidak,
maka manusia akan dilanda resah, gelisah, dan gangguan kejiwaan (psikosomatik)
yang bisa memicu tumbuhnya gangguan-gangguan fisik. Kita saksikan laki-laki
yang belum berumah tangga, ia tampak gundah gulana. Sebaliknya laki-laki yang
telah mendapatkan pasangan dia tampak lebih tenteram dan tenang. Allah swt
berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ اَنفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً اِنَّ فِي ذَلِكَ لاَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar
Ruum: 21)
Hidup
berpasangan ini memiliki sekian banyak fungsi. Namun di antara sekian banyak
fungsi itu ada dua fungsi yang penting, yaitu fungsi hidup berpasangan sebagai
rekreasi (mencari kesenangan dan ketenteraman) dan fungsi prokreasi (fungsi
menghasilkan keturunan) sebagai sarana melanjutkan populasi manusia dalam
kehidupan berumah tangga Allah swt menjanjikan mawaddah wa rahmah yang berarti
cinta yang tulus dan murni dari kedua belah pihak yang berpasangan. Cinta yang
tulus dan murni merupakan tiang penyangga tegaknya kehidupan berumah tangga
yang harus diusahakan. Dan karenanya tidak ada perpaduan dan pertautan yang
lebih kokoh daripada ikatan pernikahan. Firman Allah swt:
وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S.
An Nisaa’: 21)
Pertautan
hati antara dua pasangan berbeda jenis kelamin ini jauh lebih kuat daripada
sekadar ikatan anak dengan orangtua, ikatan antara guru dengan murid, ikatan
antara majikan dengan bawahan, dan ikatan-ikatan yang lain. Dua pasangan yang
hatinya dipertautkan itu bisa hidup serumah, sekamar, seranjang, bahkan satu
tubuh (satu badan). Apalagi dalam proses awalnya pertautan ini dirajut dengan
menggunakat kalimat Allah swt. Ini di dunia. Di akhirat, pertautan hati dua
pasangan demikian pula menjadi ikatan yang paling kokoh. Murid dengan guru
betapa pun kuat ikatannya di surga keduanya tidak akan berkumpul serumah,
seranjang, dan satu tubuh. Berbeda dengan ikatan pernikahan. Selama keduanya
pasangan yang sholeh dan masuk surga bersama-sama. Tidak ada keindahan melebihi
indahnya kedua pasangan suami isteri yang sama-sama masuk surga dan masuk surga
bersama-sama. Firman Allah swt:
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ
اَنْتُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ
Masuklah
kamu dan isteri-isterimu ke dalam surga, kamu sekalian akan diberikan nikmat
yang banyak (digembirakan). (Q.S. Az Zukhruf: 70)
Atas
dasar ini rumah tangga perlu terus dibina secara langgeng dan harmonis dunia
hingga akhirat. Dalam proses perjalanan pembinaan ini memang akan didapati
sekian banyak rintangan dan kendala. Ujian keluarga. Badai. Aral melintang.
Problematika kehidupan. Akan banyak ditemui hal-hal yang tidak disukai
kaitannya dengan watak maupun perilaku masing-masing. Wajar. Ibarat
piring-piring kaca yang ditata akan ada suara-suara benturan, namun dengan
penataan, piring-piring itu akan tampak rapi dan indah. Di sinilah perlunya
mensiasati problem rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Harus ada kesabaran dan
tahan derita (tahammul). Ada yang mengalah kalau perlu. Dan saling memaklumi
serta maaf-memaafkan.
Problem
rumah tangga tidak sepatutnya buru-buru diatasi dengan thalaq atau proses
perceraian lainnya. Ini bentuk kerugian karena berarti hubungan dan ikatan
terputus. Padahal di masa depan adakah yang lebih indah daripada pertautan hati
suami isteri dan pertautan hati itu berlanjut hingga di surga bersama-sama?!
Kalau setiap problem harus diatasi dengan perceraian, tentulah Nabi Luth as
lebih layak untuk menthalaq isterinya. Nyatanya itu tidak beliau lakukan. Allah
swt mengingatkan:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَاِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan
pergauli mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. An Nisaa’: 19)
Memang,
sering suami mendapati dari isterinya satu perangai buruk yang menjengkelkan,
misalnya cemburu buta dan mutungan (baca: mbegog). Namun perlu disadari bahwa
di balik satu perangai buruk itu ada sekian banyak perangai yang menjadikan
suami suka rela terhadap isterinya, seperti isteri suka membantu dan melayani
suaminya (khidmah) bahkan menghabiskan waktunya untuk itu. Mencuci. Memasak.
Menyeterika. Memijiti. Menyiapkan dan menghidangkan makanan atau sekedar teh
manis. Jasa yang luar biasa. Tak ternilai bila diukur dengan materi. Maka
Rasulullah saw memperingatkan para suami menyadari ini, tidak menstigmatisasi
perangai isteri seluruhnya buruk, dan tidak buru-buru mengatasinya dengan
thalaq. Sabda Rasulullah saw:
لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ
مُؤْمِنَةً ، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
Orang
beriman laki-laki (suami) tidak boleh membenci orang beriman perempuan
(isteri). Jika suami membenci satu perangai (buruk) dari isterinya, dia bisa
rela (suka, menerima, cinta) terhadap perangainya yang lain (yang baik). (H.R.
Muslim)
Isteri
demikian pula kadang mendapati pada diri suaminya sesuatu yang tidak disukainya
seperti membentak (berkata kasar) dan main tangan. Namun di balik itu patut
disadari bahwa ada tanggung jawab besar yang diberikan suami kepada isterinya.
Masing-masing pihak suami isteri sama-sama menyadari kekurangannya dan bersama
itu keduanya memadukan kelebihan masing-masing demi terbinanya keluarga yang
harmonis kini dan esok serta akan datang saat-saat terindah ketika keduanya
masuk surga bersama-sama.
Umar
bin Khattab adalah teladan dalam hal ini. Dia tipe laki-laki yang keras. Namun
di depan isterinya, dia sayang dan lemah lembut di satu sisi dan di sisi lain
dia sabar dan tahan derita karena mengingat jasa besar yang ditunaikan sang
isteri kepadanya. Suatu hari dia berkata: “Seorang suami di dalam keluarganya
selayaknya menjadi laksana anak-anak (lembut dan kasih sayang). Namun di
hadapan masyarakat ia keluar laksana orang dewasa (tokoh dan orang besar yang
berwibawa).” (Az Zawaj Al Islami Al Mubakkir, Ash Shabuni, 130)
Seseorang
mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar
dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasihati: “Sungguh jelek (niatmu).
Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Di mana taqwamu
dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu
sebagai sepasang suami-isteri telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”
Betatapun
demikian syara’ (hukum Islam) memberikan jalan keluar dari problem-problem
rumah tangga. Jika problem itu besar dan tidak dapat diatasi, disediakan jalan
keluar berupa misalnya thalaq. Tapi thalaq itupun seyogyanya dijatuhkan secara
bertahap mengingat ketergantungan yang sangat besar isteri terhadap suaminya.
Jika problem itu berupa nusyuz (durhaka) pertama-tama diperingatkan, tidak
diberikan nafkah, tidak tidur bersama, hingga dipukul dengan pukulan yang tidak
melukai.
Demikianlah Allah swt menyerukan kita menjalani kehidupan
berumah tangga secara harmonis, merawat cinta kasih, mawaddah wa rahmah, cocok,
serasi, selaras, sehati, dunia dan akhirat.[]
Al-Wasath
Al-Wasath
Oleh abina K.H. Ihya' ulumiddin
Pengasuh ma'had nurul haromain pujon
Pengasuh ma'had nurul haromain pujon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar