Firman Alloh Suhanahu Wata’ala:
“Maka datanglah
sesudah mereka,kholfun (sosok generasi pengganti yang buruk) yang
menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan syahwatnya,maka kelak mereka akan
menemui ghayyi (keburukan atau lembah di neraka)”.(QS Maryam: 59)
Proses peralihan kepemimpinan dari generasi satu ke generasi
berikutnya di kalangan ummat Islam biasanya diikuti dengan pergeseran
nilai.Contohnya peralihan kepemimpinan dari Nabi Musa as kepada Nabi Harun
as.Pergantian kepemimpinan dari Rosululloh saw kepada para Sahabat.Dan proses
peralihan kepemimpinan lainnya dari masa ke masa.Sampai akhirnya pergeseran
nilai itu di tandai,salah satunya,dengan munculnya kholfun (sosok
generasi yang buruk,lawan dari kholafun,generai penerus yang baik).
Ayat tersebut menggambarkan secara jelas dua perangai dari sosok
generasi yang buruk itu.Pertama,menyia-nyiakan sholat (idlo’atus sholah).Menyia-nyiakan
sholat bisa jadi maksudnya ialah tidak melaksnakan sholat sama sekali atau
melaksanakannya namun diluar waktu yang di tentukan.Menyia-nyiakan sholat bisa
berarti mengabaikan sisi ruhiyah (hakikat bathiniyah) sholat sebagai
sarana komunikasi dengan Alloh agar terbentuk kepribadian yang terdidik dalam
menghindari perilaku menyeleweng,dzalim,dan sifat buruk lainnya.
Pelaksanaan sholat masih sering dipandang,Cuma memenuhi beban
kewajiban,belum sampai ketahap kesadaran,apalagi sebagai sebuah kebutuhan.
Ajaran yang menjadi tiang penegak agama ini jika sudah diabaikan
berakibat ajaran-ajaran yang lain akan lebih diabaikan lagi.
Kedua,sebagai efek dari menyia-nyiakan sholat,generasi buruk itu
selalu memperturutkan syahwat.Apakah itu syahwat al jaah atau ar riaasah
(jabatan,kekuasaan),syahwat al maal (harta benda) syahwat al mar’ah
(lawan jenis),syahwat al atbaa’ (banyak pengikut),dan sebagainya.
Imam Ibnu
Qudamah mengatakan bahwa bermula dari syahwat perut (syahwat al bathn)
akan timbul syahwat al farj (syahwat berhubungan dengan lawan jenis) dan
syahwat al maal.Berikutnya dari syahwat al farj dan syahwat al
maal akan memicu munculnya syahwat lanjutan,yaitu syahwat al jaah
atau syahwat ar riaasah. (Minhajul Qosidin 153 dan 199)
Akan dominasinya syahwat harta dan jabatan,Rosululloh saw bersabda:
“Dua serigala
lapar yang dilepas di kandang domba tidaklah merusak mangsa itu melebihi
ketamakan seseorang atas harta dan jabatan dalam merusak agamanya.”(HR,Tirmidzi)
Sementara tentang dominasinya syahwat al farj,diriwayatkan:
“Aku tidak
meninggalkan fitnah bagi kaum laki-laki setelah wafatku yang lebih berbahaya
dari pada wanita”.(HR.Bukhori Muslim)
Kaitannya dengan kholfun (generasi buruk),para pemimpin
muslim di setiap masa yang meneruskan kepemimpinan sebelumnya,kebanyakan selalu
berkecenderungan mengejar syahwat- syahwat duniawi itu.Sedang sholatnya tidak
lagi menjiwai hati nurani sehingga kuasa membatasi syahwat tersebut.Ibadah yang
menjadi tolok ukur amal itu justru seakan-akan menjadi kegiatan upacara
belaka.Hambar.Tidak ada makna ruhiyah.Jika tidak sholat sama sekali.
Atas nama dakwah agama mereka merengkuh simpati rakyat demi
kekuasaan.Ketika berkuasa dan kena ‘pangku”,mereka memilih diam dan hidup tarof
(bermewah-mewahan).Serakah.Menuntut fasilitas lebih dari apa yang dibutuhkan.Mengesampingkan
misi utamanya,yaitu berpolitik demi dakwah.
Ketika kepentingan syahwat duniawi ini dominan,maka efeknya di
angkatlah bithonah yang dirasa dapat melindungi lestarinya kepentingan
syahwat itu terlepas dari layak atau tidaknya.Efek berikutnya,rakyat yang semestinya
di ayomi dijadikan rival (musuh),bukan sebgai mitra bahkan di bodohi,padahal lazimnya
pemimpin adalah abdi (khadim) yang dituntut melayani rakyat.
Sikap seperti ini pernah dijalankan oleh Fir’aun.Firman ALloh swt:
“Fir’aun
memandang rendah kaumnya (dengan pengaruh kata-kata),lalu mereka tunduk patuh
kepadanya.”(QS Az Zukhruf: 54)
Ketika pejabat cenderung rakus harta dan tahta,maka lahirlah gejala
korupsi dan penggelapan dimana-mana di samping pertentangan dan percekcokan
yang tidak selesai-selesai.Akibatnya terjadilah krisis multidimensi yang tidak
kunjung mampu diatasi sebagai peringatan di dunia.Sementara di akhirat tentu
ada yang lebih pedih.Dari sini rasanya sulit muncul Negara adil nan makmur
disebabkan keberkahan saat itu telah dicabut sebagai efek kedzaliman dan
kekufuran.Sebagai mana kelanjutan ayat:
“Kelak mereka
akan menemui keburukan (di dunia dan akhirat)”.(QS.Maryam 59)
Fenomena perpolitikan Indonesia saat ini rasanya terdapat benang
merah dengan konteks ayat di muka.Pasca peralihan kepemimpinan,muncul generasi penerus
yang pada satu sisi mengabaikan ideologi tauhid yang tercermin dari ibadah
sholatnya.Ajaran yang menuntun tegas dalam bersikap,teguh prinsip,dan pantang
menyerah itu terabaikan.Pada sisi yang lain generasi yang diharapkan berlaku
lurus untuk kepentingan ummat tersebut justru memperturutkan syahwat.
Kerap disuguhkan pada kita sandiwara politik,permainan politik
pat-gulipat (petak umpet,sembunyi-sembunyi),politik zig zag
(berbelok-belok),dan politickling (jegal menjegal) yang disebut dengan mukhoda’ah,atas
nama persetujuan damai,rekonsiliasi,toleransi,kompromi (jalan tengah),hasil
runding,dan lainnya atau yang disebut dengan musaalamah.Padahal
apa yang kebanyakan dilakukan justru oleh duta-duta partai berbasis massa
muslim ini seluruhnya tersirat disitu nuansa ketidakjujuran,tidak konsisten,oportunis
(Cuma cari untung),dan mengejar kepentingan sesaat dalam aktifitas dakwah dan
perjuangan.
Dalam sidang MPR 1978 (hasil pemilu
1977) kala membicarakan P4,fraksi PPP walk out (keluar meninggalkan sidang) di
pimpin tokoh NU,yaitu KH Bisri Syamsuri Jombang.(Dosa-dosa politik,KH Firdaus AN).Dan teguh memegang
prinsip dengan sikap pentang menyerah ini rasanya belum kita jumpai saat
ini.Kecuali pantang menyerah dalam persoalan yang bukan prinsip ideologis seperti fanatisme golongan.
Apa yang
dilakukan oleh para pemimpin muslim itu rasanya berbeda dengan kebijakan
politik yang dijalankan oleh Rosululloh saw.Kebijakan politik beliau penuh
dengan hikmah.Hikmah tidak sama dengan mukhoda’ah dan musaalamah
karena hikmah diikat erat dengan ideologi yang prinsip,yaitu aqidah
Islamiyah.
Pada peristiwa siyasah Mufawadloh (perundingan dan bujuk
rayu) misalnya,tokoh-tokoh kafir Quraisy menawarkan pada beliau jabatan,harta
benda,wanita dan tabib,ternyata beliau menolak.Beliau justru maju terus pantang
mundur di dalam aktifitas dakwah.Mungkin bisa saja beliau menerima tawaran itu
agar dengan kekuasan dakwah terangkat,dengan harta dakwah terjamin,dan sebagainya,asal
misi dakwah tetap.Namun kebijakan itu tidak beliau lakukan karena yang tersirat
disitu bukan hikmah,tetapi kalau tidak musaalamah maka mukhoda’ah
yang keduanya menafikan prinsip dan esensi dakwah.
Seandainya tergoda atau paling tidak tercapai kompromi dan toleransi
dengan tawaran menggiurkan itu,niscaya luntur keagungan dakwah yang
diemban.Tawaran yang disampaikan oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy dan
tawaran-tawaran semacam itu hakikatnya adalah tawaran-tawaran yang semu dan
palsu (fatamorgana),karena hal itu justru dimaksudkan sebagai rekayasa untuk mematikan
dakwah.(Fiqhus siroh,Dr.Said Romadlon al-Buthi.115)
Dalam sejarah pernah terjadi musaalamah dan mukhoda’ah
pada tanggal 18 agustus 1945 yang mengkibatkan kita kehilangan kesempatan yang
baik,ketika Soekarno berkata dengan janji-janji:”nanti kalau kita telah bernegara
dalam suasana yang lebih tenteram,kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan
sempurna.”Piagam Jakarta,48.Endang Saifuddin anshari).Dengan rayuan
itu kita rela melepas Piagam Jakarta.
Hal-hal diatas agaknya terkait dengan problem rizki dalam maknanya
yang luas.Kebanyakan diantara kita hendak meraih rizki
sebanyak-banyaknya,dengan segala cara kalau perlu.Sementara rizki masing-masing
telah ditakar dengan ukurannya sendiri-sendiri.Sebagian dijadikan maqdur
(sempit),sebagian yang lain mabsuth (luas),dan sebagian yang lain
dijadikan makfuf (cukup).Hanya saja,apakah takaran masing-masing itu
diterima dengan jiwa besar,lapang dada dan lega hati yang menghantarkannya diberkahi
atau justru diterima dan diambil dengan tamak,rakus,serakah,dan
berlebih-lebihan yang mengakibatkan tidak diberkahi.Dengan tanpa menafikan
aspek kerja yang wajar,apapun,rizki yang baik adalah rizki yang berkah
(cukup).Sabda Rosululloh saw:
“Sungguh
beruntung orang yang memeluk Islam,diberikan rizki yang cukup (kafaf) serta
dijadikan menerima oleh Alloh swt terhadap apa yang diberikan-Nya”.(HR.Muslim)
Jalan mencari rizki yang berkah,salah satunya ialah dengan
memfokuskan terus perhatian hidup pada dakwah sebagai aktifitas yang
mulia.Dengan dakwah yang optimal persoalan rizki insyaAlloh tercukupi,asal
jiwanya pas,walaupun tentu saja harus melalui proses yang boleh jadi
berangsur-angsur.Dan untuk mendapatkan jalan keluar manakala dilanda kesusahan
(rizki sempit),bisa bersegera memanfaatkan sarana doa dan sholat untuk taqorrub
kepada-Nya.(Usul at Tarbiyah an Nabawiyah,53.Abuya Muhammad Alawy al Maliki)
Diriwayatkan dalam hadis:
“Barang siapa
pagi-pagi dan akhirat menjadi perhatian besarnya,maka Alloh mengumpulkan
kebutuhan umumnya,menjadikan kekayaan dihatinya,dan dunia datang kepadanya
dengan memaksa-maksa.Sedang barang siapa pagi-pagi dunia menjadi perhatian
terbesarnya,maka Alloh mengkocar-kacirkan hartanya,menjadikan kekikiran di
depan matanya,dan dunia tidak datang kecuali yang telah ditentukan baginya.”(HR.Tirmidzi)
Wallohu a’lam