Sekian banyak Allah swt
memberikan kasih sayang materi maupun nonmateri kepada kita. Salah satu diantara
kasih sayang non materi ialah dilebur dan dihapusnya dosa-dosa ( kecil ) yang
disebut “al lamam” cukup dengan melakukan amal sholeh, tanpa harus
bertaubat dan memohon ampunan. Rasulullah saw bersabda kepada Amr bin Ash yang hendak berbaiat
memeluk islam :
“Apakah kamu
tidak tahu sesungguhnya Islam menghapus dosa sebelumnya; hijrah menghapus dosa
sebelumnya; dan haji juga menghapus dosa sebelumnya?!” ( H.R.
MuslimI: 71)
Ada dua hal yang bisa digali
dari pengertian hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Pertama, seseorang bisa
diampuni dosanya tanpa harus bertaubat dan minta ampun manakala dia melakukan
amal sholeh. Amal sholeh artinya bisa menjadi sebab pengampunan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt:
“Sesungguhnya
pebuatan yang baik menghapuskan ( dosa ) perbuatan-perbuatan yang buruk. ( QS.Hud: 114 )
Kedua, bila seseorang
beramal sholeh dan meninggal dunia setelahnya maka hal itu cukup menjadi
indikasi dia mati dalam khusnul khotimah. Maka tidak diperlukan lagi baginya
keharusan meminta ampun dan memohon maaf.
Disinilah arti dan perlunya amal
sholeh. Ungkapan keimanan yang banyak dirangkai dengan amal sholeh dalam
Al-Qur’an menambah kepentingan dan keperluan itu. Atas dasar ini amal sholeh
seharusnya menjadi komitmen hidup kita sampai akhir hayat sehingga kita
mencapai husnul khotimah., bukan su’ul khotimah, apalagi mati dalam
keadaan kafir.
Komitmen beramal sholeh dengan
demikian menuntut terus dipelihara, dipupuk, dan dijaga lebih-lebih pada saat
kita lagi sehat dan sempat, tengah dikaruniai umur panjang, berjiwa muda, hidup
segar, cukup, aman, tentram dan sebagainya. Mumpung-mumpung. Sebab bisa saja
bencana ( musibah, fitnah) dan kendala yang tidak diingini datang menjadi
penghambat, pemutus bahkan perusak kita dalam melakukan amal sholeh. Sabda
Rasulullah saw :
“Bersegeralah
melakukan amal-amal ( sholeh) dalam rangka mengantisipasi tujuh keadaan.
Bukankah kamu tidak menunggu kecuali kefaqiran yang menjadikan lupa, atau kekayaan
yang membuat durhaka, atau sakit yang merusak, atau pikiran yang melemahkan
akal, atau kematian yang cepat, atau dajjal, maka dajjal adalah seburuk-buruk hal
ghaib yang ditunggu, atau hari Kiamat padahal hari kiamat itu lebih dahsyat dan
pahit”. ( H.R. Tirmidzi )
Hadits ini menyebut tujuh
kendala dan rintangan yang bisa menghambat dan merusak komitmen kita beramal
sholeh leluasa.
Pertama, kefaqiran yang melupakan.
Kefaqiran kerap membuat orang tidak ingat akan komitmet beramal sholeh
disebabkan pikiran kacau, keprihatinan mendalam, dan kosentrasi hidup ( sibuk)
mengejar sumber penghidupan. Kefaqiran sering melepas dan melalaikan banyak
orang dari iltizamat beramal sholeh tertentu
yang diseriusinya. Apalagi bila ditambah dengan beban tanggungan dan tekanan
hutang. Kebangkrutan mendadak menyebabkan komitmen beramal sholeh goyah. Kadang
bahkan sampai ketingkat merusak keimanan. Disebutkan dalam hadits dlaif:
“Hampir saja
kefaqiran itu ( berubah) menjadi kekufuran.”(HR Ahmad bin Mani’)
Kedua, kekayaan yang
membuat durhaka. Kekeyaan memang dominan memperpurukkan orang pada kedurhakaan.
Apalagi bila OKB ( orang kaya baru
). Hidup hedonis dan konsumtif ( menjadikan kenikmatan sebagai ukuran
kebahagiaan). Sibuk ( syughul) dengan perputaran modal sehingga komitmen
beramal sholehnya tidak diperhatikan. Waktunya habis mengurus kekayaan. Tsa’labah yang setelah menjadi kaya
enggan berzakat dan berjamaah bisa dijadikan ibrah dalam hal ini.
Ketiga, sakit yang
merusak. Keadaan sakit biasanya diikuti dengan keluhan dan kelemahan fisik.
Apalagi bila sakit itu menahun dan ada organ-organ tubuh yang tidak berfungsi
secara normal. Usaha berobat yang melelahkan banyak menyita waktunya. Keadaan
ini optimis menjadi hambatan secara leluasa.
Keempat, pikun yang
melemahkan akal. Pikun membuat daya pikir melemah, konsentrasi pecah, dan
fungsi akal berkurang. Otomatis dalam keadaan pikun aktivitas beramal sholeh
terhambat.
Kelima, kematian yang
cepat. Kematian membuyarkan harapan dan angan-angan. Hal ini banyak tidak
didasari bila kematian itu benar-benar tiba ( ilmul yaqin ). Dengan
kematian, amal sholeh menjadi putus. Sementara ajal kematian tidak memperhitungkan
umur. Banyak orang mati di usia muda dan mendadak.
Keenam, dajjal. Dia
dicipta khusus mampu menjelajah bumi dengan kekuatan yang luar biasa. Dia
menekan keimanan dan memberikan kekuasaan pada kekufuran. Komitmen beramal
sholeh tidak aman bahkan bisa hancur pada saat itu. Karenanya dia dinyatakan
sebagai hal ghaib terburuk yang di tunggu kedatangannya. Tidak ada Nabi kecuali
memperingatkan keberadaan dajjal ini kepada ummatnya. Dia klimak fitnah bagi
ummat manusia kecuali mereka yang dijaga oleh Allah swt seperti orang-orang
yang menetap Mekkah-Madinah atau melazimkan membaca sepuluh ayat pertama surat
Al Khafi.
Tidak menjumpai Dajjal pun belum
menjadi jaminan aman dalam beramal sholeh. Karena sebelum Dajjal turun, sekian banyak fitnah ( bencana
dan huru-hara) disinyalir merajalela di muka bumi oleh perilaku dajajilah
( dajjal-dajjal kecil) sebagai
pendahuluan. Saat itu kemungkaran mewabah. Persepsi-persepsi ( mafahim )
menyesatkan menggejala. Dan pada saat bersamaan muncul para penyeru keneraka
jahanam yang memakai dalih-dalih agama sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
saw kepada sahabat Hudzaifah Ibnu Yaman
:
“Para penyeru
kepintu-pintu neraka jahanam. Barang siapa menyambut seruan mereka, dia akan
terlempar kepintu jahanam itu”. (H.R.
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’I )
Ada dua kalangan yang diduga
kuat sebagai pemeran dajajilah, yaitu ulama
( suu’) dan umaro ( dzalim dan fasiq
). Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya
aku mengkhawatirkan atas ummatku ulah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.” (H.R. Tirmidzi)
Dugaan peranan dua kalangan ini
sebagai dajajilah dikuatkan dengan ungakapan Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar generasi Tabiin:
“Dan tidaklah
menodai agama kecuali raja-raja ( penguasa) dan para pendeta buruk serta para
birawannya ( ulama )”.
Keadaan mewabahnya fitnah inilah
yang diantisipasi oleh Rasulullah saw sejak dini dengan menyeru kita semua
terus konsis dalam komitmen beramal sholeh. Sabda beliau :
“Bersegeralah
melakukan amal-amal sholeh. Sebab akan ada fitnah datang laksana bagian-bagian
malam yang gelap gulita. Seseorang pagi-pagi mukmin sorenya kafir. Sore-sore
mukmin dan pagi-pagi kafir. Dia menjual agamanya dengan kekayaan dunia.” (H.R. Muslim)
Ketujuh, hari kiamat.
Hari akhir ini keberadaanya justru lebih dahsyat dan lebih mengerikan
dibandingkan dengan bencana dan rintangan dalam bentuk apa saja di dunia. Menunggu
beramal sholeh hingga kedatangannya tentu pemikiran konyol dan bernilai sangat
rendah.
Sebelum tiba tujuh kendala dan
rintangan tersebut idealnya semenjak
dini ada komitmen atau ikrar beramal sholeh secara sungguh-sungguh, giat,
semangat, dan serius. Senyampang masih diberikan umur panjang, kesehatan,
kesempatan, kekuatan, keamanan, ketentraman, dsb. Hal yang dikhawatirkan ialah
ketika ajal tiba sedang waktu itu kita kebetulan beramal tidak sholeh.
Menyesal. Pada hal sebagaimana disebutkan di muka amal sholeh bisa melebur dosa
dan melakukan menjelang ajal tiba cukup menjadi indikasi mati khusnul khotimah.
Peri kehidupan Sahabat Amr bin Ash, perawi pertama yang
meriwayatkan hadits dimuka kiranya dapat dijadikan renungan. Dia membagi
hidupnya tiga bagian. Petama, saat jahiliyah ketika ia
membenci Islam dan Rasulullah saw. Bila mati saat itu ia meyakini akan masuk
neraka. Kedua, saat masuk Islam dan dia berbaiat di hadapan Rasulullah
saw, berjuang dan membela agama. Dia optimis bila mati saat itu ia akan meraih
khusnul khotimah. Sementara ketiga, saat dia bergelut dengan
politik dan kekuasaan yang menjadikan komitmen beramal sholehnya tidak sebagus
tingkatan kedua. Dia ingkar, pesimis. “Maa
adri maa haali fiiha “ ( aku tidak tahu apa kondisi diriku), katanya. ( H.R. Muslim )
Sebagai renungan ada baiknya
kita perhatikan gubahan syair berikut ini:
Sesungguhnya Allah ta’alaa mempunyai hamba-hamba yang
cerdas.
Mereka mentalak dunia dan mencemasi berbagai fitnah (
agar tehindar darinya )
Mereka memperhatikan dunia itu.
Ketika menyadari dunia bukan tempat menetap bagi orang
hidup maka mereka menjadikan dunia bak lautan dan menjadikan amal sholeh di
dalamnya menjadi kapal.
Wallohu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar