Translate

Jumat, 06 Februari 2015

KEBIJAKAN POLITIK & KAITANNYA DENGAN SHOLAT,SYAHWAT DAN RIZKI






Firman Alloh Suhanahu Wata’ala:
“Maka datanglah sesudah mereka,kholfun (sosok generasi pengganti yang buruk) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan syahwatnya,maka kelak mereka akan menemui ghayyi (keburukan atau lembah di neraka)”.(QS Maryam: 59)
Proses peralihan kepemimpinan dari generasi satu ke generasi berikutnya di kalangan ummat Islam biasanya diikuti dengan pergeseran nilai.Contohnya peralihan kepemimpinan dari Nabi Musa as kepada Nabi Harun as.Pergantian kepemimpinan dari Rosululloh saw kepada para Sahabat.Dan proses peralihan kepemimpinan lainnya dari masa ke masa.Sampai akhirnya pergeseran nilai itu di tandai,salah satunya,dengan munculnya kholfun (sosok generasi yang buruk,lawan dari kholafun,generai penerus yang baik).
Ayat tersebut menggambarkan secara jelas dua perangai dari sosok generasi yang buruk itu.Pertama,menyia-nyiakan sholat (idlo’atus sholah).Menyia-nyiakan sholat bisa jadi maksudnya ialah tidak melaksnakan sholat sama sekali atau melaksanakannya namun diluar waktu yang di tentukan.Menyia-nyiakan sholat bisa berarti mengabaikan sisi ruhiyah (hakikat bathiniyah) sholat sebagai sarana komunikasi dengan Alloh agar terbentuk kepribadian yang terdidik dalam menghindari perilaku menyeleweng,dzalim,dan sifat buruk lainnya.
Pelaksanaan sholat masih sering dipandang,Cuma memenuhi beban kewajiban,belum sampai ketahap kesadaran,apalagi sebagai sebuah kebutuhan.
Ajaran yang menjadi tiang penegak agama ini jika sudah diabaikan berakibat ajaran-ajaran yang lain akan lebih diabaikan lagi.
Kedua,sebagai efek dari menyia-nyiakan sholat,generasi buruk itu selalu memperturutkan syahwat.Apakah itu syahwat al jaah atau ar riaasah (jabatan,kekuasaan),syahwat al maal (harta benda) syahwat al mar’ah (lawan jenis),syahwat al atbaa’ (banyak pengikut),dan sebagainya.
Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa bermula dari syahwat perut (syahwat al bathn) akan timbul syahwat al farj (syahwat berhubungan dengan lawan jenis) dan syahwat al maal.Berikutnya dari syahwat al farj dan syahwat al maal akan memicu munculnya syahwat lanjutan,yaitu syahwat al jaah atau syahwat ar riaasah. (Minhajul Qosidin 153 dan 199)
Akan dominasinya syahwat harta dan jabatan,Rosululloh saw bersabda:
“Dua serigala lapar yang dilepas di kandang domba tidaklah merusak mangsa itu melebihi ketamakan seseorang atas harta dan jabatan dalam merusak agamanya.”(HR,Tirmidzi)
Sementara tentang dominasinya syahwat al farj,diriwayatkan:
“Aku tidak meninggalkan fitnah bagi kaum laki-laki setelah wafatku yang lebih berbahaya dari pada wanita”.(HR.Bukhori Muslim)
Kaitannya dengan kholfun (generasi buruk),para pemimpin muslim di setiap masa yang meneruskan kepemimpinan sebelumnya,kebanyakan selalu berkecenderungan mengejar syahwat- syahwat duniawi itu.Sedang sholatnya tidak lagi menjiwai hati nurani sehingga kuasa membatasi syahwat tersebut.Ibadah yang menjadi tolok ukur amal itu justru seakan-akan menjadi kegiatan upacara belaka.Hambar.Tidak ada makna ruhiyah.Jika tidak sholat sama sekali.
Atas nama dakwah agama mereka merengkuh simpati rakyat demi kekuasaan.Ketika berkuasa dan kena ‘pangku”,mereka memilih diam dan hidup tarof (bermewah-mewahan).Serakah.Menuntut fasilitas lebih dari apa yang dibutuhkan.Mengesampingkan misi utamanya,yaitu berpolitik demi dakwah.
Ketika kepentingan syahwat duniawi ini dominan,maka efeknya di angkatlah bithonah yang dirasa dapat melindungi lestarinya kepentingan syahwat itu terlepas dari layak atau tidaknya.Efek berikutnya,rakyat yang semestinya di ayomi dijadikan rival (musuh),bukan sebgai mitra bahkan di bodohi,padahal lazimnya pemimpin adalah abdi (khadim) yang dituntut melayani rakyat.
Sikap seperti ini pernah dijalankan oleh Fir’aun.Firman ALloh swt:
“Fir’aun memandang rendah kaumnya (dengan pengaruh kata-kata),lalu mereka tunduk patuh kepadanya.”(QS Az Zukhruf: 54)
Ketika pejabat cenderung rakus harta dan tahta,maka lahirlah gejala korupsi dan penggelapan dimana-mana di samping pertentangan dan percekcokan yang tidak selesai-selesai.Akibatnya terjadilah krisis multidimensi yang tidak kunjung mampu diatasi sebagai peringatan di dunia.Sementara di akhirat tentu ada yang lebih pedih.Dari sini rasanya sulit muncul Negara adil nan makmur disebabkan keberkahan saat itu telah dicabut sebagai efek kedzaliman dan kekufuran.Sebagai mana kelanjutan ayat:
“Kelak mereka akan menemui keburukan (di dunia dan akhirat)”.(QS.Maryam 59)
Fenomena perpolitikan Indonesia saat ini rasanya terdapat benang merah dengan konteks ayat di muka.Pasca peralihan kepemimpinan,muncul generasi penerus yang pada satu sisi mengabaikan ideologi tauhid yang tercermin dari ibadah sholatnya.Ajaran yang menuntun tegas dalam bersikap,teguh prinsip,dan pantang menyerah itu terabaikan.Pada sisi yang lain generasi yang diharapkan berlaku lurus untuk kepentingan ummat tersebut justru memperturutkan syahwat.
Kerap disuguhkan pada kita sandiwara politik,permainan politik pat-gulipat (petak umpet,sembunyi-sembunyi),politik zig zag (berbelok-belok),dan politickling (jegal menjegal) yang disebut dengan mukhoda’ah,atas nama persetujuan damai,rekonsiliasi,toleransi,kompromi (jalan tengah),hasil runding,dan lainnya atau yang disebut dengan musaalamah.Padahal apa yang kebanyakan dilakukan justru oleh duta-duta partai berbasis massa muslim ini seluruhnya tersirat disitu nuansa ketidakjujuran,tidak konsisten,oportunis (Cuma cari untung),dan mengejar kepentingan sesaat dalam aktifitas dakwah dan perjuangan.
Dalam sidang MPR 1978 (hasil pemilu 1977) kala membicarakan P4,fraksi PPP walk out (keluar meninggalkan sidang) di pimpin tokoh NU,yaitu KH Bisri Syamsuri Jombang.(Dosa-dosa  politik,KH Firdaus AN).Dan teguh memegang prinsip dengan sikap pentang menyerah ini rasanya belum kita jumpai saat ini.Kecuali pantang menyerah dalam persoalan yang bukan prinsip  ideologis seperti fanatisme golongan.
Apa yang dilakukan oleh para pemimpin muslim itu rasanya berbeda dengan kebijakan politik yang dijalankan oleh Rosululloh saw.Kebijakan politik beliau penuh dengan hikmah.Hikmah tidak sama dengan mukhoda’ah dan musaalamah karena hikmah diikat erat dengan ideologi yang prinsip,yaitu aqidah Islamiyah.
Pada peristiwa siyasah Mufawadloh (perundingan dan bujuk rayu) misalnya,tokoh-tokoh kafir Quraisy menawarkan pada beliau jabatan,harta benda,wanita dan tabib,ternyata beliau menolak.Beliau justru maju terus pantang mundur di dalam aktifitas dakwah.Mungkin bisa saja beliau menerima tawaran itu agar dengan kekuasan dakwah terangkat,dengan harta dakwah terjamin,dan sebagainya,asal misi dakwah tetap.Namun kebijakan itu tidak beliau lakukan karena yang tersirat disitu bukan hikmah,tetapi kalau tidak musaalamah maka mukhoda’ah yang keduanya menafikan prinsip dan esensi dakwah.
Seandainya tergoda atau paling tidak tercapai kompromi dan toleransi dengan tawaran menggiurkan itu,niscaya luntur keagungan dakwah yang diemban.Tawaran yang disampaikan oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy dan tawaran-tawaran semacam itu hakikatnya adalah tawaran-tawaran yang semu dan palsu (fatamorgana),karena hal itu justru dimaksudkan sebagai rekayasa untuk mematikan dakwah.(Fiqhus siroh,Dr.Said Romadlon al-Buthi.115)
Dalam sejarah pernah terjadi musaalamah dan mukhoda’ah pada tanggal 18 agustus 1945 yang mengkibatkan kita kehilangan kesempatan yang baik,ketika Soekarno berkata dengan janji-janji:”nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram,kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna.”Piagam Jakarta,48.Endang Saifuddin anshari).Dengan rayuan itu kita rela melepas Piagam Jakarta.
Hal-hal diatas agaknya terkait dengan problem rizki dalam maknanya yang luas.Kebanyakan diantara kita hendak meraih rizki sebanyak-banyaknya,dengan segala cara kalau perlu.Sementara rizki masing-masing telah ditakar dengan ukurannya sendiri-sendiri.Sebagian dijadikan maqdur (sempit),sebagian yang lain mabsuth (luas),dan sebagian yang lain dijadikan makfuf (cukup).Hanya saja,apakah takaran masing-masing itu diterima dengan jiwa besar,lapang dada dan lega hati yang menghantarkannya diberkahi atau justru diterima dan diambil dengan tamak,rakus,serakah,dan berlebih-lebihan yang mengakibatkan tidak diberkahi.Dengan tanpa menafikan aspek kerja yang wajar,apapun,rizki yang baik adalah rizki yang berkah (cukup).Sabda Rosululloh saw:
“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam,diberikan rizki yang cukup (kafaf) serta dijadikan menerima oleh Alloh swt terhadap apa yang diberikan-Nya”.(HR.Muslim)
Jalan mencari rizki yang berkah,salah satunya ialah dengan memfokuskan terus perhatian hidup pada dakwah sebagai aktifitas yang mulia.Dengan dakwah yang optimal persoalan rizki insyaAlloh tercukupi,asal jiwanya pas,walaupun tentu saja harus melalui proses yang boleh jadi berangsur-angsur.Dan untuk mendapatkan jalan keluar manakala dilanda kesusahan (rizki sempit),bisa bersegera memanfaatkan sarana doa dan sholat untuk taqorrub kepada-Nya.(Usul at Tarbiyah an Nabawiyah,53.Abuya Muhammad Alawy al Maliki)
Diriwayatkan dalam hadis:
“Barang siapa pagi-pagi dan akhirat menjadi perhatian besarnya,maka Alloh mengumpulkan kebutuhan umumnya,menjadikan kekayaan dihatinya,dan dunia datang kepadanya dengan memaksa-maksa.Sedang barang siapa pagi-pagi dunia menjadi perhatian terbesarnya,maka Alloh mengkocar-kacirkan hartanya,menjadikan kekikiran di depan matanya,dan dunia tidak datang kecuali yang telah ditentukan baginya.”(HR.Tirmidzi)

Wallohu a’lam

Tidak ada komentar: