Translate

Jumat, 16 September 2016

Akibat Merampas Hak Orang Lain




[dan orang-orang zhalim akan mengetahui tempat seperti apakah yang kelak mereka tempati] QS As Syu'ara':227.  "

Lelaki miskin itu menghidupi isteri dan anak-anak dari hasil pekerjaannya sebagai seorang nelayan. Suatu hari ia mendapatkan hasil tangkapan seekor ikan besar. Dengan hati gembira ia menuju pasar untuk menjual ikat tersebut. Dalam hatinya terbersit bahwa nanti ikannya ini akan terjual dengan harga mahal yang berarti ia bisa memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya lebih banyak dari hari biasanya.

Malang...sebelum sampai di pasar, di tengah jalan ia bertemu dengan seorang yang menghentikan langkah semangatnya. Melihat nelayan lemah tersebut membawa ikan segar yang besar, orang itu memintanya. Tentu saja permintaan ini ditolak. Ia tetap memaksa, tetapi tetap saja permintaannya tidak digubris. Akhirnya ia memukul kepala si nelayan dengan kayu sehingga pingsan. Ia segera mengambil ikan dan membawanya pulang dengan gratis.
Setelah beberapa lama si nelayan tersadar dan mengingat kejadian barusan. Ia lalu berdo'a; "Ya Tuhanku! Engkau telah Menjadikanku orang yang lemah. Sementara Engkau Menjadikannya (perampas ikan) orang yang kuat dan jahat. Maka segeralah ambil hakku darinya.Ia telah menzhalimiku dan aku tidak sabar menunggu sampai di akhirat!"

Sementara itu, setelah sampai di rumah, perampas ikan itu segera menyuruh isterinya agar memasak ikan tersebut. Tak lama kemudian, masakan telah terhidang di meja makan. Ajaib, ketika tangan si perampas terjulur hendak menyantap ikan, tiba-tiba ikan membuka mulut dan menggigit jari-jari tangannya. Gigitan itu terasa sangat sakit sehingga sempat membuatnya tidak sadar. Melihat jari-jarinya terluka, ia segera ke dokter. Melihat luka yang begitu parah dan berbahaya itu, dokter mengatakan: "Obat luka ini adalah dengan memotong jari-jari. Jika tidak maka luka akan terus merambat ke telapak tangan".

Amputasipun dilakukan, tetapi luka tetap merambat ke telapak tangan dengan rasa sakit yang semakin bertambah dan tak terperihkan di tambah rasa khawatir nyawa akan melayang. Dokter pun memutuskan untuk mengamputasi telapak tangannya. Dan ternyata setelah telapak tangannya diamputasi, luka beralih ke lengan. Lelaki itu semakin tercekam kesedihan dan kebingungan. Akhirnya ia mengingat masih memiliki Tuhan sebagai tempat memohon pertolongan.

Doa-doa permohonan pun tiada henti mengalir sehingga akhirnya suatu saat ia tertidur di bawah naungan sebuah pohon rindang. Dalam tidur itulah ada seorang mendatangi dan berkata kepadanya; "Wahai orang miskin, sampai berapa lagi anggota badanmu yang akan diamputasi. Datanglah kepada orang yang kamu zhalimi dan mintalah kerelaannya!" Sampai di sini ia terbangun dan mencoba mengingat kembali mimpinya. Akhirnya ia sadar bahwa derita yang menimpanya adalah akibat kezhaliman yang dilakukannya kepada si nelayan lemah. Ia lalu mencari informasi di mana tempat tinggal si nelayan. Setelah berada di hadapan si nelayan, ia segera menjatuhkan diri di kaki si nelayan. Ia memelas dan memohon agar dimaafkan. Tidak hanya itu, ia juga menyerahkan sebagian hartanya kepada si nelayan. Akhirnya si nelayanpun memberikan maaf. Saat itulah seketika nyeri di lukanya berhenti hingga malam harinya ia bisa tidur dengan nyenyak. Dan Allah pun mengembalikan tangannya seperti sedia kala.

Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa alaihissalam: "Wahai Musa, andai saja lelaki itu tidak meminta maaf kepada orang yang dizhaliminya niscaya Aku terus akan menyiksanya seumur hidupnya"

 (al Mustathraf min kulli fann mustazhraf hal 160-161)

Mengikis Egoisme



Sungguh manusia tercipta dengan segala kelebihan dan kekurangan. Selain kebaikan, dalam diri anak keturunan Adam itu juga terdapat aneka warna keburukan, akan tetapi justru dalam keburukan inilah tersimpan Hikmah agung Ilahi, yaitu sebagai sarana ujian bagi manusia itu sendiri. Barang siapa yang hanyut dalam keburukan itu maka dia termasuk orang yang celaka dan merugi, sebaliknya keuntungan besar menanti manusia yang mampu mematahkan keburukan tersebut. Salah satu keburukan yang ditumbuhkan oleh Allah dalam diri setiap manusia adalah sikap mau menang sendiri, tak mau kalah dengan orang lain dan cenderung mendahulukan diri sendiri. Sikap seperti ini lazim disebut Egoisme atau Anaaniyyah. Contoh mudah dari sikap ini adalah ketika anda melihat sebuah foto anda bersama orang lain, maka pertama kali yang menjadi sasaran pandangan mata adalah gambar anda sendiri.

Sikap Egoisme ini jika diteliti lebih jauh ternyata menjelma dalam berbagai macam performa, antara lain:

1) Seperti dalam firman Allah:

إِنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا , إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا , وَإِذَا مَسَّـهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا

“Sesungguhnya manusia tercipta dengan bersifat keluh kesah, jika apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan maka ia kikir…”QS al Ma’aarij: 19 – 21.

Yaitu jika tertimpa bencana atau kesusahan maka manusia merasa sangat susah seakan tak akan ada lagi kebaikan yang datang serta ke sana kemari mengeluh dan meminta bantuan, tetapi sebaliknya jika mendapat nikmat dari Allah maka dia menjadi lupa diri dan enggan menularkan nikmat Allah itu kepada orang lain. Jangankan untuk suatu hal yang sunnah, hal yang wajib seperti zakatpun ia lupakan. Jadi dengan sikap seperti ini, manusia telah merampas hak Allah serta hak manusia, padahal sebelumnya saat tertimpa bencana dia mengeluh kepada Allah dan juga meminta kepada manusia. Dalam ayat lain, karena sifat ini Allah menyebut manusia sebagai sebagai orang yang pelit (Qotuur / Bakhiil), Dia berfirman: “… dan adalah manusia itu sangat kikir” QS al Isra’: 100.

Dalam rangka menyikapi watak seperti ini, manusia mendapat bimbingan dari Allah agar bersikap Ta’affuf atau menjaga diri dan tidak lepas kontrol kala kesusahan melanda, “…orang yang tidak tahu menyangka bahwa mereka orang–orang kaya karena mereka memelihara diri dari meminta–minta. Kamu kenal dengan sifat–sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak…”QS al Baqarah: 273, serta bersikap tepo seliro, bertoleransi kepada orang lain yang membutuhkan saat bisa memberikan bantuan.

2)       Seperti dalam firman Allah:

 وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِـيْنَ , الَّذِيْنَ إِذَا اكْتَالُوْا عَلَي النَّاسِ يَسْتَـوْفُوْنَ , وَإِذَا كَالُوْهُمْ أَوْ وَزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang–orang yang curang, (yaitu) orang–orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” QS al Muthaffifiin: 1–3.

Sikap hanya mau menang sendiri juga mendorong manusia untuk tidak mau dirugikan oleh orang lain tetapi suka merugikan orang lain, salah satunya adalah dengan menuntut kesempurnaan timbangan dan takaran kepada orang lain, sementara jika menimbang atau menakar untuk orang lain dia mengurangi. Seperti lazimnya firman Allah yang lain, ayat tersebut juga turun sebagai respon atas sebuah fenomena, Ibnu Abbas ra meriwayatkan: Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  datang di Madinah, penduduk Madinah biasa mengurangi takaran hingga lalu turunlah firman Allah di atas. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan  tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah mengurangi neraca itu” QS ar Rahmaan: 9.

3) Seperti dalam firman Allah:

 وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Dan bergaullah dengan mereka (isteri–isteri) dengan baik, lalu  jika kalian tidak menyukai mereka maka (bersabarlah) karena mungkin sekali kamu tidak menyukai sesuatu , padahal Allah menjadika padanya kebaikan yang banyak”QS an Nisa’: 19

Seorang suami wajib bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik (Mu’aasyarah Bil Ma’ruuf), semua suami mengerti akan hal ini, akan tetapi seringkali kewajiban ini terlupakan ketika suami melihat sebuah keburukan isterinya, perasaan dan prilakunya kepada isteri berubah manakala menyaksikan sesuatu yang tidak menyenangkan dari ibu anak–anaknya. Jika hal ini dituruti berarti seorang suami hanya menuruti egonya sendiri yang berupa hanya mau merasakan kesenangan dan kesempurnaan pasangan, tetapi tidak mau menerima kekurangan, karena inilah Nabi shallallahu alaihi wasallam berpesan:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا ءَاخَرَ

“Seorang mukmin (suami) jangan membenci mu’minah (isteri); jika dia marah terhadap suatu karakter darinya (isterinya) maka sangat mungkin dia rela akan karakter yang lain” HR Muslim

Ayat dan hadits ini memberikan arahan kepada suami agar jangan tergesa menyalahkan dan membenci isteri hanya karena prilaku isteri yang tidak berkenan di hati, Imam Sya’rani dalam Tanbiihul Mughtarriin menulis:

“Dan salah satu karakter para Salaf Sholeh adalah tabah dan bersabar menghadapi tingkah laku isteri yang tidak menyenangkan, mereka mengerti bahwa segala yang dilakukan oleh isteri tak lain adalah gambar hidup dari perlakuan mereka kepada Allah. Ini adalah kaidah mayoritas (Aktsariyyah) dan bukan keseluruhan. Para Salaf yang Sholeh itu juga masih tetap memberikan hak isteri secara penuh kendati isteri mereka melakukan pembangkangan”

4) Seperti dalam firman Allah:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْـهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”QS al Baqarah: 228.

Seperti isteri memiliki kewajiban, ia juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya kamu memberinya makan jika kamu makan, kamu memberikan pakaian jika kamu berpakaian, dan jangan memukul wajah, jangan menjelek–jelekkan dan jangan menjauhinya kecuali dalam rumah” HR Ibnu Hatim – Ibnu Jarir, dan termasuk hak isteri adalah menikmati kecantikan suami, Ibnu Abbas berkata: “Sesugguhnya aku suka berhias untuk isteriku seperti aku juga sangat suka jika isteriku berhias untukku”, artinya dalam rangka mewujudkan hak isteri yang berupa Mu’asyarah Bil Ma’ruuf seorang suami juga dituntut agar menghias diri, akan tetapi pada kenyataannya, egoisme mendorong banyak suami meminta pelayanan sempurna dari isteri sementara dia sendiri tidak mengimbangi pelayanan tersebut dengan servis memuaskan.

5) Keengganan Wanita untuk Dimadu

Egoisme juga menampak pada diri seorang wanita ketika mendengar bahwa sang suami akan menikah lagi, sepertinya tak ada isteri yang rela jika ada cinta untuk wanita lain dalam hati suaminya. Ini adalah naluri semua wanita, tetapi masalahnya adalah memiliki isteri lebih dari satu adalah hal yang diperbolehkan dan sah dilakukan jika memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan. Memang bukan sebuah hal yang mudah untuk menerima madu, tetapi inilah yang telah digariskan olehNya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلَي النِّسَاءِ وَالْجِهَادِ عَلَي الرِّجَالِ فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ إِحْتِسَابًا كَانَ لَهَا أَجْرُ شَهِيْدٍ

“Sesungguhnya Allah menuliskan Kecemburuan atas wanita dan Jihad atas para lelaki, maka barang siapa dari mereka (para wanita) yang ikhlas dan sabar maka baginya pahala orang mati syahid ”HR Thabarani / Disebut oleh Ibnul Jauzi dalam Ahkaamun Nisa’ : 151.

Kisah Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra bisa dijadikan teladan dalam masalah ini. Isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu bercerita: Nabi shallallahu alaihi wasallam datang, aku lalu berkata: Sudikah anda menikahi saudara saya (Azah)? Nabi shallallahu alaihi wasallam balik bertanya: “Apakah kamu suka dengan hal ini?” aku menjawab: “Saya tak akan pernah melarang anda (dari madu) dan saya sangat suka jika orang yang ikut bersama saya dalam kebaikan itu adalah saudara saya sendiri”. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda: “Tidak, dia tidak halal bagiku”(HR Muslim/Tahriimurrabibah Wa Ukhtul Mar’ah)

Peristiwa terkikisnya Egoisme dikisahkan oleh Allah terjadi dalam pribadi–pribadi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, di mana mereka adalah tipe manusia yang senantiasa berusaha membahagiakan orang lain meski mereka sendiri dalam keadaan susah, sikap seperti biasa disebut dengan Iitsaar, Allah berfirman:  

 ...وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَي أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ...

“…dan mereka mengutamakan (orang lain/muhajirin) atas diri mereka sendiri meski mereka sendiri sangat membutuhkan (apa yang mereka berikan)”QS al Hasyr: 9.

Abu Hurairah ra bercerita: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengeluh kepayahan serta kelaparan. Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bertanya kepada para isteri, tetapi ternyata mereka semua tak memiliki sedikitpun makanan yang bisa disuguhkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam akhirnya bersabda: “Adakah seorang yang menyuguh lelaki ini pada malam ini?” seseorang (Abu Tholhah ra) kemudian menjawab: “Saya, wahai Rasulullah”. Lelaki itu kemudian pulang ke rumah dan berkata kepada isterinya: “Ini adalah tamu Rasulullah, jangan kamu menyimpan sesuatu makanan?” Isterinya menjawab: “Demi Allah saya tak menyimpan sedikitpun kecuali jatah makan malam untuk anak kita”. Lelaki itu berkata: “Jika anak kita meminta makan, maka tidurkan saja dia, dan matikan lampu, biarlah malam ini perut kita lapar”. Pagi harinya, lelaki tamu itu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda: “Sungguh Allah sangat heran dengan suami isteri itu”Muttafaq Alaih, setelah kejadian ini turunlah firman Allah seperti tersebut.   

Rabu, 14 September 2016

Efektifitas Doa

Oleh: Abina KH. M. Ihya' Ulumiddin.


Dalam bahasa Doa adalah merendah untuk meminta dan rasa rindu akan sesuatu kebaikan yang dimiliki oleh orang yang dimintai. Secara Istilah, Doa adalah meminta dengan merendahkan diri atau menghaturkan kebutuhan ( Hajat ) kepada Sang Maha Meninggikan derajat.  Imam al Khotthobi berkata,  Esensi Doa adalah permintaan Inayah ( perhatian ) seorang hamba kepada Alloh serta pernyataan akan ketiadaan daya upaya kecuali dari Alloh . Imam Nawawi menyatakan,  Madzhab yang dipilih yang telah disepakati oleh ahli fiqih, ahli hadits dan Jumhur ulama salaf & kholaf, Berdoa hukumnya Mustahab (sunnah), tetapi terkadang menjadi wajib seperti halnya berdoa dalam sholat jenazah. Ini berdasarkan firman Alloh, dan Tuhan kalian berfirman,  Berdoalah kalian niscaya Aku akan mengabulkan  QS Ghofir : 60. Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam bersabda yang artinya, Barang siapa yang tidak meminta kepada Alloh maka Alloh marah kepadanya  HR Ibnu Majah. Tanpa memandang pendapat bahwa yang lebih baik adalah diam ( tidak berdoa) dan ridho akan kepastian Alloh, yang pasti dalam berdoa ada banyak sekali keuntungan. Antara lain:
Sarana mendapat Ampunan Dari sini kemudian tidak diperkenankan berdoa memohonkan ampunan untuk orang  orang kafir meski masih keluarga sendiri Abu Bakar ra pernah meminta, “Ajarkanlah kepada saya do’a yang akan saya baca dalam sholat !” Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda, “ Ucapkanlah!”:

أَللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيْرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“ Ya Alloh sungguh saya telah banyak sekali menganiaya diri sendiri dan tiada yang memberi
 ampunan kecuali Engkau. Maka berikanlah ampunan kepadaku dari sisiMu. Kasihanilah daku. Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih” HR Bukhori.
Jalan Menuju Kemenangan. Jika dalam pertempuran, seseorang membutuhkan senjata maka doa merupakan senjata yang paling ampuh untuh mendapatkan kemenangan,  Doa adalah senjata orang beriman.... HR Hakim. Doa menjadi sebuah peluang tipis menjadi besar,  Jangan kalian merasa susah dalam berdoa. Sungguh tak ada seorang pun hancur bila ia bersama doa HR Hakim. Muwarroq berkata,  Aku tidak menemukan perumpamaan bagi orang beriman kecuali seseorang yang bertumpu pada sebuah kayu di lautan  dan ia berdoa, Ya Alloh, ya Alloh  mungkin sekali Alloh Menyelamatkannya Doa menjadikan sesuatu yang secara akal sulit terjadi menjadi sebuah kenyataan yang menakjubkan. Ingat Makkah yang ketika itu tak lebih hanya gurun sahara tetapi karena doa Nabi Ibrohim as akhirnya menjadi kota tujuan banyak orang dan segala kesejahteraan bisa dirasakan oleh penduduknya. Doa juga menjadikan sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Rosululloh SAW meminta minum, Umar bin Akhtob segera menyodorkan bejana berisi air. Kebetulan ada sehelai rambut di dalamnya. Umar lalu mengambil rambut itu dan baru kemudian menyodorkan kepada Rosululloh SAW. Selesai minum maka Beliau SAW berda,  Ya Alloh, baguskanlah ia  berkah doa ini. Umar meski telah berusia 93 tahun tak satupun ada uban di rambutnya. HR Ahmad.
Doa  menolak Qodho. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “.Kewaspadaan tidak bisa menyelamatkan dari kepastian ( Qodar ). Sedang Do’a bermanfaat  dari sesuatu yang telah terjadi dan sesuatu yang belum terjadi. Sungguh bencana pasti akan turun, kemudian disambut oleh Do’a. Mereka kemudian  saling beradu sampai hari kiamat “ HR Hakim. Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:

لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ


“ Qodho tidak bisa dicegah kecuali oleh do’a “ HR Turmudzi / Ibnu Majah / Ibnu Hibban
Imam Ibnul Qoyyim al Jauzi berkata: Do’a merupakan musuh bencana. Do’a mampu menolak, mencegah, menghilangkan atau paling tidak meringankan bencana. Ada tiga kemungkinan perbandingan di antara doa dan bencana; 1) doa lebih kuat, maka dipastikan ia menolak bencana, 2) bencana lebih kuat sehingga bencana tetap datang. Kendati demikian doa tetap saja memberi pengaruh meringankan bencana, 3) keduanya sama seimbang dalam kekuatan sehingga keduanya terus terlibat dalam pertempuran sampai hari kiamat seperti disebut dalam hadits riwayat Hakim di atas. Berangkat dari sini, seorang hamba harus rajin berdoa dan melakukan usaha  usaha untuk memenangkan doa dan mengalahkan bencana ( Qodho) di antara langkah tersebut adalah a) sangat bersungguh  sungguh atau ngotot (Ilhah ) seperti sabda Nabi Shollallohu alaihi wasallam yang artinya,  Sesungguhnya Alloh Mencintai orang  orang yang ngotot dalam berdoa  HR Ibnu Majah. b) tidak tergesah  gesah ( Istijaal). “Seorang hamba senantiasa dikabulkan selama.... tidak tergesah  gesah para sahabat bertanya: Apakah itu tergesah  gesah ? Beliau Shollallohu alaihi wasallam menjawab,  ia berkata: “Aku telah berdo’a, aku telah berd’a tetapi tidak dikabulkan “ sesudah itu ia merasa lemah dan akhirnya meninggalkan berdo’a “ HR Muslim.  c) keyakinan bahwa do’a pasti dikabulkan. Sabda Nabi Shollallohu alaihi wasallam:

أُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ . وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdo’alah kalian kepada Alloh seraya meyakini pasti dikabulkan. Dan mengertilah bahwa Alloh tidak menerima do’a dari orang yang hatinya lalai dan lupa “ HR Turmudzi.
Kendati meyakini bahwa doa mesti dikabulkan, harus pula dimengerti bahwa warna pengkabulan tidaklah satu, tetapi beberapa macam. Ada kalanya berupa sesuai permintaan dalam seketika, sesuai permintaan tetapi ditunda karena ada Hikmah, atau bisa jadi berupa selain yang diminta. Sebab bisa jadi selain yang diminta lebih baik bagi peminta daripada apa yang diminta. Dari Abu Said al Khudri ra, Nabi Shollallohu alaihi wasallam yang artinya, “ Tiada seorang muslim yang mengajukan suatu permohonan ( Doa / Dakwah ) yang di sana tiada unsur dosa dan memutus tali keluarga kecuali Alloh pasti Memberinya salah satu tiga hal; 1) segera Dia Mengabulkan permintaannya , 2) Menyimpan permintaan itu untuk akhirat 3) Dia Memalingkan darinya bencana yang sepadan dengan permintaan  Para sahabat berkata: Kalau begitu kami akan memperbanyak. Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda,  Alloh lebih banyak . HR Ahmad.

Jumat, 09 September 2016

Akibat Iri Hati



"Apakah mereka iri kepada orang-orang karena mendapatkan  anugeraNya"QS An Nisa':54.

Entah karena apa Badui itu begitu disukai oleh Khalifah al Mu'tashim sehingga ia bisa bebas keluar masuk istana dan bahkan ruang keluarga Khalifah tanpa izin. Hal demikian ternyata membuat seorang menteri iri hati. Dalam hati, menteri beranggapan bahwa jika hal demikian dibiarkan bisa jadi Khalifah akan semakin dekat dengan Badui itu dan menjadikan ada jarak antara dirinya dan Khalifah.
Menteri yang sudah dikuasai iri hati inipun membuat rencana. Ia lalu mengundang Badui untuk makan di rumahnya. Undangan itu bersambut dan usai makan, menteri yang memang sengaja memperbanyak bawang dalam campuran masakan berkata: "Hati-hati, jangan mendekat kepada Amirul Mukminin (Khalifah) karena Beliau akan mencium bau bawang dari mulut. Perlu kamu tahu bahwa Beliau tidak suka dengan bau bawang!"

Selanjutnya menteri datang dan berbicara kepada Khalifah: "Wahai paduka, sungguh Badui itu telah menyebarkan isu bahwa Amirul Mukminin mulutnya bau (Abkhar) sehingga ia sangat terganggu karenanya".

Beberapa lama kemudian, ucapan menteri ini terbukti kepada Khalifah. Badui itu datang dan menghadap Khalifah sambil menutup mulut dengan lengan bajunya karena khawatir Khalifah terganggu bau mulutnya. Menyaksikan aksi yang tidak seperti biasanya, dalam hati Khalifah berkata; "Ucapan menteri kepadaku tentang Badui ini ternyata benar".

Khalifah kemudian menulis surat kepada salah seorang gubernurnya yang berisi; "Jika surat ini sampai kepadamu maka penggal kepala orang yang membawanya!" usai surat itu ditulis dan dikemas, Khalifah pun memanggil si Badui; "Antarkanlah surat ini kepada gubernurku dan jangan kembali kepadaku kecuali dengan membawa jawabannya!" Badui itu dengan senang hati menerima dan mengantarkan surat. Baru saja ia keluar dari pintu Istana, menteri mencegatnya dan bertanya; "Hendak ke manakah anda?" Badui menjawab: "Saya akan mengantarkan surat Khalifah kepada salah seorang gubernurnya" jawaban ini membersitkan di hati menteri; "Badui ini pasti akan mendapatkan harta benda banyak sekali jika menjalankan tugas ini" akhirnya menteri menawarkan: "Wahai Badui, bagaimana menurutmu jika ada orang yang bersedia memberimu uang dua ribu Dinar dan menggantikanmu menanggung kepayahan dan resiko perjalanan?" Badui menjawab: "Anda orang besar, anda orang yang bijak. Jika anda memiliki usul maka silahkan!" menterti berkata: "Berikanlah surat itu kepadaku!" Badui pun memberikan surat itu kepada menteri sekaligus juga menerima dua ribu dinar darinya. Menteri lalu bergegas melakukan perjalanan mengantarkan surat Khalifah. Selesai membaca surat Khalifah, gubernur segera memerintahkan agar kepala menteri itu dipenggal.

Beberapa hari kemudian Khalifah ingat akan Badui itu dan juga menanyakan ke mana mentertinya. Akhirnya ia mendapatkan kabar bahwa Badui ada di rumahnya sementara si menteri memang beberapa hari ini tidak menampakkan diri. Kabar ini membuat Khalifah heran dan memerintahkan supaya Badui itu dipanggil ke istana. Di hadapan Khalifah, Badui pun menceritakan semua peristiwanya bersama menteri. Kisah itupun ditutup dengan pengangkatan si Badui sebagai menteri.

Imam al Ashmui bercerita;
Aku bertemu dengan seorang Badui yang sudah berusia 120 tahun. Aku bertanya; "Betapa panjang usia anda. Kiranya apa resepnya?" Badui itu menjawab: "Aku meninggalkan iri hati sehingga aku masih hidup sampai hari ini"

 (al Mustathraf min kulli fann mustazhraf hal 305-306)

Akibat Enggan Berzakat






"...dan tiada mereka tidak mau berzakat kecuali Allah menahan hujan dari mereka" HR Thabarani.

Kisah 1

Muhammad bin Yusuf  al Faryabi bercerita:
Aku dan beberapa orang teman datang berkunjung kepada Abu Sinan. Sampai di sana Beliau segera mengajak kami bertakziah kepada tetangganya yang barusan saudaranya meninggal dunia. Setelah mengucap salam dan masuk, kami mendapatkan lelaki yang ditinggal saudaranya itu sangat sedih dan terus menerus menangis. Kami duduk dan mencoba menghiburnya tetapi rupanya upaya kami tidak berhasil. Kamipun mengatakan: "Bukankah anda mengerti bahwa kematian adalah jalan yang harus dilewati?" lelaki itu menjawab; "Memang, tetapi aku menangisi keadaan saudaraku yang kini menjalani siksa" "Apakah Allah memperlihatkan hal gaib kepada anda?" tanya kami. Ia menjawab: "Tidak, hanya ketika menguburnya dan para pengantar jenazah sudah pulang aku duduk di sisi kuburnya. Tiba-tiba dari dalam kuburnya ada suara; "aah, mereka membiarkan diriku sendirian menjalani siksaan. Padahal dulu aku shalat juga berpuasa".

Lelaki itu melanjutkan kisahnya: "Kata-kata itu menjadikanku menangis hingga memutuskan untuk menggali kuburnya. Ternyata kuburan itu penuh dengan api menyala-nyala. Terlihat di lehernya tergantung kalung dari api. Kasih sayang sebagai saudara mendorong tanganku terjulur untuk melepas kalung tersebut dari lehernya. Tanganku pun terbakar dan menghitam. Saudaraku lalu mengulurkan tangannya yang hitam terbakar kepadaku. Akupun segera menutup kuburnya dan bergegas pulang. Bukankah sangat pantas jika aku menangisinya?"

Kami lalu bertanya: "Memangnya bagaimanakah perilaku saudaramu dulu semasa hidupnya?" lelaki itu menjawab: "Dulu ia tidak mau mengeluarkan zakat harta bendanya" kami pun berkata: [Inilah bukti kebenaran firman Allah, "Dan janganlah orang-orang yang pelit akan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari anugerahNya  menyangka bahwa itu lebih baik bagi mereka. Justru itu buruk atas mereka; kelak hari kiamat akan dikalungkan apa yang mereka enggan memberikannya"QS Ali Imran:180, dan saudaramu termasuk orang yang disegerakan siksanya di kuburnya hingga hari kiamat]

Setelah pamit kepada Abu Sinan selanjutnya Muhammad binYusuf dan teman-temannya datang kepada Abu Dzarr ra sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menceritakan kisah tersebut. Mereka berkata: "Yahudi dan Nashrani mati, tetapi hal demikian tidak pernah kami saksikan terjadi di kalangan mereka" Abu Dzarr ra menjawab: "Orang-orang itu (Yahudi dan Nashrani) sudah pasti di neraka. Sementara Allah memperlihatkan hal demikian kepada kalian supaya kalian bisa mengambil pelajaran, "Barang siapa bisa melihat maka manfaat untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang buta maka beresiko atas dirinya sendiri"QS al An'aam:104.
(Kitabul Kabair bab Man'uz Zakat.. Imam Dzahabi)

Kisah 2

Pada masa Ibnu Abbas ra ada seorang yang kaya raya. Ketika ia lelaki kaya itu meninggal dunia maka para penggali kubur menemukan ada ular besar tiba-tiba muncul di liang kubur. Hal ini segera disampaikan kepada Ibnu Abbas ra dan oleh sahabat sekaligus sepupuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu disarankan agar menggali liang lagi. Mereka pun menggali liang baru lagi. Ternyata mereka mendapatkan kembali ular besar itu. Mereka terus menggali liang baru sampai akhirnya mendapatkan tujuh liang dan semuanya sama, ular besar tiba-tiba berada di liang tersebut. Mendengar hal ini Ibnu Abbas ra bertanya kiranya bagaimanakah perilaku orang kaya itu? Orang-orang menjawab: "Ia dulu enggan berzakat" Ibnu Abbas ra pun memerintahkan supaya lelaki itu dikubur bersama ular tersebut"

(al Majalis As Saniyyah syarah al Arbain an Nawawiyyah hadits ke 23)

Kamis, 08 September 2016

Akibat Mengakhirkan Shalat



"Amal yang paling disukai Allah adalah menyegerakan shalat shalat pada awal waktunya"HR Thabarani.

Dikisahkan sebagian Salaf ikut menguburkan saudara perempuannya. Tanpa sadar kantong uang miliknya jatuh ikut terkubur. Dalam perjalanan pulang barulah ia sadar bahwa kantong uangnya ikut terkubur bersama jenazah saudara perempuannya. Ia begegas kembali untuk mengambilnya. Ketika ia menggali kuburan saudara perempuannya itulah ia melihat api sedang berkobar di dalamnya. Niat untuk mengambil kantong uang akhirnya ia urungkan dan segera ia menutup kembali kuburan.

