Translate

Rabu, 11 Januari 2017

Bulatnya Bumi Dalam Sudut Pandang Ulama Tafsir



Sekarang ini kita dibuat takjub - seiring dengan kemajuan ilmu di era penemuan dan penciptaan - oleh sebagian orang yang mengingkari hal-hal yang bersifat aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian; bersifat aksioma). Mereka masih saja berkata bahwa bumi adalah bidang datar bukan bulat, mereka selalu mengklaim pendapat tersebut kepada agama. Padahal ulama-ulama kita yang terdahulu Rahimahumullah, telah menyatakan bahwa bumi adalah bulat dengan mengemukakan dalil-dalil ilmiah dan rasional, jauh sebelum para astronaut mengelilingi bumi pada masa sekarang ini.

Di antara dalil-dalil rasional yang bersifat aksiomatis, yang dijadikan argumentasi oleh para ulama terdahulu atas bulatnya bumi adalah ungkapan mereka “Seandainya bumi berbentuk datar dan rata, maka matahari pasti terbit di seluruh negeri dalam waktu yang sama dan juga terbenam dalam waktu yang sama pula, karena matahari jauh lebih besar berjuta-juta kali dari bumi”.

Menurut ahli astronomi ukuran Matahari adalah 330.330 kali lebih besar daripada Bumi, Pelanet yang kita singgahi ini dihadapan Matahari hanyalah ibarat sebuah titik. Seandainya Bumi ini berbentuk menghampar seperti permadani, maka dapat dipastikan matahari akan menyinari penduduk Indonesia, Malaysia, Baghdad, Kairo, Makah, Damaskus, dan penduduk Spanyol bahkan dunia dalam waktu yang sama, dan juga terbenam pada waktu yang sama pula. Lalu mengapa terjadi perbedaan terbit dan terbenamnya matahari yang kadang sampai 12 jam; dengan asumsi jika waktu terbit matahari di Indonesia atau Asia misalnya, adalah waktu terbenamnya matahari di Amerika atau Kanada, maka yang demikian itu merupakan bukti nyata atas bulatnya bumi. Bagaimana dengan pandangan para Ulama Islam, Ahli tafsir terkemuka di masa Islam.

PANDANGAN IBNU TAIMIYAH TENTANG BULATNYA BUMI

Syeikh Al Islam Ibnu Taimiyah lahir 661 H /1263 – 728 H / 1328 M. Dalam kitabnya Al-Fatawa, mengatakan: “ada kesamaan bulan dan tahun dengan hari dan minggu; hari secara alami ditentukan sejak terbitnya matahari hingga terbenam, sedangkan minggu adalah bersifat bilangan yang berpatokan pada enam hari dimana Allah telah menciptakan langit dan bumi di dalamnya. Sehingga terjadilah keseimbangan antara matahari dan bulan, hari dan minggu berdasarkan perjalanan matahari, sementara bulan dan tahun berdasarkan perjalanan bulan. Berdasarkan keduannya itu, sempurnalah hitungan hari”

Sementara menurut Al Alusi “Semuanya yang dipaparkan Al Qur’an telah diperkuat dengan serangkaian bukti dari ahli-ahli astronomi moder” dikutip dari syiehk Muhammad Mahmud Ash shawwaf, Al Muslimun wa ‘Ilmu Al-Falak, hal.44.

Menurut Syieh Ali Ash Shobuni dalam karyanya Harakat Al-Ardh wa Dauranuha, beliau mengatakan: “mengenai Pengertian (حُسْبَانًا) dalam firman Allah SWT:

وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا

“Dan (Allah) telah menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.” (Al An’am (06) : 96). Dan dalam ayat yang lain.

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (S. Arrahman (55) : 5)
Ada yang mengatakan dari “Al-Hisabu” ‘Matematis’, dan yang lain berpendapat dengan makna “Husbanu” ‘Perhitungan’ , sebagai mana perhitungan gerak dan putaran batu penghiling, yaitu peredaran lintasan benda-benda langit. Pendapat ini sudah tidak diperselisihkan lagi, karena memang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama telah bersepakat, bahwa berdasarkan hasil penelitian para pakar astronomi, bentuk pelanet bumi adalah bulat, bukan datar”.

Pada kesempatan lain dalam kitab Al-Fatawa: VI/586, Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bentuk langit dan bumi, “Apakah keduanya bulat?” Beliaunya menjawab, “Menurut para ilmuan muslim, bentuk langit adalah bulat, dan dikisahkan dari ijma’ umat Islam, bahwa yang mensetujui pendapat ini dari kalangan para ulama tidaklah sedikit, mereka itu seperti Ahmad bin Ja’far Al-Munadi; salah seorang ulama dari pengikut Imam Ahmad yang telah menulis sekitar 400 buku, Imam Ibnu Hazm dan Abu Al-Fajar bin Al-Jauzi. Mereka menguraikannya dengan dalil yang telah popular.” adalah firman Allah SWT.

كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ.

“Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS. Al-anbiyaa’ (21): 33).
Masih dalam kitab Harakat Al-Ardh wa Dauranuha; Ibnu Abbas dan ulama salaf yang lain berkata: “Garis edar adalah seperti tempat pusaran alat pemintal. Ungkapan ini memperjelas, bahwa garis edar adalah berbentuk bulat dan berputar.
Adapun kata Falak “فلك” secara etimologis berarti; sesuatu yang bulat. Ada sebuah ungkapan:

تَفَلَّكَ ثَدْيُ الجاريَةِ إذاَ اسْتَدَارَ.

“Buah dada gadis itu akan disebut ‘Tafallaka’ bila mana telah membulat”
Demikian alat pemintal; disebut falakah “فلكة”, karena bentuknya bulat.”
Para Mufasir dan pakar bahasa telah sepakat bahwa pengertian Falak “فلك” adalah sesuatu yang bulat. 

Adapun untuk mengetahui makna-makna dari kitab suci Al-Qur’an, senantiasa didasarkan pada dua cara sebagai berikut:

1. Dari ahli tafsir yang terpercaya dari ulama salaf.
2. Dari bahasa yang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa tersebut, yaitu bahasa arab.
Allah SWT telah berfirman:

يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ.

“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.” (QS. Azzumar (39) : 5)
Pengertian at-takwir “التكوير” adalah at-tadwir “التدوير” yaitu menjadikan bulat. Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab:

كَوَّرْتُ اْلعِمَامَةَ إذا دَوَّرَتْهَا.

“Surban (yang ada dikepala) akan dikatakan ‘kuwwirat’ bilamana berbentuk bulat”
Dan sesuatu yang melingkar atau bulat akan disebut kaaratun “كارة” dari kata kauratun “كورة”
PENDAPAT MUFASSIR AL-QUR’AN TENTANG BUMI YANG BULAT
Disini saya akan mencoba mengutip beberapa pendapat para ahli tafsir seputar bulatnya bumi, agar para pelajar kita, generasi penerus kita yang sedang mempelajari ilmu-ilmu modern mengetahui bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu modern dan agama:
Pertama: Imam Al-Baidhawi -Seorang mufassir dari kelompok mutaqaddimin, lahir kurun 13, wafat 1286 - menafsirkan firman Allah:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً

“Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap” (Q.S Al-Baqarah (02): 22)

Yakni, Bumi disediakan untuk manusia agar dapat duduk dan tidur di atasnya, seperti tikar yang terhampar. Hal ini tidaklah mengandung pengertian bahwa bentuk bumi itu menghampar walaupun bumi itu bundar (bulat), namun oleh karena fisiknya yang amat besar, hal ini tidak berarti bahwa ia tidak bisa digunakan untuk tempat duduk, tidur dan sebagainya. (وَالسَّمَاءَ بِنَاءً) Dan langit sebagai bangunan, Yakni atap yang tinggi dan berada jauh di atas bumi sebagaimana halnya keadaan kubah. (Tafsir Al-Baidhawi, Surah Al Baqarah :22)

Kedua: Firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’d:

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا

“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.” (Q.S Ar-Ra’d (13): 3)

Yakni, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya telah membentangkan bumi dan memanjangkan lagi luas, agar manusia dapat bertempat tinggal di atasnya. Seandainya seluruh bumi berupa jurang-jurang, bukit-bukit dan tidak ada tanah-tanah datar yang membentang, maka dapat dipastikan manusia tidak mungkin dapat hidup disana. Berkenaan dengan hal itu Ibnu Jazyi mengatakan dalam kitab tafsirnya; yang bernama At tashil Fi Ulum At Tanzil sebagai berikut, “Kata membentang , memanjang dan melingkar tidaklah menafikan akan bentuk bumi yang bulat, karena masing-masing bagian dari bumi memang datar, namun secara kesatuan bumi itu bulat” (Ibnu Jazyi Al Kalabi 1321 – 1357 ( 36 – 35) dalam At tashil Fi Ulum At Tanzil, II/130)

Ketiga: Imam Al Alusi saat mentafsirkan firman Allah SWT:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ بِسَاطًا

“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan”
Beliau mengungkapkan, “Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa bentuk bumi itu datar bukan bulat. Karena bola bumi yang sedemikian besar, menjadikan orang-orang yang berada di dalamnya akan melihat kondisi sekelilingnya datar terhampar. Sebenarnya keyakinan tentang bulat atau tidak bulatnya bentuk bumi, bukanlah merupakan suatu keharusan dalam syari’at Islam. Akan tetapi, bulatnya bentuk bumi telah menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya. Adapun maksudnya ‘Allah telah menjadikannya terhampar’ adalah; bahwa kamu semua dapat berhilir mudik di dalamnya sebagaimana engkau berhilir mudik di atas hamparan. (Al Alusi  10 Des 1802 - 29 july 1854., Tafsir Ruh Al Ma’ani, XXIX/76)

Perhatikanlah ulama kita terdahulu betapa ilmu dan pengetahuan mereka telah sedemikian luasnya, dan betapa pandangan serta pemahaman mereka telah sedemikian cemerlang, pada saat umat manusia belum ada yang mengetahui ilmu-ilmu alam, kecuali hanya sedikit saja. Semua itu tidak lain karena keluasan ilmu pengetahuan, wawasan serta cahaya nurani dan keikhlasan hati mereka. Adalah sangat mengherankan apa yang kami dengar bahwa separuh dari para pelajar, mengingkari sesuatu yang bisa dilihat dengan mata kepala serta menyangkal sesuatu yang sudah pasti dan telah menjadi kenyataan pada masa sekarang ini.

Allahu A’lam bis Shawab

Minggu, 08 Januari 2017

Wanita Jatuh Cinta



Dalam studi ilmu Fiqih pendapat terkuat mengatakan bahwa hukum lelaki melihat wanita lain (Ajnabiyyah) adalah haram. Sebaliknya wanita melihat lelaki lain (Ajnabi) cuma sampai pada batas Makruh. Ini karena lelaki lebih bisa untuk melaksanakan dan menuruti rasa tertarik yang muncul akibat memandang. Sementara wanita tidaklah demikian, meski dari segi dorongan keinginan lebih kuat daripada lelaki. Sungguh sebesar apapun dorongan dan syahwat wanita kepada lelaki, hal itu tidak akan banyak berpengaruh sebab rasa malu dalam diri wanita juga sangat tinggi. Dari sinilah kemudian kebanyakan pertemuan dan perjodohan yang lebih banyak memainkan peranan adalah pihak pria dan jarang sekali sebaliknya.

Nabi SAW bersabda:

فَضُلَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى الرَّجُلِ بِتِسْعَةٍ وَتِسْعِيْنَ جُزْأً مِنَ اللَّذَّةِ وَلَكِنَّ اللهَ أَلْقَى عَلَيْهِنَّ الْحَيَاءَ

“Kaum wanita mengalahkan pria dengan 99 bagian dari kelezatan (Syahwat), hanya saja Alloh menuangkan rasa malu atas mereka( HR Baihaqi dari Abu Huroiroh)

Ini menunjukkan bahwa ketika rasa malu telah lepas dari wanita maka dengan mudahnya ia menuruti perasaan dan tanpa kontrol lagi ia berbuat apa saja untuk mendapatkan keinginannya dari pria. Inilah yang terjadi dan dialami oleh Zulaikho ketika ia jatuh cinta kepada Nabi Yusuf as. Gagal dengan keinginannya maka tanpa sungkan ia mengatakan bahwa ia tidak bersalah dan bahkan melakukan makar untuk menjebloskan Nabi Yusuf as ke dalam penjara.

