Translate

Kamis, 29 Desember 2016

Titipan Syair dari Pendeta Himyar



Abdurrohman bin Auf


Setelah menyatakan diri beriman memang tak ada tekanan fisik maupun psikologis berarti yang diterima oleh Abdurrohman, karena memang dia bukan berasal dari Quresy. Hanya saja kini orang – orang Quresy tidak lagi meneruskan kerjasama dagang dengannya. Nama Askalan bin Awakin, pendeta Nashroni yang tinggal di Himyar daerah Yaman mungkin tak pernah bisa hilang dari ingatan Abdurrohman, sebab dari Askalan lah dia mengerti tentang kenabian Nabi Muhammad Saw.

Perkenalan itu bermula ketika Abdurrohman dalam beberapa misi dagangnya di Yaman seringkali singgah dan menginap di tempat Askalan. Kepada tamunya, pendeta itu selalu bertanya tentang Makkah, Ka’bah dan Zam – zam. Kakek yang sudah lanjut usia itu juga bertanya: “Apakah seseorang yang berbeda agama dengan kalian telah muncul?” dan Abdurrohman selalu menjawab belum. Sampai pada tahun ketika Nabi Muhammad Saw telah diutus dan kebetulan Abdurohman sedang berada di tempat Askalan. Sayang ketika itu Askalan sudah sangat renta, tubunya lemah dan pendengarannya pun juga demikian. Mengetahui Abdurrohman datang, anak dan cucu Askalan akhirnya memapah Askalan untuk keluar menemui Abdurohman. Askalan meminta: “Tolong sebutkan garis keturunanmu!” Abdurrohman menjawab: “Aku bernama Abdurrohman bin Auf bin Abdul Harita bin Zahroh” Askalan menyahut: “Cukup wahai orang Bani Zahroh, sudikah kamu mendengar dariku berita gembira yang lebih baik bagimu daripada perniagaanmu?” Askalan melanjutkan: “Telah diutus seorang Nabi pilihanNya dari kaummu, Dia menurunkan kitab kepadanya, menjadikan untuknya pahala, Nabi itu melarang dari berhala dan mengajak kepada islam, menyuruhmu berbuat baik dan melarang dari yang jelek” Abduurohman bertanya: “Darimana Nabi itu?” Askalan menjawab: “Dia tidak dari Azdi dan sepadannya serta tidak pula dari Sarof dan misalnya, Nabi itu dari Bani Hasyim” Askalan lalu berpesan: “Selesaikanlah segera urusanmu di sini dan cepatlah pulang, datanglah kepada Nabi itu dan jadilah kamu sebagai pembelanya” sebelum mengakhiri pesan, Askalan juga membacakan beberapa bait syair yang dengan mudah dihafal oleh Abdurrohman untuk segera disampaikan kepada Rosululloh Saw.


Sesampai di Makkah, Abdurrohman menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal yang ditemuinya di Yaman. Abu Bakar lalu mengatakan: “Ini Muhammad, sungguh Alloh telah mengutusnya. Cepatlah datang kepadanya!” Abdurrohman lalu menuju rumah Khodijah untuk bertemu dengan Rosululloh Saw. Melihatnya datang, Nabi Saw tertawa dan bersabda: “Aku melihat muka berseri, semoga ada kebaikan setelah ini” Nabi Saw lalu bertanya: “Memangnya ada apa?” Abdurrohman menjawab: “Saya membawa titipan” Nabi Saw betanya: “Apakah ada yang mengirim surat untukku?” Abdurrohman lalu menceritakan kabar dan pesan yang dibawanya dari Askalan dan setelah itu diapun mengucapkan  Syahadat. Nabi Saw kemudian bersabda: “Teman dari Himyar (Askalan bin Awakin) adalah manusia yang beriman dan membenarkan aku”

Abu Yazid Al Busthami dan Seekor Anjing

 http://elzajery.blogspot.co.id/



Dikisahkan; Seorang Pemimpin aliran tasawwuf yang bernama Abu Yazid Al Busthami, seperti biasa Abu Yazid suka berjalan sendiri di malam hari. Lalu ia melihat seekor anjing berjalan ke arahnya, anjing tersebut jalan tidak menghiraukan sang sufi tersebut, namun ketika sudah lewat hampir dekat, Abu Yazid Al-Busthomi mengangkat gamisnya kuatir terkena najis anjing tersebut. 

Spontan anjing itu berhenti dan memandangnya. Entah bagaimana Abu Yazid seperti mendengar anjing itu berkata padanya,

"Tubuhku kering tidak akan menyebabkan najis padamu, kalo pun engkau merasa terkena najis, engkau tinggal basuh 7X (tujuh kali)  dengan air & tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Namun jika engkau mengangkat gamismu karena menganggap dirimu yang berbaju badan manusia lebih mulia, dan menganggap diriku yang berbadan anjing ini najis dan hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walau kau basuh dengan air tujuh samudra".

Abu Yazid tersentak dan minta ma'af, lalu sebagai permohonan ma'afnya dia mengajak anjing itu untuk bershahabat & jalan bersama. dengan suasana hati yang masih sedih dan kecewa si anjing itu menolaknya. 

"Engkau tidak pantas berjalan denganku, mereka yang memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tau mengapa mereka menganggapku begitu hina, padahal aku berserah diri pada sang pencipta wujud ini, lihatlah aku juga tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum", lalu anjing itu pun berjalan meninggalkan abu yazid. 

Abu Yazid masih terdiam, " Yaa Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-MU saja aku tak pantas, bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-MU, ampuni aku dan sucikan hatiku dari najis ".

Senin, 26 Desember 2016

Kabar Baik dari Sang Rahib



Tholhah bin Ubaidillah


Dia datang di pasar Bashroh, dan tanpa di sangka ada pengumuman dari Rahib di gereja: “Siapakah di antara kalian ini yang berasal dari tanah Haram?” Tholhah pun segera datang ke gereja menghadap sang Rahib. Kepadanya Rahib bertanya: “Apakah Ahmad telah menampak?” karena bingung, Tholhah balik bertanya: Memangnya siapa Ahmad yang anda maksud? Rahib menjawab: “Putera Abdillah bin Abdul Muttholib, bulan ini adalah bulan kemunculannya, dia akhir para nabi yang keluar dari tanah Haram dan berhijroh ke daerah penuh kurma, bebatuan hitam dan tanah yang subur, maka jangan sampai kamu kedahuluan (untuk beriman kepadanya)”

Kata – kata Rahib ini begitu menyentuh hati Tholhah hingga secepatnya dia kembali lagi ke Makkah. Dia lalu segera bertanya: “Apakah ada kejadian?” orang – orang berkata: Ia, Muhammad bin Abdillah al Amiin mengaku sebagai seorang Nabi dan kini putera Abi Quhafah (Abu Bakar) telah percaya dan mengikutinya. Mendengar hal ini Tholhah lekas datang kepada Abu Bakar dan menyatakan diri: “Kamu mengikuti lelaki ini (Rosululloh Saw)?” Abu Bakar menjawab: Ia, karenanya cepatlah kamu datang kepadanya dan ikutilah dia, sebab sungguh dia mengajak kepada kebenaran! Tholhah lalu memberitahukan kepada Abu Bakar perihal kabar yang diterimanya dari Rahib di Bashro. Keduanya kemudian datang kepada Rosululloh Saw dan di hadapan Beliau Tholhah menyatakan diri beriman serta juga mengabarkan soal kabar dari Rahib di Bashro. Hal ini tentu saja sangat menggembirakan hati Rosululloh Saw.


Mendengar Abu Bakar dan Tholhah mengikuti agama Nabi Muhammad Saw, Naufal bin Khuwailid sangat marah, dia berfikir keras bagaimana membuat Abu Bakar dan Tholhah jera dan meninggalkan agama Muhammad serta kembali kepada agama nenek moyang. Akhirnya orang yang disebut singa Quresy ini menangkap kedua orang itu serta mengikatnya dalam satu ikatan. Setelah kabar tentang hal ini sampai kepada Nabi Saw maka Beliau Saw berdo’a: “Ya Alloh, cukupkanlah kami dari keburukan putera Adawiyyah (Naufal)!” dan karena kejadian itulah Abu Bakar dan Tholhah disebut al Qoriinain

Minggu, 30 Oktober 2016

Memendam Rasa, Mengikat Asa



Utsman bin Affan


Dua orang lelaki sedang bercengkrama di samping Ka’bah. Orang pertama bertanya: “Apakah kamu telah mendengar berita penting yang sekarang banyak dibicarakan oleh penduduk Makkah?” orang kedua menjawab: “Ia, aku mendengar Muhammad mengumumkan kepada seluruh orang bahwa dirinya adalah utusan Allah untuk menunjukkan bangsa Arab dan mengentas mereka dari sesat kekafiran menuju cahaya keimanan” orang pertama bertanya: “Lalu bagaimana menurutmu?”  “Demi Allah, Muhammad pasti jujur, sungguh dia sebaik - baik pemuda Quresy serta sudah dikenal dengan sifat amanahnya” jawab orang kedua.

Saat kedua orang itu asyik berbicara, tiba - tiba semerbak bau harum tercium. Mereka lalu menoleh ke arah datangnya bau harum tersebut dan mata mereka pun segera menemukan seorang pemuda dengan penampilan indah, penuh ketenangan dan tampak sekali bahwa pemuda bertubuh sedang itu adalah orang kaya raya dan terhormat. Salah seorang dari mereka bertanya: “Siapa pemuda berwibawa itu?” temannya menjawab: “Apakah kamu belum mengenalnya? dia adalah Utsman bin Affan, tokoh pemuda Quresy yang terkenal sangat dermawan” mendengar ini, si penanya dengan tersenyum - senyum berkata: “Ia, ia, aku pernah mendengar tentangnya, tetapi baru kali ini aku melihatnya”  temannya bertanya: “Lalu apalagi yang kamu dengar tentangnya? “ Si penanya menjawab: “Aku mendengar bahwa pemuda itu selalu memuliakan tamu, menolong orang yang membutuhkan, membantu orang miskin, gemar sekali meringankan beban orang yang kesusahan, dan rumahnya menjadi tempat tujuan para pengembara serta tempat istirahat para tamu. Sungguh pemuda itu suka memberi dengan rahasia dan tak pernah bangga dengan apa yang telah dia berikan”

Begitulah Utsman bin Affan sebelum islam, dia pemuda yang terpandang dan kaya raya. Perdagangannya meluas merambah Jazirah Arabia dari mulai Syam, Yaman hingga Iraq dengan angkutan ratusan unta. Pada ketika itu Utsman adalah konglomerat papan atas suku Quresy. Meski demikian, Utsman tetaplah pemuda yang pemalu dan suka merendah. Sampai pada akhirnya sifat pemalu ini harus dibayarnya mahal dengan perasaan, dengan hasratnya sebagai pemuda yang mendamba seorang dara jelita.

Ruqayyah, demikian nama gadis berparas elok dan indah tersebut. Maklum ayahnya adalah Muhammad Saw dan ibundanya adalah Khadijah. Semua pemuda Quresy bermimpi bisa menyuntingnya sebagai isteri, termasuk pemuda kaya raya Utsman bin Affan. Akan tetapi rasa malu menjadikan Utsman surut langkah, lidahnya keluh untuk berkata mengungkapkan hasrat keinginannya. Sampai akhirnya putaran waktu membawa Ruqayyah menjadi isteri Utbah bin Abu Lahab. Kabar pernikahan Ruqayyah  tentu saja sangat memukul Utsman. Hatinya sangat sedih dan kecewa. Kenyataan ini terus saja menghantui dan mengusik ketenangannya hingga ia datang mengeluh kepada bibinya yang bernama Su’daa, wanita yang selama ini dikenal sebagai pemilik firasat jitu dan apa yang ia ucapkan senantiasa benar.

Kepada saudara ibundanya itu, Utsman menumpahkan kesedihannya: “Wahai bibiku, sejak lama saya merindukan bisa memperistri  Ruqayyah, tetapi justru dia kini menjadi isteri orang lain. Apa yang harus saya lakukan? “ Sang bibi balik bertanya: “Lalu kenapa kamu tidak datang melamar Ruqayyah kepada ayahnya sebelum Utbah menikahinya?”Utsman menjawab: “Bibi telah mengerti bahwa saya sangat pemalu, tak mungkin ada keberanian muncul untuk datang kepada ayahnya, seorang yang sangat mulia dan berwibawa” Su’da berkata: “Jangan sedih Utsman, suatu hari nanti Ruqayyah pasti menjadi milikmu” dengan penuh ragu Utsman bertanya: “Bagaimana bisa, Utbah telah menyuntingnya” Su’da menjawab: “Wahai Utsman, ayah Ruqayyah adalah manusia agung, kelak nanti akan terjadi suatu hal besar, dunia akan berubah sebab ayah Ruqayyah, dan Ruqayyah akan menjadi isterimu”

Beberapa hari berlalu sedang kata - kata Su’da masih terngiang di telinga. Utsman terus bertanya:  “Terjadi ini terjadi itu, lalu apa hubungannya dengan diriku yang akan bisa memiliki Ruqayyah, sementara kenyataannya wanita rupawan itu telah menjadi milik orang?” Sampai pada suatu hari Utsman bertemu dengan Abu Bakar yang sejak lama menjadi kawan karibnya. Kepada Abu Bakar, Utsman menceritakan perihal perkataan Su’daa.Mendengar cerita Utsman, Abu Bakar menegaskan: “Bibimu benar, Muhammad adalah Utusan Allah, dia mengajak kepada RisalahNya dengan rahasia. Maukah kamu datang menghadap kepadanya bersamaku?” ajakan ini langsung disambut Utsman dengan gembira hati berbunga. Mereka beduapun segera datang kepada Nabi Saw. Nabi Saw bersabda: “Wahai Utsman, patuhilah Allah, sungguh aku adalah utusanNya kepadamu dan seluruh manusia!” Utsman menjawab: “Ia, wahai Rasulullah, saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusanNya “

Setelah menyatakan diri masuk islam di rumah Arqam bin al Arqam tersebut, Utsman beberapa hari tidak muncul hingga membuat hati Abu Bakar tercekam resah. Akhirnya pada suatu saat ketika Abu Bakar sedang membaca Alqur’an di rumahnya, Utsman datang dengan raut muka seperti kelelahan. Abu Bakar segera menyambutnya dengan sangat senang. “Di mana kamu wahai Utsman, kenapa lama tidak kelihatan. Aku khawatir kesusahan menimpamu. Kiranya ada apa, tolong ceritakan!”  Utsman pun bercerita:

Setelah mengetahui keislamanku, Hakam bin al Ash pamanku bertanya: “Apakah kamu meninggalkan tuhan - tuhan kami dan mengikuti agama baru yang belum pernah dikenal oleh nenek moyang kita?” Aku menjawab: “Wahai paman, tuhan - tuhan kalian itu hanyalah bebatuan bisu yang tidak bisa memberi manfaat atau menolak bahaya. Sebaiknya engkau meninggalkannya dan mengikuti agama Muhammad, agama kebenaran dan keadilan. Mendengar ini paman memukulku dan kemudian mengurungku di kamar gelap tanpa sama sekali memberiku makan dan minum. Aku bersabar dan mengatakan kepada paman bahwa aku tak akan meninggalkan agama Muhammad meski dia membunuhku. Melihat keteguhanku, dengan kemarahan masih meluap paman akhirnya melepaskanku. Aku berkata kepadanya: Saya sama sekali tidak peduli dengan kemarahan dan kerelaanmu. Hal terpenting bagiku adalah mendapat ridha Allah dan RasulNya”.


Setelah Rasulullah Saw berdakwah dengan terang - terangan maka tekanan orang - orang kafir semakin menjadi. Salah satu wujud tekanan itu adalah dengan memutuskan hubungan besan dengan Nabi Saw. Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil datang kepada Nabi Saw dan berkata: “Aku mengembalikan puterimu Ruqayyah isteri anakkku Utbah, dan Ummu Kultsum istri anakku Utaibah” Ummu Jamil melanjutkan: “Kami tak sudi punya besan sepertimu yang membodohkan agama kami dan menghinan berhala - berhala kami” Akhirnya apa yang dulu dikatakan oleh Su’daa menjadi kenyataan. Ruqayyah kemudian diperistri oleh Utsman setelah diceraikan oleh Utbah. Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan bahwa Ruqayyah belum sempat tersentuh oleh Utbah. Setelah menceraikan Ruqayyah, Utbah lalu menikahi puteri Said bin al Ash. 

Orang Pertama yang Menampakkan Islam




Abu Bakar ra


Dalam perjalanan mengajak manusia untuk mengesakan Allah, ajakan Nabi Saw senantiasa terhalang. Tak ada yang mulus dan begitu saja diterima kecuali ajakan Beliau kepada Abu Bakar. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Nabi Saw: “Tak seorangpun yang aku ajak kepada islam kecuali dalam dirinya terlebih dahulu dirasuki keraguan kecuali Abu Bakar. Kketika aku mentawarkan islam kepadanya maka tanpa basa basi dia langsung menerimanya”(Lihat Bidayah Wan Nihayah: 1/ 108, 3/ 27.

Keislaman Abu Bakar terjadi saat dirinya bertemu dengan teman akrabnya yang telah beberapa lama tidak dijumpainya. Dalam perjumpaan itulah Abu Bakar bertanya tentang desas - desus yang didengarnya: “Wahai Muhammad, benarkah apa yang dikatakan oleh orang - orang Quresy bahwa engkau telah meninggalkan tuhan - tuhan kami dan mengatakan bahwa kami telah bertindak bodoh?” Nabi Saw menjelaskan: “Benar, aku adalah Nabi dan Utusan Allah, Dia telah Mengutusku untuk menyampaikan risalahNya dan mengajakmu kepada Allah. Demi Allah, sungguh ini adalah kebenaran. Aku mengajakmu kepada Allah Maha Esa tiada sekutu bagiNya dan jangan menyembah selainNya!” Nabi Saw lalu membacakan Alqur’an dan Abu Bakar langsung menerima ajakan Beliau Saw tanpa sama sekali ingkar atau menganggap temannya ini mengajaknya kepada sesuatu yang asing. Dia segera menyatakan diri masuk islam yang karena itulah dia mendapat julukan Ash Shiddiiq.

Salah satu sebab, seperti dituturkan oleh Imam Suhaili, yang melatar belakangi sikap Abu Bakar yang dengan mudah dan sangat antusias menerima dakwah Nabi Saw adalah mimpi yang dialami oleh Abu Bakar sebelumnya. Dalam mimpi itu dia melihat rembulan turun di Makkah dan berpecah - pecah lalu memencar ke seluruh rumah - rumah Makkah. Setiap rumah dihampiri oleh satu bagian hingga seluruhnya kemudian berkumpul di pangkuannya. Mimpi ini oleh Abu Bakar kemudian diceritakan kepada seorang ahli kitab Taurat dan Injil yang kemudian ditafsirkan kepadanya bahwa: “Sesungguhnya Nabi Saw yang dinantikan telah datang masanya, ikutilah dia maka kamu akan menjadi manusia yang paling beruntung”

Setelah masuk Islam Abu Bakar segera menampakkan Islam dan berdakwah menyiarkan islam. Sikap seperti ini secara akal memang sangat mungkin diambil oleh Abu Bakar, sebab Beliau termasuk seorang yang memiliki wibawa dan disegani di kalangan Quresy. Abu Bakar terkenal sebagai seorang yang paling ahli nasab di kalangan Quresy (Ansabu Quresy), seorang pedagang berhati mulia dan Beliau juga menjadi tempat mengadu bagi banyak orang yang sedang terhimpit masalah. Usaha menampakkan dan mengajak kepada Islam yang dilakukan oleh Abu Bakar  ternyata cukup banyak menuai hasil hingga ada beberapa orang yang masuk Islam karena dakwahnya; antara lain Utsman bin Affan, Zuber bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah.

Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar ini membuat Beliau tercatat sebagai sahabat yang pertama kali menampakkan dan mendakwahkan Islam. Hal ini diakui sendiri oleh Ali bin Abi Thalib: “Abu Bakar mendahuluiku dalam empat hal yang tak mungkin aku mengejarnya; 1) dalam menampakkan dan menyebarkan (Ifsya’) islam, 2) terlebih dahulu berhijrah, 3) menemani Nabi Saw di gua, dan 4) saat aku melakukan shalat di lereng - lereng gunung dan menyembunyikan Islam justru dia secara terang terangan memproklamirkan diri sebagai seorang muslim

Kendati meraih hasil, dakwah Abu Bakar bukan nyaris tanpa aral melintang, sebab sesudah mengetahui dirinya dan Thalhah bin Ubaidillah masuk islam, Naufal bin Khuwailid yang terkenal sebagai singa Quresy sempat menangkap dan mengikat keduanya dalam satu ikatan yang karena itulah mereka berdua disebut al Qorinain.

Abu Bakar dan Ibnu Daghinah

Tekanan kafir Quresy semakin hebat hingga Nabi Saw menyarankan agar kaum muslimin  berhijrah ke Habasyah untuk beroleh kedamaian dalam beribadah. Abu Bakar pun ikut ambil bagian dalam berhijrah, akan tetapi ketika sampai di suatu daerah Yaman bernama Barkul Ghimad dia bertemu dengan Ibnu Daghinah, seorang kepala suku al Qooroh. “Hendak ke manakah engkau wahai Abu Bakar?” tanya Ibnu Daghinah. Abu Bakar menjawab: “Kaumku mengusirku, karena itu aku ingin berkelana di bumi untuk menyembah Tuhanku”  Ibnu Daghinah menyahut: “Orang seperti anda tidak layak keluar atau diusir, sebab anda selalu memberi yang kekurangan, menyambung tali kerabat, membantu orang kesusahan, dan menyuguh tamu. Saya akan memberi suaka kepada anda karenanya marilah kita kembali dan sembahlah Tuhan anda di negeri sendiri”

Sesampai di Makkah, Ibnu Daghinah datang kepada para tokoh Quresy dan mengatakan: “Sesungguhnya orang seperti Abu Bakar tidak layak keluar atau diusir. Pantaskah kalian mengusir manusia yang gemar memberi orang yang kekurangan, menyambung tali kerabat, membantu yang kesusahan dan menyuguh tamu?” Para tokoh Quresy akhirnya menerima pemberian suaka kepada Abu Bakar, akan tetapi mereka tetap memberi syarat kepada Ibnu Daghinah: “Katakan kepada Abu Bakar agar menyembah Tuhannya, shalat atau membaca yang dia mau di rumah saja, jangan sampai dia menampakkan hal - hal ini, sebab kami khawatir anak dan isteri kami terhasut olehnya”

Pada mulanya Abu Bakar tidak shalat atau membaca Alqur’an kecuali di dalam rumah, tetapi kemudian Beliau berubah fikiran dan lalu membangun sebuah tempat shalat di halaman rumah. Di tempat inilah Beliau melakukan shalat dan membaca Alqur’an  hingga bacaan Beliau mampu menyedot simpati para wanita dan anak - anak kaum musyrikin untuk datang mendekat supaya bisa mendengar bacaan Alqur’an. Mereka semakin ternganga keheranan begitu menyaksikan air mata Abu Bakar mengalir deras ketika bacaan - bacaan Alqur’an keluar dari lisannya.


Keadaan tersebut tak urung membuat para pemuka Quresy semakin marah dan tidak menerima hingga mereka kemudian memanggil Ibnu Daghinah. Kepadanya mereka berkata: “Kami memberi suaka kepada Abu Bakar agar dia menyembah Tuhannya di dalam rumahnya, tetapi sekarang dia telah melanggar dengan membangun sebuah tempat di halaman rumah serta menampakkan shalat dan bacaannya. Sungguh kami khawatir dengan anak - anak dan para wanita kami, karena itu datanglah kepadanya dan katakan agar dia kembali beribadah di dalam rumah saja. Jika dia membantah maka mintalah supaya dia mengembalikan suakamu, sebab kami tidak ingin melepas perjanjian denganmu “ Ibnu Daghinah lalu datang kepada Abu Bakar dan mengatakan: “Anda telah mengerti perjanjian kita, anda tetap setia dengan janji atau mengembalikan jaminan suaka yang saya berikan, sebab saya tak ingin orang Arab mengatakan bahwa saya telah membatalkan perjanjian?” Abu Bakar menjawab: “Sungguh aku mengembalikan kepada anda jaminan suaka itu dan kini aku merasa cukup dengan jaminan suaka Allah dan RasulNya “ 

Sabtu, 29 Oktober 2016

Seratus Nyawa Sang Ibunda




Sa’ad bin Abi Waqqosh

Sa’ad bin Abi Waqqosh, salah satu sahabat yang diberi kabar masuk surga ini masuk islam saat berusia sembilan belas tahun. Keislaman Sa’ad tak lain karena peran Abu Bakar yang dengan sangat meyakinkan memberikan penjelasan akan kebenaran islam kepada Sa’ad. Saat datang kepada Nabi Saw untuk menyatakan masuk islam pun Sa’ad mendapat sambutan yang cukup hangat. Ketika menyambut kedatangan Sa’ad Nabi Saw bersabda: “Ini adalah Khol (paman dari ibu) ku, barang siapa mau maka silahkan menampakkan Kholnya kepadaku”. Meski Sa’ad bukan saudara ibunda Nabi Saw, tetapi  Sa’ad berasal dari Bani Zahroh sama dengan ibunda Beliau Saw.

Mendengar keislaman anaknya, ibunda Sa’ad tidak menerima dan berusaha mengajak anaknya supaya kembali dari mengikuti Muhammad.  Sang ibu yang sudah mengakui bahwa anaknya adalah seorang yang sangat berbakti kepada orang tua berkata: “Wahai Sa’ad, bukankah kamu telah mengerti bahwa Alloh memerintahkan supaya sanak kerabat disambung dan supaya seorang anak taat dan berbakti kepada orang tuanya?” Sa’ad mengiyakan, lalu ibundanya berkata: “Demi Alloh aku tak akan makan dan minum sehingga kamu mengingkari agama Muhammad dan kembali menyembah berhala Isaf dan Na’ilah” . Selanjutnya sehari semalam ibunda Sa’ad sama sekali tidak makan dan minum meski keluarganya telah memaksanya makan dan minum dengan membuka paksa mulutnya. Pada hari kedua juga demikian, ibunda Sa’ad tetap melakukan aksi mogok makannya hingga tubuhnya pun lemah. Menyaksikan kondisi ini, Sa’ad dengan mantap berkata kepada ibunya: “Ketahuilah wahai ibuku, demi Alloh andai engkau memiliki seratus nyawa lalu satu persatu keluar maka saya tak akan pernah meninggalkan agama Muhammad. Terserah sekarang apakah engkau mau makan atau tidak”. Merasa bahwa upaya untuk mengembalikan agama anaknya kepada berhala gagal, ibunda Sa’ad akhirnya menghentikan aksi mogok makan.

Disebutkan pula bahwa ibunda Sa’ad juga pernah hendak mengurung Sa’ad. Ini bermula ketika mengerti bahwa anaknya telah menjadi pengikut Muhammad maka begitu anaknya berada di depan pintu rumah, ibunda Sa’ad berteriak: “Tolong barangkali ada orang yang membantuku menangkap dan mengurung anak ini di kamar sampai dia mati atau meninggalkan agama Muhammad”  Mendengar teriakan seperti ini Sa’ad yang hendak masuk rumah bergegas lari menjauh dari rumahnya, tetapi sebelum itu dia sempat berkata kepada ibunya: “Saya tak akan pernah kembali kepadamu juga tak akan mendekati rumahmu”. Untuk beberapa lama Sa’ad benar – benar tidak pulang lagi ke rumah sampai akhirnya ibundanya menyerah dan menyuruh orang agar mencari dan mengajak Sa’ad kembali ke rumah. Kepada orang yang disuruh mencari itu, ibunda Sa’ad berpesan: “Katakan kepada Sa’ad supaya kembali ke rumah, jangan membikin malu keluarga!” 


Sa’ad pun pulang ke rumah dengan segala perlakuan ibundanya yang telah berubah. Kadang baik dan bersahabat, tetapi kadang terlihat begitu jahat. Seringkali ibunya berkata: “Lihatlah saudaramu Amir, dia anak yang berbakti, tidak meninggalkan agamanya dengan menjadi pengikut Muhammad” . Tetapi sikap ibunda Sa’ad kepada Amir juga akhirnya berubah bahkan semakin parah ketika Amir telah mengakui islam sebagai agama kebenaran. Bentakan dan siksaan fisik seringkali dirasakan oleh Amir setiap hari hingga akhirnya Amir terpaksa ikut berhijroh ke Habasyah. Benturan antara anak yang setia dengan islam dan ibunda yang teguh dengan kekafiran pada saatnya juga pernah menimbulkan kegaduhan. Ketika itu Sa’ad pulang ke rumah dan melihat banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Sa’ad bertanya ada apa ini? mereka menjawab: “Ini ibumu, dia menyiksa Amir dengan berjanji tak akan berdiri di bawah tempat berteduh, tak akan makan dan minum sehingga Amir kembali dari mengikuti Muhammad” karena jengkel dengan ulah ibunya, Sa’ad lalu berkata: “Demi Alloh wahai ibu, engkau tak akan berteduh, tak makan dan minum sehingga engkau menempati tempatmu di neraka”

Anugerah dalam Derita



Ali bin Abu Tholib ra

Krisis hebat (Azimmah Syadiidah) melanda ekonomi Makkah. Derita semakin terasa menyiksa keluarga - keluarga berpenghasilan rendah dengan banyak anggota keluarga. Salah satu keluarga miskin dengan banyak anggota keluarga adalah keluarga Abu Thalib. Keadaan ini mengundang simpati Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga Beliau lalu datang kepada Abbas yang merupakan orang terkaya Bani Hasyim. Kepadanya, Beliau bersabda: “Wahai Abbas, saudaramu Abu Thalib adalah orang miskin yang memliki banyak anggota keluarga, sementara engkau sendiri mengerti akan keadaan sulit ini, karena itu marilah kita ringankan bebannya”. Tawaran dan ajakan ini disambut baik oleh Abbas. Mereka berdua lalu berangkat ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud kedatangan mereka: “Kami ingin meringankan beban anda, karena itu biarkanlah sebagian anggota keluarga anda tinggal bersama kami sampai kondisi ekonomi kembali pulih” Menyambut maksud mulia mereka, Abu Thalib berkata: Terserah kalian berdua, hanya saja biarkanlah Uqel tetap tinggal bersamaku ”

Sebuah keberuntungan besar pun menghampiri putera Abu Thalib yang bernama Ali karena ia terpilih untuk tinggal bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam, sementara Abbas memilih untuk mengajak Ja’far untuk tinggal di rumahnya. Ali pun tetap tinggal dengan saudara sepepuhnya itu sampai akhirnya malaikat Jibril datang membawa wahyu tentang kenabian sang sepupuh. Ali – pun meraih anugerah besar dengan menjadi salah seorang yang mula - mula masuk islam. Sedang Ja’far juga terus hidup bersama Abbas sehingga Ja’far masuk islam dan bisa berlepas diri dari tanggungan Abbas.   

Kisah keislaman Ali bermula pada suatu hari dirinya memergoki Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Khadijah sedang melakukan shalat secara sembunyi - sembunyi. Melihat sesuatu yang asing, Ali bertanya: “Apakah ini wahai Muhammad? “ Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan: “Agama Allah yang Dia pilih untuk diriNya serta mengutus para utusanNya dengan membawa agama ini, karena itu aku mengajakmu kepada Allah Maha Esa tiada sekutu bagiNya dan beribadah kepadaNya serta mengingkari Laata dan Uzzaa”  Ali menjawab: “Ini adalah sesuatu yang sebelum hari ini tak pernah saya mendengarnya, karena itu saya tak bisa memutuskan sebelum meminta pendapat Abu Thalib “ Karena tidak ingin kabar agama ini tersebar sebelum saatnya maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berpesan: “Wahai Ali, jika kamu tidak menerima agama ini maka simpanlah hal ini!”

Malam harinya Ali berfikir tentang ajakan keponakan ayahnya hingga akhirnya Allah membuka hatinya untuk menerima ajakan itu. Pada pagi hari, Ali bergegas datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya: “Wahai Muhammad, apa yang engkau tawarkan kepada saya? “  Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Kamu bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah Maha Esa tiada sekutu bagiNya, kamu ingkari Laata dan Uzza” Ali – pun menuruti perintah ini dan menyatakan diri masuk islam, tetapi untuk sementara waktu keislaman ini berusaha ia sembunyikan dari ayahnya.

Waktu terus berjalan, Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Ali masih terus berusaha menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari pandangan mata paman dan ayah mereka serta paman - paman yang lain. Untuk melakukan shalat pada pagi dan sore hari mereka berdua harus rela mengungsi ke lereng - lereng bukit agar tidak terlihat oleh siapapun.  Sampai pada suatu kesempatan Abu Thalib tak urung memergoki mereka sedang melakukan shalat. Dia lalu bertanya: “Wahai keponakanku, agama apa yang kamu anut ini? “ Keponakannya menjawab: “ Wahai paman, ini adalah agama Allah dan agama malaikat, para utusanNya serta agama Ibrahim, dan Allah telah Mengutusku membawa agama ini kepada manusia. Karena itu engkau adalah manusia yang paling berhak menerima nasehat dan ajakanku ini” Abu Thalib berkata: Wahai keponakanku, sesungguhnya aku tak kuasa meninggalkan agama nenek moyangku, tetapi demi Allah tak akan ada sesuatu tidak menyenangkan yang datang kepadamu selama aku masih hidup “. Dalam kesempatan lain Abu Thalib berpesan kepada Ali: “Sesungguhnya Muhammad tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan maka terima dan tetapilah, bela dan tolonglah dia”

Kamis, 27 Oktober 2016

BUAH - BUAHAN YANG DIMAKAN NABI SAW.




🔹حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى الْفَزَارِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ»

🔹"Nabi saw. memakan qits'tsa* dengan Ruthab (kurma yang baru masak)."

(Diriwayatkan oleh Isma'il bin Musa al Farazi, dari Ibrahim bin Sa'id, dari ayahnya yang bersumber dari `Abdullah bin Ja'far r.a.)

• Qits'tsa adalah sejenis buah-buahan yang mirip mentimun tetapi ukurannya lebih besar.


🔹حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِيُّ الْبَصْرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ الْبِطِّيخَ بِالرُّطَبِ»

🔹"Sesungguhnya Nabi saw. memakan semangka/melon dengan kurma (yang baru 
masak).”

(Diriwayatkan oleh `Ubadah bin `Abdullah al Khaza'i al Bashri, dari Mu'awiyah bin Hisyam, dari Sufyan, dari Hisyam bin `Urwah, dari bapaknya, yang bersumber dari `Aisyah r.a.)

🔹حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ: سَمِعْتُ حُمَيْدًا، أَوْ قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ - قَالَ وَهْبٌ: وَكَانَ صَدِيقًا لَهُ - عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْخِرْبِزِ وَالرُّطَبِ»

🔹"Saya melihat Rasulullah mengumpulkan antara khirbiz* dan Ruthob"

(Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Ya`qub dari Wahb bin Jarir dari Ayahnya dari Humaed (temen ayahnya) yang bersumber dari Anas bin Malik ra. )

• Khirbiz adalah jenis dari bith'thikh hanya saja warnanya kuning.(ada yang memaknai semangka kuning, ada yang memaknai melon.)

🔹Disadur dari kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah. 

Batu pun Bertasbih



            Segala sesuatu yang berada di atas langit, di dasar lautan seluruhnya bertasbih mensucikan dan mengagungkan Allah Swt, inilah hakikat yang haus di mengerti dan di yakini oleh umat manusia. Artinya bahwa semua makhluk bertasbih, mensucikan, mengagungkan dan mengakui ke Esaan dan Ketuhanan Allah, Dia berfirman:

          تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَاْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ تُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لاَ تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ
            “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Alloh. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka”QS al Isro’: 44.

            Ketiadaan mengerti atau manusia tidak memahami Tasbih tumbuhan, hewan dan bebatuan hanyalah dikarenakan perbedaan bahasa. Ibnu Mas’ud ra berkata, “Kami makan bersama Rosululloh SAW dan kami mendengar tasbih makanan saat ia dimakan”HR Bukhori. Abu Dzar ra berkisah, “Rosululloh SAW mengambil beberapa batu kerikil, lalu terdengar batu – batu kerikil itu bertasbih seperti suara desing lebah. Kerikil – kerikil itu terus bertasbih saat ditaruh di tangan Abu Bakar, Umar dan Utsman” HR Baihaqi. Anas ra juga menyebutkan bahwa suatu kali Rosululloh SAW datang dan menjumpai sekelompok orang yang sedang asyik duduk di atas hewan kendaraan mereka. Rosululloh Saw lalu bersabda, “Naik dan tinggalkan kendaraan – kendaraan itu dengan selamat, jangan jadikan hewan – hewan kendaraan tersebut sebagai kursi – kursi untuk obrolan – obrolan kalian di jalan – jalan dan di pasar – pasar, sebab banyak yang ditumpangi (hewan kendaraan) lebih baik dan lebih banyak berdzikir kepada Alloh daripada penumpangnya” HR Ahmad. Jadi semua yang ada ini bertasbih; tiang – tiang bertasbih, suara pintu itu tasbih, gemericik air itu tasbih, dan suara kodok juga tasbih. Abdulloh bin Amar bin Ash ra berkata, “Rosululloh SAW melarang membunuh kodok”, Abdulloh melanjutkan, “Karena suara nyanyian kodok tasbih” HR Nasa’i.

            Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak seluruhnya makhluk yang ada itu bertasbih, tetapi hanya terbatas pada hewan dan tumbuhan yang bernyawa. Pendapat ini berdasarkan pada pendapat Qotadah, Hasan al Bashri dan Dhohhak serta berlandaskan pada sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra, “Sesungguhnya Rosululloh SAW melewati dua kuburan, Beliau SAW lalu bersabda, “Sungguh dua penghuni kubur ini mendapat siksaan. Mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satunya disiksa karena tidak membersihkan diri  selesai buang air kecil, dan satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba” Ibnu Abbas ra melanjutkan, “Rosululloh SAW lalu mengambil pelepah kurma dan membelahnya menjadi dua bagian, kemudian menancapkannya satu – satu di kedua kuburan tersebut. Beliau SAW lalu bersabda, “Semoga siksaan kedua orang ini diringankan selama pelepah kurma ini belum kering” Muttafaq alaihi. Mengomentari Hadits ini, sebagian ulama mengatakan, “Rosululloh SAW bersabda, “Selama belum kering” karena selama pelepah kurma itu masih hijau maka selama itu pula pelepah tersebut bertasbih.

            Kendati ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, perlu dimengerti bahwa pendapat yang shohih adalah pendapat yang pertama, yaitu seluruh makhluk, baik yang bernyawa seperti hewan dan tumbuhan maupun yang tidak bernyawa seperti bebatuan, selalu bertasbih kepada Alloh. Aisyah ra menceritakan sabda Rosululloh SAW, “Saat Jibril datang kepadaku dengan membawa risalahku maka setiap bebatuan dan tumbuhan yang aku lewati selalu mengucapkan salam kepadaku” HR Bazzar – Abu Nuaim. Alloh Subhaanahu Wata’aala juga berfirman tentang Nabi Dawud as, “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung – gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi”QS Shood: 18. Alloh juga berfirman:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلاً يَاجِبَالُ أَوِّبِى مَعَهُ وَالطَّيْرَ
          “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan anugerah dari Kami kepada Dawud. (Kami berfirman): Hai gunung – gunung dan burung – burung, bertasbihlah berulang – ulang bersama Dawud” QS Saba’ : 10.

            Anugerah ini membuat Nabi Dawud as setiap kali berjalan di area pegunungan selalu mendengar bebatuan gunung bertasbih mengikuti tasbih – tasbih yang Beliau ucapkan. Jadi semua yang ada di mayapada ini bertasbih, hanya saja kalian wahai manusia, tidak mengerti bahasa tasbih mereka kecuali jika Alloh memberikan anugerahNya seperti yang Dia berikan kepada Nabi Dawud as di atas, serta kepada Nabi Sulaiman puteranya. “...dan Sulaiman berkata: Wahai manusia, aku diberikan pengertian mengenai bahasa burung”QS an Naml: 16. Rosululloh Muhammad SAW sendiri dalam berbagai kesempatan mampu mendengar percakapan hewan, juga mendengar dan memperhatikan keluhan mereka. Suatu ketika ada seorang yang menuntun sapi dengan muatan penuh di punggungnya. Melihat Rosululloh SAW, sapi itu mengeluh dan berkata, “Sesungguhnya saya diciptakan tidak untuk seperti ini, tetapi saya diciptakan untuk membajak sawah” mendengar hal ini, orang – orang serentak berkata, “Subhaanalloh” Rosululloh SAWlalu bersabda, “Sesungguhnya aku, Abu Bakar dan Umar percaya dengan hal tersebut” Muttafaq alaihi.


Minggu, 23 Oktober 2016

Pedang & Baju Besi Rasulullah




 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: «كَانَتْ قَبِيعَةُ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّةٍ»

🔹 "Sarung hulu pedang Rasulullah saw. terbuat dari perak." 

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, dari Wahab bin Jarir, dari ayahnya dari Qatadah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُجَاعٍ الْبَغْدَادِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ: «صَنَعْتُ سَيْفِي عَلَى سَيْفِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، وَزَعَمَ سَمُرَةُ أَنَّهُ صَنَعَ سَيْفَهُ عَلَى سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ حَنَفِيًّا»
 
🔹"Aku membuat pedang sebagai mana pedang Samurah bin Jundub, Samurah sendiri mengaku bahwa ia membuat pedangnya meniru pedang Rasulullah saw. Sedangkan pedang Rasulullah saw. itu berbentuk Hanafiyya."

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin syuja' al Baghdad, dari Abu `Ubaidah al Haddad, dari `Utsman bin Sa'id, yang bersumber dari Ibnu Sirin r.a.)

• Pedang Hanafiyya adalah pedang yang di buat oleh suku Bani Hanifah. Pedang buatan Bani Hanafiah terkenal bagus dan halus pembuatannya.

BAJU BESI RASULULLAH SAW

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَيْهِ يَوْمَ أُحُدٍ دِرْعَانِ، قَدْ ظَاهَرَ بَيْنَهُمَا»

🔹"Sesungguhnya Rasulullah saw. pada waktu ghazwah Uhud memakai dua baju besi. Sungguh beliau memakai keduanya secara rangkap."

(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi `Umar, dari Shufyan bin `Uyainah, dari Yazid bin Khushaifah, yang bersumber dari Saib bin Yazid)

TOPI BESI RASULULLAH SAW


🔹حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ مِغْفَرٌ، فَقِيلَ لَهُ: هَذَا ابْنُ خَطَلٍ مُتَعَلِّقٌ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ، فَقَالَ: «اقْتُلُوهُ»

🔹"Sewaktu Rasulullah saw. memasuki kota Mekkah (dihari Pembebasan), beliau memakai topi besi. Kemudian ditunjukkan orang kepadanya : "ini Ibnu Khathal bersembunyi di dinding Ka'bah" (disebabkan takut). Nabi saw. bersabda : 
"Bunuhlah dia!"

(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa'id, dari Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

•Sebenarnya terjemahan topi besi tersebut kurang tepat sebab yang dimaksud topi besi di sini adalah rantai besi yang dijalin rapi, dibuat dengan ukuran kepala kemudian dapasang di dalam kopiah.

• Ibnu Khatal ialah seorang dari empat penjahat yang amat memusuhi Islam dan tidak mendapatkan pengampunan umum dari Rasulullah saw. Tiga lainnya ialah Huwairits bin Nuqaid, `Abdullah bin Abi Sarh dan Muqais bin Shababah. Namun, sebelum eksekusi, 
`Abdullah bin Abi Sarh masuk Islam. Dengan demikian `Abdullah bin Abi Sarh selamat dari hukuman.


🔹Disadur dari kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah. 

Rasulullah & Cincin





CINCIN RASULULLAH SAW


🔹حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَرِقٍ، وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا»

🔹"Cincin Rasulullah saw. terbuat dari perak sedangkan permatanya dari Abessina (Habsyi)".

(Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa'id dan sebagainya, dari `Abdullah bin Wahab, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

🔹حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: " لَمَّا أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ قِيلَ لَهُ: إِنَّ الْعَجَمَ لَا يَقْبَلُونَ إِلَّا كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتَمٌ، فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِي كَفِّهِ "

🔹"Tatkala Rasulullah saw. hendak menulis surat kepada penguasa bangsa `Ajam (asing), kepadanya diberitahukan: "Sungguh bangsa `Ajam tidak akan menerimanya, kecuali surat yang memakai cap. Maka Nabi saw. dibuatkan sebuah cincin (untuk cap surat). Terbayanglah dalam benakku putihnya cincin itu di tangan Rasulullah saw."

(Diriwayatkan oleh Ishaq bin Manshur, dari Mu'adz bin Hisyam, dari ayahnya, dari Qatadah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

• karena sebagaimana dikatakan bahwa cincin Nabi saw. dipakai sebagai pengecap surat, maka Nabi saw. tidak memakainya karena fungsinya pun lain. Atau mungkin saja pengertiannya bukan tidak dipakai, tapi jarang.

🔹حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ ثُمَامَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: " كَانَ نَقْشُ خَاتَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُحَمَّدٌ سَطْرٌ، وَرَسُولٌ سَطْرٌ، وَاللَّهُ سَطْرٌ "

🔹"Ukiran yang tertera di cincin Rasulullah saw adalah "Muhammad" satu baris, "Rasul" satu baris, dan "Allah" satu baris".
  الله
رسول
محمد

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Yahya, dari Muhammad bin `abdullah al Anshari, dari ayahnya, dari Tsumamah, yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

🔹حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، وَالْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ "

🔹"Sesungguhnya apabila Nabi saw. masuk ke jamban, maka ia melepaskan cincinnya."

(Diriwayatkan oleh Ishaq bin Manshur, dari Sa'id bin `Amir, dan diriwayatkan pula oleh Hajjaj bin Minhal, dari Hamman, dari Ibnu Juraij, dari Zuhri yang bersumber dari Anas bin Malik r.a.)

CARA RASULULLAH SAW. BERCINCIN

🔹حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ الْبَغْدَادِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَا: أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، عَنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ، عَنِ أَبِيهِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ خَاتَمَهُ فِي يَمِينِهِ "

🔹"Sesungguhnya Nabi saw. memakai cincin di jari tangan kanannya."

(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sahl bin `Askar al Baghdadi, dan diriwayatkan pula oleh `Abdullah bin `Abdurrahman, keduanya menerima dari Yahya bin Hisan, dari Sulaiman bin Bilal, dari Syarik bin `Abdullah bin Abi Namir, dari Ibrahim bin `Abdullah bin Hunain, dari bapaknya, yang bersumber dari `Ali bin Abi Thalib k.w.)

🔹حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ أَبِي رَافِعٍ، يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ، وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ»

🔹Aku melihat ibnu Abi Rafi' memakai cincin di tangan sebelah kanan,  saat aku tanyakan ke dia soal hal tersebut,  dia berkata: aku melihat Abdullah bin Ja'far memakai cincin di sebelah kanan. Lalu dia berkata: "adalah Rasulullah dulu memakai cincin di tangan kanannya"

(Diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani' dari Yazid bin Harun dari hammad bin salamah dari ibnu Abi Rafi" bersumber dari Abdullah bin Ja'far ra.)

🔹حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنِ الصَّلتِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ، يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ وَلَا إِخَالُهُ إِلَّا قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ»

🔹Adalah Ibnu 'Abbas bercincin di tanggan kanannya tidak dgn tangan ikholuhu kecuali berkata: "Rasulullah bercincin di tangan kanan-Nya"

(Di riwayatkan oleh Muhammad bin Humaid Arrazi dari Jarir dari Muhammad dari Ishaq yang bersumber dari Shalt bin `Abdillah)


🔹Disadur dari kitab As-Syamail Al-Muhammadiyah. 

BENTUK TUBUH RASULULLAH SAW





"Rasulullah saw. bukanlah orang yang berperawakan terlalu tinggi, namun tidak pula pendek. Kulitnya tidak putih bule juga tidak sawo matang. Rambutnya ikal, tidak terlalu keriting dan tidak pula lurus kaku. Beliau diangkat Allah (menjadi rasul) dalam usia empat puluh tahun. Beliau tingal di Mekkah (sebagai Rasul) sepuluh tahun dan di madinah sepuluh tahun. Beliau pulang ke Rahmatullah dalam usia enam puluh tahun. Pada kepala dan janggutnya tidak terdapat sampai dua puluh lembar rambut yang telah berwarna putih."

(diriwayatkan oleh Abu Raja' Qutaibah bin Sa'id, dari Malik bin Anas, dari Rabi'ah bin Abi `Abdurrahman yang bersumber dari Anas bin Malik r.a)

• Anas bin Malik r.a adalah Abu Nadhr Anas bin Malik al Anshari al Bukhari al Khazraji. Ia tinggal bersama Rasulullah saw dan membantu Beliau selama sepuluh tahun. Dan ia adalah sahabat yang paling akhir meninggal dunia di Bashrah, yaitu pada tahun 71 H.

• Perawi menghilangkan bilangan satuannya dari puluhan (digenapkan). Karena kebanyakan riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw tinggal di Mekkah sebagai Rasul 13 tahun, dan wafat pada usia 63 tahun.

"Aku tak pernah melihat orang yang berambut panjang terurus rapi, dengan mengenakan pakaian merah, yang lebih tampan dari Rasulullah saw. Rambutnya mencapai kedua bahunya. Kedua bahunya bidang. beliau bukanlah seorang yang berperawakan pendek dan tidak pula terlampau tinggi."

(diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghailan, dari Waki', dari Sufyan, Dari Abi Ishaq, yang bersumber dari al Bara bin `Azib r.a)

"Rasulullah saw. tidak berperawakan terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Beliau berperawakan sedang diantara kaumnya. Rambut tidak keriting bergulung dan tidak pula lurus kaku, melainkan ikal bergelombang. Badannya tidak gemuk, dagunya tidak lancip dan wajahnya agak bundar. Kulitnya putih kemerah- merahan. Matanya hitam pekat dan bulu matanya lentik, Bahunya bidang. beliau memiliki bulu lebat yang memanjang dari dada sampai ke pusat. Tapak tangan dan kakinya terasa tebal. Bila Beliau berjalan, berjalan dengan tegap seakan-akan Beliau turun ke tempat yang rendah. Bila Beliau berpaling maka seluruh badannya ikut berpaling. Diantara kedua bahunya terdapat Khatamun Nubuwah, yaitu tanda kenabian. Beliau memiliki hati yang paling pemurah diantara manusia. Ucapannya merupakan perkataan yang paling benar diantar semua orang. Perangainya amat lembut dan beliau paling ramah dalam pergaulan. Barang siapa melihatnya, pastilah akan menaruh hormat padanya. Dan barang siapa pernah berkumpul dengannya kemudian kenal dengannya tentulah ia akan mencintainya. Orang yang menceritakan sifatnya, pastilah akan berkata: "Belum pernah aku melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seistimewa Beliau saw."

(Diriwayatkan oleh Ahmad bin `Ubadah ad Dlabi al Bashri, juga diriwayatkan oleh `Ali bin Hujr dan Abu Ja'far bin Muhammad bin al Husein, dari `Isa bin Yunus, dari `Umar bin `Abdullah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari salah seorang putera `Ali bin Abi Thalib k.w. yang bersumber dari `Ali bin Abi Thalib k.w.)

Selasa, 18 Oktober 2016

Menyimpan, Jalan Keberhasilan




Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِسْتَعِيْنُوْا عَلَى إِنْجَاحِ حَوَائِجِكُمْ بِالْكِتْمَانِ
“Jadikan menyimpan sebagai penolong mendapatkan kebutuhan-kebutuhan kalian”(HR Thabarani)
Banyak jalan yang harus dilalui oleh manusia untuk mendapatkan maksud keinginan. Di antara cara yang mungkin sering dilupakan adalah Menyimpan (Kitmaan)  dalam arti tidak membeberkan maksud keinginan kepada orang lain sebelum keinginan itu tercapai. Hal ini karena setiap nikmat pasti diikuti oleh perasaan iri dari orang lain yang akibatnya sebelum nikmat itu didapatkan maka sangat mungkin orang lain akan melakukan upaya penggagalan. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpesan demikian seperti disebut dalam lanjutan hadits di atas:
...فَإِنَّ كُلًَ ذِيْ نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ
“...karena sungguh setiap pemilik nikmat itu dihasudi (ada orang yang iri kepadanya)”
Anjuran menyimpan ini sama sekali tidak bertentangan dengan  hadits-hadits yang menganjurkan supaya nikmat diceritakan kepada orang lain (Tahadduts Binnimah),  sebab menceritakan nikmat adalah ketika nikmat sudah didapat sementara menyimpan adalah ketika nikmat itu masih dalam harapan dan pencarian (belum didapatkan). Dari hadits ini orang-orang berakal (Uqala) mengambil pelajaran bahwa barang siapa hendak bermusywarah maka semestinya ia berusaha menyimpan dan melipat dengan baik rahasianya. Imam Syafii berkata, “Barang siapa menyimpan rahasianya maka kebaikan berpihak kepadanya” .
Sebagian ahli Hikmah berkata, “Barang siapa menyimpan rahasianya maka pilihan ada padanya. Betapa banyak membocorkan rahasia menjadi sebab darah pemiliknya mengalir dan mencegah maksud keinginan” sebagian lagi berkata, “Rahasiamu adalah darahmu, jika kamu ceritakan berarti kamu telah mengalirkan darahmu”.
Anu Syirwan berkata, “Ada dua keuntungan yang diperoleh dari menyimpan rahasia; mendapatkan maksud keinginan dan selamat dari bahaya yang mengancam” . Dalam tebaran hikmah juga dikatakan, “Milikilah sendiri rahasiamu, jangan titipkan kepada orang yang teguh yang bisa mengakibatkan dia runtuh. Atau orang bodoh yang menjadikan ia berulah” Kendati demikian ada sebagian rahasia yang mesti harus diketahui oleh teman dekat atau orang yang dimintai pendapat. Dalam kasus ini seorang harus berhati-hati dan meneliti sipakah orang yang layak ia percaya. Sebab tidak setiap orang yang dapat dipercaya memegang harta bisa dipercaya bisa menyimpan rahasia. Sungguh menjaga diri dari harta (Iffah) lebih mudah daripada menghindarkan diri dari membocorkan rahasia.
Ar Raghib berkata, “Menyebarkan rahasia pertanda minusnya kesabaran dan dada yang sempit di mana hal ini menjadi ciri lelaki lemah dan para wanita. Menyimpan rahasia menjadi hal yang sulit dilakukan karena manusia memiliki dua kekutan mengambil (Aakhidzah) dan kekuatan memberikan (Muthiyah) di mana keduanya sangat ingin mendapat aktivitas yang istimewa. Andai saja Allah tidak menentukan Muthiyah agar menampakkan isinya niscaya anda tidak akan mendapat kabar apapun dari orang yang tidak anda dorong (untuk memberikan kabar kepada anda). Karena itulah wajib bagi manusia untuk menahan kekuatan Muthiyah dan tidak melepaskannya kecuali jika wajib dilepaskan.

Jumat, 16 September 2016

Akibat Merampas Hak Orang Lain




[dan orang-orang zhalim akan mengetahui tempat seperti apakah yang kelak mereka tempati] QS As Syu'ara':227.  "

Lelaki miskin itu menghidupi isteri dan anak-anak dari hasil pekerjaannya sebagai seorang nelayan. Suatu hari ia mendapatkan hasil tangkapan seekor ikan besar. Dengan hati gembira ia menuju pasar untuk menjual ikat tersebut. Dalam hatinya terbersit bahwa nanti ikannya ini akan terjual dengan harga mahal yang berarti ia bisa memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya lebih banyak dari hari biasanya.

Malang...sebelum sampai di pasar, di tengah jalan ia bertemu dengan seorang yang menghentikan langkah semangatnya. Melihat nelayan lemah tersebut membawa ikan segar yang besar, orang itu memintanya. Tentu saja permintaan ini ditolak. Ia tetap memaksa, tetapi tetap saja permintaannya tidak digubris. Akhirnya ia memukul kepala si nelayan dengan kayu sehingga pingsan. Ia segera mengambil ikan dan membawanya pulang dengan gratis.
Setelah beberapa lama si nelayan tersadar dan mengingat kejadian barusan. Ia lalu berdo'a; "Ya Tuhanku! Engkau telah Menjadikanku orang yang lemah. Sementara Engkau Menjadikannya (perampas ikan) orang yang kuat dan jahat. Maka segeralah ambil hakku darinya.Ia telah menzhalimiku dan aku tidak sabar menunggu sampai di akhirat!"

Sementara itu, setelah sampai di rumah, perampas ikan itu segera menyuruh isterinya agar memasak ikan tersebut. Tak lama kemudian, masakan telah terhidang di meja makan. Ajaib, ketika tangan si perampas terjulur hendak menyantap ikan, tiba-tiba ikan membuka mulut dan menggigit jari-jari tangannya. Gigitan itu terasa sangat sakit sehingga sempat membuatnya tidak sadar. Melihat jari-jarinya terluka, ia segera ke dokter. Melihat luka yang begitu parah dan berbahaya itu, dokter mengatakan: "Obat luka ini adalah dengan memotong jari-jari. Jika tidak maka luka akan terus merambat ke telapak tangan".

Amputasipun dilakukan, tetapi luka tetap merambat ke telapak tangan dengan rasa sakit yang semakin bertambah dan tak terperihkan di tambah rasa khawatir nyawa akan melayang. Dokter pun memutuskan untuk mengamputasi telapak tangannya. Dan ternyata setelah telapak tangannya diamputasi, luka beralih ke lengan. Lelaki itu semakin tercekam kesedihan dan kebingungan. Akhirnya ia mengingat masih memiliki Tuhan sebagai tempat memohon pertolongan.

Doa-doa permohonan pun tiada henti mengalir sehingga akhirnya suatu saat ia tertidur di bawah naungan sebuah pohon rindang. Dalam tidur itulah ada seorang mendatangi dan berkata kepadanya; "Wahai orang miskin, sampai berapa lagi anggota badanmu yang akan diamputasi. Datanglah kepada orang yang kamu zhalimi dan mintalah kerelaannya!" Sampai di sini ia terbangun dan mencoba mengingat kembali mimpinya. Akhirnya ia sadar bahwa derita yang menimpanya adalah akibat kezhaliman yang dilakukannya kepada si nelayan lemah. Ia lalu mencari informasi di mana tempat tinggal si nelayan. Setelah berada di hadapan si nelayan, ia segera menjatuhkan diri di kaki si nelayan. Ia memelas dan memohon agar dimaafkan. Tidak hanya itu, ia juga menyerahkan sebagian hartanya kepada si nelayan. Akhirnya si nelayanpun memberikan maaf. Saat itulah seketika nyeri di lukanya berhenti hingga malam harinya ia bisa tidur dengan nyenyak. Dan Allah pun mengembalikan tangannya seperti sedia kala.

Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa alaihissalam: "Wahai Musa, andai saja lelaki itu tidak meminta maaf kepada orang yang dizhaliminya niscaya Aku terus akan menyiksanya seumur hidupnya"

 (al Mustathraf min kulli fann mustazhraf hal 160-161)

Mengikis Egoisme



Sungguh manusia tercipta dengan segala kelebihan dan kekurangan. Selain kebaikan, dalam diri anak keturunan Adam itu juga terdapat aneka warna keburukan, akan tetapi justru dalam keburukan inilah tersimpan Hikmah agung Ilahi, yaitu sebagai sarana ujian bagi manusia itu sendiri. Barang siapa yang hanyut dalam keburukan itu maka dia termasuk orang yang celaka dan merugi, sebaliknya keuntungan besar menanti manusia yang mampu mematahkan keburukan tersebut. Salah satu keburukan yang ditumbuhkan oleh Allah dalam diri setiap manusia adalah sikap mau menang sendiri, tak mau kalah dengan orang lain dan cenderung mendahulukan diri sendiri. Sikap seperti ini lazim disebut Egoisme atau Anaaniyyah. Contoh mudah dari sikap ini adalah ketika anda melihat sebuah foto anda bersama orang lain, maka pertama kali yang menjadi sasaran pandangan mata adalah gambar anda sendiri.

Sikap Egoisme ini jika diteliti lebih jauh ternyata menjelma dalam berbagai macam performa, antara lain:

1) Seperti dalam firman Allah:

إِنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا , إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا , وَإِذَا مَسَّـهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا

“Sesungguhnya manusia tercipta dengan bersifat keluh kesah, jika apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan maka ia kikir…”QS al Ma’aarij: 19 – 21.

