Sekarang ini kita dibuat takjub - seiring dengan kemajuan ilmu di era penemuan dan penciptaan - oleh sebagian orang yang mengingkari hal-hal yang bersifat aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian; bersifat aksioma). Mereka masih saja berkata bahwa bumi adalah bidang datar bukan bulat, mereka selalu mengklaim pendapat tersebut kepada agama. Padahal ulama-ulama kita yang terdahulu Rahimahumullah, telah menyatakan bahwa bumi adalah bulat dengan mengemukakan dalil-dalil ilmiah dan rasional, jauh sebelum para astronaut mengelilingi bumi pada masa sekarang ini.
Di antara dalil-dalil rasional yang bersifat aksiomatis, yang dijadikan argumentasi oleh para ulama terdahulu atas bulatnya bumi adalah ungkapan mereka “Seandainya bumi berbentuk datar dan rata, maka matahari pasti terbit di seluruh negeri dalam waktu yang sama dan juga terbenam dalam waktu yang sama pula, karena matahari jauh lebih besar berjuta-juta kali dari bumi”.
Menurut ahli astronomi ukuran Matahari adalah 330.330 kali lebih besar daripada Bumi, Pelanet yang kita singgahi ini dihadapan Matahari hanyalah ibarat sebuah titik. Seandainya Bumi ini berbentuk menghampar seperti permadani, maka dapat dipastikan matahari akan menyinari penduduk Indonesia, Malaysia, Baghdad, Kairo, Makah, Damaskus, dan penduduk Spanyol bahkan dunia dalam waktu yang sama, dan juga terbenam pada waktu yang sama pula. Lalu mengapa terjadi perbedaan terbit dan terbenamnya matahari yang kadang sampai 12 jam; dengan asumsi jika waktu terbit matahari di Indonesia atau Asia misalnya, adalah waktu terbenamnya matahari di Amerika atau Kanada, maka yang demikian itu merupakan bukti nyata atas bulatnya bumi. Bagaimana dengan pandangan para Ulama Islam, Ahli tafsir terkemuka di masa Islam.
PANDANGAN IBNU TAIMIYAH TENTANG BULATNYA BUMI
Syeikh Al Islam Ibnu Taimiyah lahir 661 H /1263 – 728 H / 1328 M. Dalam kitabnya Al-Fatawa, mengatakan: “ada kesamaan bulan dan tahun dengan hari dan minggu; hari secara alami ditentukan sejak terbitnya matahari hingga terbenam, sedangkan minggu adalah bersifat bilangan yang berpatokan pada enam hari dimana Allah telah menciptakan langit dan bumi di dalamnya. Sehingga terjadilah keseimbangan antara matahari dan bulan, hari dan minggu berdasarkan perjalanan matahari, sementara bulan dan tahun berdasarkan perjalanan bulan. Berdasarkan keduannya itu, sempurnalah hitungan hari”
Sementara menurut Al Alusi “Semuanya yang dipaparkan Al Qur’an telah diperkuat dengan serangkaian bukti dari ahli-ahli astronomi moder” dikutip dari syiehk Muhammad Mahmud Ash shawwaf, Al Muslimun wa ‘Ilmu Al-Falak, hal.44.
Menurut Syieh Ali Ash Shobuni dalam karyanya Harakat Al-Ardh wa Dauranuha, beliau mengatakan: “mengenai Pengertian (حُسْبَانًا) dalam firman Allah SWT:
وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا
“Dan (Allah) telah menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.” (Al An’am (06) : 96). Dan dalam ayat yang lain.
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (S. Arrahman (55) : 5)
Ada yang mengatakan dari “Al-Hisabu” ‘Matematis’, dan yang lain berpendapat dengan makna “Husbanu” ‘Perhitungan’ , sebagai mana perhitungan gerak dan putaran batu penghiling, yaitu peredaran lintasan benda-benda langit. Pendapat ini sudah tidak diperselisihkan lagi, karena memang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama telah bersepakat, bahwa berdasarkan hasil penelitian para pakar astronomi, bentuk pelanet bumi adalah bulat, bukan datar”.
Pada kesempatan lain dalam kitab Al-Fatawa: VI/586, Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bentuk langit dan bumi, “Apakah keduanya bulat?” Beliaunya menjawab, “Menurut para ilmuan muslim, bentuk langit adalah bulat, dan dikisahkan dari ijma’ umat Islam, bahwa yang mensetujui pendapat ini dari kalangan para ulama tidaklah sedikit, mereka itu seperti Ahmad bin Ja’far Al-Munadi; salah seorang ulama dari pengikut Imam Ahmad yang telah menulis sekitar 400 buku, Imam Ibnu Hazm dan Abu Al-Fajar bin Al-Jauzi. Mereka menguraikannya dengan dalil yang telah popular.” adalah firman Allah SWT.
كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.
“Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS. Al-anbiyaa’ (21): 33).
Masih dalam kitab Harakat Al-Ardh wa Dauranuha; Ibnu Abbas dan ulama salaf yang lain berkata: “Garis edar adalah seperti tempat pusaran alat pemintal. Ungkapan ini memperjelas, bahwa garis edar adalah berbentuk bulat dan berputar.
Adapun kata Falak “فلك” secara etimologis berarti; sesuatu yang bulat. Ada sebuah ungkapan:
تَفَلَّكَ ثَدْيُ الجاريَةِ إذاَ اسْتَدَارَ.
“Buah dada gadis itu akan disebut ‘Tafallaka’ bila mana telah membulat”
Demikian alat pemintal; disebut falakah “فلكة”, karena bentuknya bulat.”
Para Mufasir dan pakar bahasa telah sepakat bahwa pengertian Falak “فلك” adalah sesuatu yang bulat.
Adapun untuk mengetahui makna-makna dari kitab suci Al-Qur’an, senantiasa didasarkan pada dua cara sebagai berikut:
1. Dari ahli tafsir yang terpercaya dari ulama salaf.
2. Dari bahasa yang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut, yaitu bahasa arab.
Allah SWT telah berfirman:
يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ.
“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.” (QS. Azzumar (39) : 5)
Pengertian at-takwir “التكوير” adalah at-tadwir “التدوير” yaitu menjadikan bulat. Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab:
كَوَّرْتُ اْلعِمَامَةَ إذا دَوَّرَتْهَا.
“Surban (yang ada dikepala) akan dikatakan ‘kuwwirat’ bilamana berbentuk bulat”
Dan sesuatu yang melingkar atau bulat akan disebut kaaratun “كارة” dari kata kauratun “كورة”
PENDAPAT MUFASSIR AL-QUR’AN TENTANG BUMI YANG BULAT
Disini saya akan mencoba mengutip beberapa pendapat para ahli tafsir seputar bulatnya bumi, agar para pelajar kita, generasi penerus kita yang sedang mempelajari ilmu-ilmu modern mengetahui bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu modern dan agama:
Pertama: Imam Al-Baidhawi -Seorang mufassir dari kelompok mutaqaddimin, lahir kurun 13, wafat 1286 - menafsirkan firman Allah:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً
“Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap” (Q.S Al-Baqarah (02): 22)
Yakni, Bumi disediakan untuk manusia agar dapat duduk dan tidur di atasnya, seperti tikar yang terhampar. Hal ini tidaklah mengandung pengertian bahwa bentuk bumi itu menghampar walaupun bumi itu bundar (bulat), namun oleh karena fisiknya yang amat besar, hal ini tidak berarti bahwa ia tidak bisa digunakan untuk tempat duduk, tidur dan sebagainya. (وَالسَّمَاءَ بِنَاءً) Dan langit sebagai bangunan, Yakni atap yang tinggi dan berada jauh di atas bumi sebagaimana halnya keadaan kubah. (Tafsir Al-Baidhawi, Surah Al Baqarah :22)
Kedua: Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’d:
وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.” (Q.S Ar-Ra’d (13): 3)
Yakni, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya telah membentangkan bumi dan memanjangkan lagi luas, agar manusia dapat bertempat tinggal di atasnya. Seandainya seluruh bumi berupa jurang-jurang, bukit-bukit dan tidak ada tanah-tanah datar yang membentang, maka dapat dipastikan manusia tidak mungkin dapat hidup disana. Berkenaan dengan hal itu Ibnu Jazyi mengatakan dalam kitab tafsirnya; yang bernama At tashil Fi Ulum At Tanzil sebagai berikut, “Kata membentang , memanjang dan melingkar tidaklah menafikan akan bentuk bumi yang bulat, karena masing-masing bagian dari bumi memang datar, namun secara kesatuan bumi itu bulat” (Ibnu Jazyi Al Kalabi 1321 – 1357 ( 36 – 35) dalam At tashil Fi Ulum At Tanzil, II/130)
Ketiga: Imam Al Alusi saat mentafsirkan firman Allah SWT:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ بِسَاطًا
“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan”
Beliau mengungkapkan, “Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa bentuk bumi itu datar bukan bulat. Karena bola bumi yang sedemikian besar, menjadikan orang-orang yang berada di dalamnya akan melihat kondisi sekelilingnya datar terhampar. Sebenarnya keyakinan tentang bulat atau tidak bulatnya bentuk bumi, bukanlah merupakan suatu keharusan dalam syari’at Islam. Akan tetapi, bulatnya bentuk bumi telah menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya. Adapun maksudnya ‘Allah telah menjadikannya terhampar’ adalah; bahwa kamu semua dapat berhilir mudik di dalamnya sebagaimana engkau berhilir mudik di atas hamparan. (Al Alusi 10 Des 1802 - 29 july 1854., Tafsir Ruh Al Ma’ani, XXIX/76)
Perhatikanlah ulama kita terdahulu betapa ilmu dan pengetahuan mereka telah sedemikian luasnya, dan betapa pandangan serta pemahaman mereka telah sedemikian cemerlang, pada saat umat manusia belum ada yang mengetahui ilmu-ilmu alam, kecuali hanya sedikit saja. Semua itu tidak lain karena keluasan ilmu pengetahuan, wawasan serta cahaya nurani dan keikhlasan hati mereka. Adalah sangat mengherankan apa yang kami dengar bahwa separuh dari para pelajar, mengingkari sesuatu yang bisa dilihat dengan mata kepala serta menyangkal sesuatu yang sudah pasti dan telah menjadi kenyataan pada masa sekarang ini.
Allahu A’lam bis Shawab