TANGGUNG JAWAB TUGAS
Oleh: Abina Muhammad Ihya’ Ulumiddin
Pada dasarnya,
manusia mempunyai dua tugas. Tugas pertama tugas dunia dan tugas kedua tugas
akhirat. Dalam menjalankan kedua tugas itu, Alloh telah memberikan ketentuan.
Bila tugas itu bersifat dunia maka kita mengejarnya dengan “ wala tansa “ (
tidak mesti ngoyo ). Berbeda dengan tugas akhirat, maka kita harus berupaya
menjalankannya secara maksimal, disertai keseriusan, sungguh-sungguh (
mujahadah ) dan penuh tanggung jawab . Tanpa keseriusan dan tanggung jawab,
tugas akhirat sulit berhasil dikerjakan. Dan barang kali karena ketidak
seriusan kita, Alloh pun memandang tidak serius kepada kita. Sehingga sulit
bagi kita mencari jalan kemudahan ( solusi ) ketika kita dihadapkan pada
problem-problem yang sulit dipecahkan.
Karena tugas
akhirat merupakan tugas yang besar, maka tanggung jawab yang dibutuhkan makin
besar pula. Dan kita tidak perlu menghidar dari tugas, karena hidup adalah
tempat bertugas bukan tempat menikmati hasil. Siapapun kita akan dimintai
laporan pertanggung jawaban atas tugas-tugasny, Nabi shollallohu alaihi
wasallam bersabda :
“Tiap-tiap kamu adalah pengembala ( orang yang bertugas ) dan akan
di mintai pertanggung jawaban atas gembalaannya ( tugasnya “) . (HR. Muslim )
Hal ini berdasarkan
firmanNya dalam Al-Qashas : 77,
“Dan carilah apa
yang telah dianugrahkan Alloh kepadamu berupa tugas negeri akhirat, dan
jaganlah kamu melupakan bagianmu dari tugas dunia”.
Nabi juga
bersabda :
“Berkerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk
akhiratmu, seakan-akan kamu mati esok. “(HR.
Tirmidzi)
Tanggung jawab
kita pada tugas bisa dibuktikan melalui kesungguhan kita, melalui pengorbanan
dan melaui keikhlasan. Tugas tidak akan berhasil tanpa kita harus
mengerjakannya dengan mujahadah ( sungguh-sungguh ). Siap berkorban untuk
tugas, baik dengan dana , waktu, tenaga maupun pikiran. Tanpa pengorbanan,
tanggung jawab kita belum bisa disebut
sebagai suatu perjuangan. Dalam melakukan tugas, diperlukan pula keikhlasan,
tanpa keikhlasan tugas tidak akan menjadi tugas sebenarnya, tetapi berubah
menjadi ajang unjuk kebolehan, popularitas pribadi dan ajang mencari kesenangan
dunia yang lain. Kita tidak meniru Yahudi dan Nasrani yang pernah dikabarkan
dalam Al-Qur`an.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untu tunduk
hati mereka mengingat Alloh dan kepada kebenaran yang telah turun. Janganlah
mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang, lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasiq “ QS Al-Hadid : 16
Kebanyakan
mereka disebut fasiq, karena mereka “bermain-main” dengan tugas. Tidak
beranggung jawab. Mereka mewajibkan dirinya membuat-buat kebijakan yang
tujuannya untuk mencari keridhoan Alloh, seperti tidak makan, tidak beristri ( rahbaniyah )
dan lain-lain, yang sebetulnya yang tidak diwajibkan oleh Alloh. Tetapi tugas
yang mereka ada-adakan sendiri itu tidak di jalankan sebagai mana mestinya.
Mereka ingkar pada ketetapannya sendiri. Padahal tugas adalah amanah. Al-Qur`an
menyebutnya :
“Lalu, mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharan yang semestinya”.
(QS. Al-Hadid : 27 )
Ketika kita
mengharuskan diri mengamalkan suatu amalan, maka seharusnya amalan itu kita
laksanakan dengan sempurna. Bila suatu hari kita meninggalkannya karena suatu
udzur, maka kita mengqodlo’nya di lain
waktu. Ijazah-ijazah yang kita terima dari seorang guru kita usahakan bias mengamalkan. Tidak bagus, bila
dihadapan guru kita kelihatan siap mengamalkan, tetapui sepulangnya, kita
kosong amal. Saat kita ada guru kita berucap “ Sami`na wa atho`na”, tetapi bila guru telah kembali, ucapan yang kita keluarkan adalah” sami`na wa`ashoina.”
Kita tidak di perkenankana Alloh meniru
wanita dungu dari Makkah yang bernama Rithoh
binti Sa’ad bin Zaid bin Manat bin Tamim.Ia yang telah bersusah payah
memintal benang sejak pagi sampai sore.Tetapi ketika jadi,pintalan benang itu
ia cerai beraikan kembali.Semata-mata karena kedunguannya,sehingga perbuatan
itu ialakukan setiap hari.Alquran menggambarkan:
“Janganlah kamu seperti seorang peempuan yang menguraikan benangnya
yang sudah dipintal dengan kuat,menjadi cerai berai kembali”.(QS.An-Nahl: 9)
Ayat itu memberikan pelajaran kepada kita:
Secara Khusus
Jangan sampai kita berbuat kebaikan,tetapi
pada sisi yang lain kita tidak menjaga konsekwensi dari kebaikan
itu.Misalnya,kita senantiasa mengeluarkan shodaqoh,tetapi kita tidak menjaga
lisan.Ucapan kita masih sering mengungkit-ungkit pemberian itu.Kita selalu
berdzikir menggunakan lafadz-lafadz suci misalnya,tetapi dari lisan kita tidak
jarang keluar ucapan yang menyakitkan orang lain.
Contoh lainnya,kita berikrar untuk selalu
sholat berjamaah,membaca AlQuran,Qiyamullail,membaca wirid-wirid serta
menghadiri majelis Taushiyah dan Tansiq.Tapi kebaikan itu hanya berupa
ikrar,tidak pernah kita jalankan.Kita tidak beriltizam pada sesuatu yang sebetulnya
kita sendiri dengan sadar telah menetapkannya.
Secara Umum
Jangan samp[ai kita merobohkan bangunan
(baca: kejama’ahan) yang dulu didirikan dengan (…) besar dan kerja keras.Suatu
kesalahan fatal bila kita ikut terlibat menghancurkan sebuah tatanan,apalagi
tatanan itu bertujuan Dakwah Ilalloh (Akhirat).Untuk itu tanggung jawab setelah
ikrar adalah merawat,menjaga dan mengembangkan bangunan itu,tidak malah
meruntuhkannya.Dengan cara menghindari,antara lain:
A.Tafriqul Qulub
Tafriqul
Qulub (perpecahan hati) dan wahnuddin (lemahnya spiritualitas) harus dijauhi.Sebisa mungkin
menerapkan Ta’liful Qulub (Pertautan hati) sesama anggota,dengan jalan praduga
tak bersalah (husnudzdzon),tidak hasud,menghindari ikhtilaf (perbedaan) yang
menjurus kepada mukholafah (perpecahan)menjauhi mujadalah (perdebatan) yang
tidak ada ujungnya dan saling mendoakan.
B. Ifsyaus Sirr
Jangan sampai membongkar rahasia
jama’ah.Karakter munafik yang selalu tajassus
(meneliti) kesalahan dan kemudian mengeksponya untuk menjatuhkan kelompok tertentu,harus
dijauhi.Disamping itu pula jangan membiarkan diri di interogasi orang lain.Kita
harus menjaga amniyah (security) dari
hal-hal yang tidak kita inginkan.
C. Ightiror bil jama’ah
Jangan sampai terhinggapi ightiror bil
jama’ah (terbuai dengan kelompoknya).Anggota yang banyak,kemajuan yang dicapai
dan kemudahan yang diberikan oleh Alloh belum menjadi jaminan keberhasilan.Kita
menjadikan jama’ah sebagai wasilah (sarana) berdakwah,bukan ghoyah
(puncak).Karena itu,kita tidak harus bersifat eksklusif,dengan menyalahkan
kelompok ini dan itu.Ukhuwah harus kita bina dengan prinsip Husnudzdzon bil Muslimin (berbaik
sangkan sesama ummat).
Semua itu adalah tugas,yang tidak lain
adalah amanah yang semestinya dijalankan.Butuh kesiapan mental berupa
keseriusan,kerelaan,pengorbanan dan tanggung jawab.Bila kita siap berikrar maka
harus siap pula menerima konsekwensinya.Karena itu berazamlah dalam
bertugas,dan bertawakkallah kepada Alloh sekaligus berusaha semaksimal mungkin
untuk menjalankan konsekwensinya dalam rangka tugas.