Yaitu jika tertimpa bencana atau kesusahan maka manusia merasa sangat susah seakan tak akan ada lagi kebaikan yang datang serta ke sana kemari mengeluh dan meminta bantuan, tetapi sebaliknya jika mendapat nikmat dari Allah maka dia menjadi lupa diri dan enggan menularkan nikmat Allah itu kepada orang lain. Jangankan untuk suatu hal yang sunnah, hal yang wajib seperti zakatpun ia lupakan. Jadi dengan sikap seperti ini, manusia telah merampas hak Allah serta hak manusia, padahal sebelumnya saat tertimpa bencana dia mengeluh kepada Allah dan juga meminta kepada manusia. Dalam ayat lain, karena sifat ini Allah menyebut manusia sebagai sebagai orang yang pelit (Qotuur / Bakhiil), Dia berfirman: “… dan adalah manusia itu sangat kikir” QS al Isra’: 100.

Dalam rangka menyikapi watak seperti ini, manusia mendapat bimbingan dari Allah agar bersikap Ta’affuf atau menjaga diri dan tidak lepas kontrol kala kesusahan melanda, “…orang yang tidak tahu menyangka bahwa mereka orang–orang kaya karena mereka memelihara diri dari meminta–minta. Kamu kenal dengan sifat–sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak…”QS al Baqarah: 273, serta bersikap tepo seliro, bertoleransi kepada orang lain yang membutuhkan saat bisa memberikan bantuan.

2)       Seperti dalam firman Allah:

 وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِـيْنَ , الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَي النَّاسِ يَسْتَـوْفُوْنَ , وَإِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang–orang yang curang, (yaitu) orang–orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” QS al Muthaffifiin: 1–3.

Sikap hanya mau menang sendiri juga mendorong manusia untuk tidak mau dirugikan oleh orang lain tetapi suka merugikan orang lain, salah satunya adalah dengan menuntut kesempurnaan timbangan dan takaran kepada orang lain, sementara jika menimbang atau menakar untuk orang lain dia mengurangi. Seperti lazimnya firman Allah yang lain, ayat tersebut juga turun sebagai respon atas sebuah fenomena, Ibnu Abbas ra meriwayatkan: Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  datang di Madinah, penduduk Madinah biasa mengurangi takaran hingga lalu turunlah firman Allah di atas. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan  tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah mengurangi neraca itu” QS ar Rahmaan: 9.

3) Seperti dalam firman Allah:

 وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Dan bergaullah dengan mereka (isteri–isteri) dengan baik, lalu  jika kalian tidak menyukai mereka maka (bersabarlah) karena mungkin sekali kamu tidak menyukai sesuatu , padahal Allah menjadika padanya kebaikan yang banyak”QS an Nisa’: 19

Seorang suami wajib bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik (Mu’aasyarah Bil Ma’ruuf), semua suami mengerti akan hal ini, akan tetapi seringkali kewajiban ini terlupakan ketika suami melihat sebuah keburukan isterinya, perasaan dan prilakunya kepada isteri berubah manakala menyaksikan sesuatu yang tidak menyenangkan dari ibu anak–anaknya. Jika hal ini dituruti berarti seorang suami hanya menuruti egonya sendiri yang berupa hanya mau merasakan kesenangan dan kesempurnaan pasangan, tetapi tidak mau menerima kekurangan, karena inilah Nabi shallallahu alaihi wasallam berpesan:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا ءَاخَرَ

“Seorang mukmin (suami) jangan membenci mu’minah (isteri); jika dia marah terhadap suatu karakter darinya (isterinya) maka sangat mungkin dia rela akan karakter yang lain” HR Muslim

Ayat dan hadits ini memberikan arahan kepada suami agar jangan tergesa menyalahkan dan membenci isteri hanya karena prilaku isteri yang tidak berkenan di hati, Imam Sya’rani dalam Tanbiihul Mughtarriin menulis:

“Dan salah satu karakter para Salaf Sholeh adalah tabah dan bersabar menghadapi tingkah laku isteri yang tidak menyenangkan, mereka mengerti bahwa segala yang dilakukan oleh isteri tak lain adalah gambar hidup dari perlakuan mereka kepada Allah. Ini adalah kaidah mayoritas (Aktsariyyah) dan bukan keseluruhan. Para Salaf yang Sholeh itu juga masih tetap memberikan hak isteri secara penuh kendati isteri mereka melakukan pembangkangan”

4) Seperti dalam firman Allah:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْـهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”QS al Baqarah: 228.

Seperti isteri memiliki kewajiban, ia juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya kamu memberinya makan jika kamu makan, kamu memberikan pakaian jika kamu berpakaian, dan jangan memukul wajah, jangan menjelek–jelekkan dan jangan menjauhinya kecuali dalam rumah” HR Ibnu Hatim – Ibnu Jarir, dan termasuk hak isteri adalah menikmati kecantikan suami, Ibnu Abbas berkata: “Sesugguhnya aku suka berhias untuk isteriku seperti aku juga sangat suka jika isteriku berhias untukku”, artinya dalam rangka mewujudkan hak isteri yang berupa Mu’asyarah Bil Ma’ruuf seorang suami juga dituntut agar menghias diri, akan tetapi pada kenyataannya, egoisme mendorong banyak suami meminta pelayanan sempurna dari isteri sementara dia sendiri tidak mengimbangi pelayanan tersebut dengan servis memuaskan.

5) Keengganan Wanita untuk Dimadu

Egoisme juga menampak pada diri seorang wanita ketika mendengar bahwa sang suami akan menikah lagi, sepertinya tak ada isteri yang rela jika ada cinta untuk wanita lain dalam hati suaminya. Ini adalah naluri semua wanita, tetapi masalahnya adalah memiliki isteri lebih dari satu adalah hal yang diperbolehkan dan sah dilakukan jika memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan. Memang bukan sebuah hal yang mudah untuk menerima madu, tetapi inilah yang telah digariskan olehNya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلَي النِّسَاءِ وَالْجِهَادِ عَلَي الرِّجَالِ فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ إِحْتِسَابًا كَانَ لَهَا أَجْرُ شَهِيْدٍ

“Sesungguhnya Allah menuliskan Kecemburuan atas wanita dan Jihad atas para lelaki, maka barang siapa dari mereka (para wanita) yang ikhlas dan sabar maka baginya pahala orang mati syahid ”HR Thabarani / Disebut oleh Ibnul Jauzi dalam Ahkaamun Nisa’ : 151.

Kisah Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra bisa dijadikan teladan dalam masalah ini. Isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu bercerita: Nabi shallallahu alaihi wasallam datang, aku lalu berkata: Sudikah anda menikahi saudara saya (Azah)? Nabi shallallahu alaihi wasallam balik bertanya: “Apakah kamu suka dengan hal ini?” aku menjawab: “Saya tak akan pernah melarang anda (dari madu) dan saya sangat suka jika orang yang ikut bersama saya dalam kebaikan itu adalah saudara saya sendiri”. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda: “Tidak, dia tidak halal bagiku”(HR Muslim/Tahriimurrabibah Wa Ukhtul Mar’ah)

Peristiwa terkikisnya Egoisme dikisahkan oleh Allah terjadi dalam pribadi–pribadi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, di mana mereka adalah tipe manusia yang senantiasa berusaha membahagiakan orang lain meski mereka sendiri dalam keadaan susah, sikap seperti biasa disebut dengan Iitsaar, Allah berfirman:  

 ...وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَي أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ...

“…dan mereka mengutamakan (orang lain/muhajirin) atas diri mereka sendiri meski mereka sendiri sangat membutuhkan (apa yang mereka berikan)”QS al Hasyr: 9.

Abu Hurairah ra bercerita: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengeluh kepayahan serta kelaparan. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bertanya kepada para isteri, tetapi ternyata mereka semua tak memiliki sedikitpun makanan yang bisa disuguhkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam akhirnya bersabda: “Adakah seorang yang menyuguh lelaki ini pada malam ini?” seseorang (Abu Tholhah ra) kemudian menjawab: “Saya, wahai Rasulullah”. Lelaki itu kemudian pulang ke rumah dan berkata kepada isterinya: “Ini adalah tamu Rasulullah, jangan kamu menyimpan sesuatu makanan?” Isterinya menjawab: “Demi Allah saya tak menyimpan sedikitpun kecuali jatah makan malam untuk anak kita”. Lelaki itu berkata: “Jika anak kita meminta makan, maka tidurkan saja dia, dan matikan lampu, biarlah malam ini perut kita lapar”. Pagi harinya, lelaki tamu itu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda: “Sungguh Allah sangat heran dengan suami isteri itu”Muttafaq Alaih, setelah kejadian ini turunlah firman Allah seperti tersebut.