Peristiwa hilangnya rasa malu dari wanita dan menjadikannya lupa diri untuk selanjutnya melakukan upaya  demi memuaskan hasrat juga tergambar dengan jelas dalam kisah masyhur Rojul Miski,  seorang yang dari tubunya mengeluarkan aroma wangi.

Kisahnya adalah pemuda yang terkenal sangat tampan menjaga toko kain ayahnya. Seorang wanita tua datang membeli kain. Setelah jual beli selesai wanita tua itu berkata, Maaf, aku tidak membawa uang cukup. Maukah kamu ikut denganku untuk mengambil uang ke rumahku? Pemuda itupun mengikuti wanita tua tersebut ke rumahnya. Ternyata sebuah rumah megah yang indah seperti istana. Sesudah pemuda itu masuk maka semua pintu rumah dikunci dan muncul - lah seorang wanita muda yang cantik jelita. Wanita itu mendekat dan mengajak berbuat mesum si pemuda dengan berkata, Kemarilah, aku sudah lama merindukan anda! pemuda itupun tanpa sadar mendesis, Alloh. Selanjutnya ia mencari akal untuk melepaskan diri. Ia lalu pamit ke kamar mandi dan di sana ia berak dan lalu melumurkan semua kotoran ke tubuhnya sehingga saat keluar dari kamar mandi, wanita muda yang memaksanya untuk berbuat zina segera mengusirnya karena menganggapnya sebagai orang gila.

Mulai saat itu dari tubunya keluar bau wangi hingga ia terkenal sebagai seorang lelaki berbau minyak misik (Rojul Miski) .

Pemberani, Keponakan Para Pemberani


Zuber bin Awam



Ibunya adalah Shofiyyah binti Abdul Muttolib, sedang ayahnya adalah Awam bin Khuwailid. Ini berarti dari ibu Zuber adalah keponakan Abu Tholib, Abbas dan Hamzah. Sedang dari ayah ia adalah keponakan Khodijah al Kubro dan Naufal. Kisah keislaman Zuber bermula pada suatu hari saat dia berkunjung ke rumah bibinya Khodijah dan menyaksikan Ali bin Abi Tholib sedang sholat.

Karena belum mendengar mengenai Dakwah Nabi Saw, apa yang dilakukan oleh Ali tersebut membuat Zuber terheran – heran dan bergumam: “Apa yang dilakukan oleh Ali ini, apa maksud gerakan – gerakan ruku, sujud dan berdiri ini?”  setelah Ali menyelesaikan sholatnya, Zuber segera bertanya: “Wahai sepupuku, apa yang barusan kamu lakukan?” Ali menjawab: “Barusan aku sholat kepada Tuhan semesta alam” dengan suara mengeras Zuber membantah: “Bukankah kamu dulu sholat kepada tuhan – tuhan kita di Ka’bah?” dengan agak gemetar Ali menjawab: “Apakah berhala – berhala itu kamu sebut Tuhan?”  dengan bingung Zuber menjawab: “Aku tidak menyebutnya demikian, tetapi yang para orang tua dan nenek moyang kami” Ali bertanya: “Lalu apakah kamu mengikuti agama nenek moyangmu?” Zuber menjawab: “Ia, dan kamu wahai Ali, apakah tidak mengikuti agama nenek moyangmu sepertiku?” dengan marah Ali menjawab: “Sesungguhnya nenek moyang kita berada dalam kesesatan yang nyata, mereka menyembah batu – batu bisu yang tak membawa manfaat juga tak bisa membahayakan, bahkan tidak bisa merasa. Kamu juga bisa melempari wajahnya dengan batu dan ia tak akan pernah membuka mulut, atau juga bisa kamu injak dan ia tak akan pernah bergerak”. Melihat Zuber yang ternganga dan melototinya, Ali terus berkata: “Wahai Zuber jika kucing kamu pukul maka ia akan mengeong dan bila anjing kamu pukul maka dia akan menyalak, tetapi jika kamu pukul berhala itu dengan tongkat atau kamu lempar dengan batu maka ia akan dia saja”

Sampai di sini Ali diam, Zuber lalu bertanya dengan lirih: “Jika begitu, lantas siapa Tuhanmu yang tadi kamu sholat kepadanya?” Ali menjawab: “Dia Pencipta langit dan bumi, Tuhan semesta alam”  “Terus di mana Dia bisa ditemukan?” tanya Zuber. Ali menjawab: “Dia bisa ditemukan di segala tempat dan masa di seluruh dunia, Dia ada dalam roh yang menghidupkanmu”  saat itulah Khodijah datang dan menyaksikan wajah – wajah yang terlibat dalam debat sengit. Khodijah bertanya: Ada apa wahai Ali dan Zuber? Zuber menjawab: “Sepupuku ini memberitahukan kepadaku tentang Tuhan Pencipta langit dan bumi, Tuhan semesta alam” Khodijah berkata: “Benar,  wahai keponakanku. Sungguh kami telah beriman dengan Tuhan itu, dan kami telah masuk ke dalam agama islam yang turun kepada Muhammab bin Abdillah al Amiin”  “Muhammad putera pamanku Abdulloh, Muhammad yang jujur dan terpercaya?” tanya Zuber setengah menjerit. Selanjutnya Zuber bertanya: “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk masuk ke dalam islam wahai bibiku? Khodijah menjawab: “Ucapkanlah: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh”!. Zuber lalu mengucapkan syhadat dan ketika Nabi Saw datang di rumah pada sore hari, Khodijah membawa Zuber ke hadapan Beliau, lalu Zuber kembali mengulang mengucap syahadat.

Sesampai di rumah, Shofiyyah melihat aura wajah anaknya berbeda, ia bertanya: Ada apa denganmu wahai anakku? Zuber balik bertanya: “Memangnya apa yang engkau lihat wahai ibuku?”  Shofiyyah menjawab: Aku melihat ada sinar cerah di dadamu dan binar kegembiraan di wajahmu. Zuber berkata: “Memang begitulah Bu, itu adalah cerah islam dan cahaya iman”  mendengar ini Shofiyyah kaget dan bertanya agak keras: Kamu menyebut “Islam” wahai anakku? Zuber menjawab: “Benar wahai ibuku, sungguh saya telah masuk islam di hadapan Muhammad, sungguh Alloh telah mengutusnya dengan agama baru yaitu islam, sebuah agama yang menuntun manusia kepada terang dan kebaikan, mengajak mereka mengenal Alloh Pencipta dunia seisinya dan menunjukkan mereka jalan lurus serta menjauhkan mereka dari jalan sesat dan gelap” Shofiyyah terdiam, hatinya seakan menerima dan akalnya pun tunduk. Beberapa saat keheningan tercipta dan lalu terpecah oleh pertanyaan Zuber: “Apakah Ibu tidak menyukai islam?” Shofiyyah menjawab: Wahai anakku, kamu memiliki paman – paman pemimpin dan orang mulia Quresy, mereka, utamanya Abu Tholib, Abbas dan Hamzah, aku belum mendapat kejelasan bagaimana sikap mereka terhadap islam, sudah pasti mereka akan mempertimbangkan hal ini dan akupun akan mengikuti mereka.

Berita keislaman Zuber terdengar dan menjadi bahan perbincangan penduduk Makkah. Saat orang – orang Quresy sedang memperbincangkan masalah tersebut di sisi Ka’bah, Naufal bin Khuwailid datang dan bertanya: Apa yang sedang kalian bicarakan? Abu Jahal menjawab: Kami sedang membicarakan keislaman keponakanmu Zuber. Terkejut dengan berita ini, Naufal berkata: “Zuber keponakanku masuk islam, selamanya dia tak akan lepas dari hukumanku”. Naufal pun berhasil menangkap Zuber, pada suatu hari dia memanggil Zuber dan ketika Zuber datang maka kemudian dia mengurungnya dan dimulailah drama penganiayaan. Zuber dikurung di dalam kamar sempit dan gelap, di kamar itu kemudian Naufal membakar kayu – kayu dan tikar hingga Zuber tercekik oleh asap. Setelah merasa puas membuat sesak nafas Zuber, Naufal membuka pintu kamar dan asap pun keluar. Akan tetapi berulang kali Naufal mengulang – ulang perlakukan tersebut sambil berkata: Wahai Zuber, kamu akan terus menerima hukuman ini selama islam tidak kamu tinggalkan dan kembali kepada agama nenek moyang. Zuber menjawab: “Aku tak akan pernah kembali kepada agama kalian, agama sesat dan kebodohan” dengan marah Naufal membalas kata – kata Zuber ini: Kalau begitu kamu akan terus mendapat siksaan ini sampai kamu mampus. Tanpa rasa takut Zuber berkata: “Sungguh indah mati di jalan islam dan iman” Naufal berkata: Tetapi aku adalah pamanmu yang juga harus kamu taati seperti ayahmu. Zuber menjawab: “Aku akan taat kepadamu pada sesuatu yang meridhokan Alloh dan RosulNya”


Perdebatan antara Naufal dan Zuber terus berlangsung sampai pada titik akhir kesabaran Zuber, anak muda itu secara mengagetkan dan dengan suara keras berkata di muka pamannya: “Sekarang usiaku sudah tujuh belas tahun, tak ada kekuasaan apapun bagimu atas diriku, jika kamu tidak membebaskanku dari siksaan ini maka aku akan melawanmu seakan kamu bukan pamanku, aku akan membela diri dengan pedang dan kekuatanku, dan jangan anda lupakan bahwa aku juga memiliki paman – paman pemuka Quresy; Abu Tholib, Hamzah dan Abbas” Ancaman Zuber ini berhasil membuat Naufal berubah fikiran, pamannya itu melihat keseriusan melawan dan membalas di wajah sang keponakan hingga akhirnya Naufal memutuskan melepaskan Zuber. 

Si Bocah Penggembala Domba


Abdulloh bin Mas’ud


Saat sedang asyik menggembalakan domba – domba milik tuan Uqbah bin Abi Mu’ith, bocah  bernama Abdulloh itu dikejutkan oleh dua orang yang datang dalam keadaan seperti habis lari dari pengejaran. Kedua orang itu tiada lain adalah Nabi Saw dan Abu Bakar ra. Memang keduanya baru saja melarikan diri dari orang – orang musyrik. Keduanya bertanya: Wahai bocah, adakah susu yang bisa kamu berikan untuk kami minum? Abdulloh menjawab: Maaf saya hanya orang yang mendapat kepercayaan (kambing – kambing ini bukan milik saya sendiri). Keduanya bertanya: Apakah ada anak kambing betina yang belum pernah dikawini oleh pejantan? Abdulloh menjawab: Ia, ada. Abdulloh segera membawa anak kambing yang diminta dan oleh Abu Bakar kambing itu segera diikat.

Nabi Saw kemudian memegang kantong susunya dan berdo’a dan ajaib, mendadak kantong susu anak kambing itu membesar. Abu Bakar lalu mengambil batu berlubang tengah yang bisa dijadikan sebagai tempat memeras. Nabi Saw lalu memeras susu anak kambing itu dan meminum susunya bersama Abu Bakar dan kemudian memberikan sisanya kepada Abdulloh. Selesai minum Nabi Saw bersabda: “Berkerutlah!” maka kantong susu anak kambing itupun kembai seperti semula.


Tak lama sesudah kejadian itu Abdulloh datang kepada Rosululloh Saw dan menyatakan diri masuk islam serta meminta: “Ajarilah saya dari ungkapan yang indah itu (Alqur’an)” Nabi Saw menjawab: “Sesungguhnya kamu adalah seorang bocah yang diberi ilmu”. Dalam sebuah kesempatan Abdulloh bin Mas’ud berkata: Aku lalu mengambil dari Rosululloh Saw tujuh puluh surat yang tak seorangpun menentangku tentang tujuh puluh tersebut”.