Sesampai di rumah dan sambil menangis ia mengadu; "Wahai ibuku, ceritakanlah kepadaku tentang saudara perempuanku. Apa yang pernah ia lakukan?" Sang ibu dengan rasa penasaran balik bertanya; "Ada perlu apa kamu menanyakan hal itu?" ia lalu menjelaskan: "Duhai ibuku, saya melihat kuburnya penuh dengan api menyala-nyala" Jawaban ini kontan membuat sang ibu menangis. Akhirnya dengan air mata yang masih menetes, sang ibu menjelaskan: "Wahai anakku, saudara perempuanmu dulu suka meremehkan shalat sehingga mengakhirkannya dari waktu yang semestinya"
(Irsyadul Ibad bab Tahrim Ta'khir as shalat an waqtihaa amdan)



Poligami dan Kecemburuan Wanita




Ghoilan bin Salamah ats Tsaqofi ketika masuk Islam memiliki sepuluh isteri[1]. Umairoh al Asadi ketika memeluk Islam  memiliki delapan isteri[2]. Sementara Naufal bin Muawiyah addiyali ketika masuk islam mempunyai lima orang isteri[3]. Hal itu mereka sampaikan kepada Nabi SAW dan Beliau SAW lalu memerintahkan, “Pilihlah empat dari mereka!”. Dari hadits – hadits ini semua ulama sepakat bahwa lelaki diperbolehkan memperisteri lebih dari satu dan tidak lebih dari empat wanita. Sementara sekelompok Syi’ah mengatakan bahwa lelaki boleh mempunyai isteri lebih dari empat yaitu sampai sembilan isteri. Dan ada yang lebih gila lagi sampai pada batas yang tidak ditentukan. Keabsahan memiliki isteri sampai empat dinyatakan jelas dalam firman Alloh:

...فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ َمثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ...
“....maka kawinilah wanita – wanita yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat...”QS an Nisa’: 3.

Diperbolehkan menikah dengan empat wanita bila memang seorang suami bisa berbuat adil. Jika tidak bisa berbuat adil maka cukup beristeri satu saja sebagaimana dalam lanjutan ayat”...jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil maka kawinilah seorang saja atau budak – budak yang kamu miliki”QS an Nisa’:3. maksud adil di sini adalah adil dalam memberi nafkah dan menggiliri. Adapun adil dalam cinta, kasih sayang dan senggama maka sungguh hal ini di luar batas kemampuan manusia. Mungkinkah hati bisa sama dalam bersimpati kepada isteri yang lebih mudah dan lebih cantik?. Suatu hal mustahil bila hati disuruh sama dalam ketertarikan kepada warna hitam dan warna putih. Karena itulah Nabi SAW sendiri selaku manusia yang paling bertaqwa dan paling adil menyatakan kepasrahan kepada Alloh:

أَللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا لاَ أَمْلِكُ

“Ya Alloh inilah giliran yang bisa saya lakukan maka jangan Engaku cela diriku karena sesuatu yang tak mampu aku kuasai”

Sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh siapapun yang dimaksud dalam hadits ini adalah cinta dan senggama. Usaha apapun yang dilakukan  untuk menyamakan perasaan cinta dan hasrat kepada semua isteri adalah suatu hal yang sia – sia. Alloh menegaskan, “Dan kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara para isteri meski kalian sangat ingin berbuat demikian....”QS an Nisa’: 129. Karena adil dalam urusan cinta dan senggama suatu hal yang tidak mungkin dilakukan maka Alqur’an memberikan bimbingan agar jangan sampai karena begitu besar cinta kepada salah seorang isteri kemudian isteri yang lain dibiarkan terkatung – katung. “...karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung – katung”QS an Nisa’: 129. yang dilarang dalam ayat ini adalah terlalu cenderung, bukan cenderung. Sebab cenderung adalah watak manusia dan ini oleh Islam tidak disalahkan.  Oleh sebagian orang ayat QS an Nisa’ : 129 ini disalah artikan dan dijadikan senjata untuk melarang dan tidak membenarkan poligami dan dengan tanpa malu menyatakan bahwa poligami itu boleh jika adil sementara semua lelaki tak ada yang bisa adil. Ini berarti poligami adalah sebuah larangan. Sungguh pendapat ini tak lain hanya muncul dari Egoisme bukan dari ilmu dan penafsiran Alqur’an secara benar yang berupa bahwa keadilan yang dituntut dan menjadi syarat diperbolehkannya poligami adalah keadilan dalam memberi nafkah dan menggiliri. Sementara dalam hal cinta, kasing sayang dan seterusnya merupakan sesuatu di luar batas kemampuan manusia yang hal ini juga berpeluang menjadikan suami tidak adil dalam menggiliri dan memberi nafkah. Karena itulah Alqur’an memberikan peringatan  sebagai sebuah tindakan antisipasi.

Di samping sebagai sebuah keyakinan yang harus ditanamkan kuat dalam hati, diperbolehkannya poligami (Ta’addudu zaujaat) harus pula dimengerti sebagai suatu hal yang Urgensi dalam kehidupan ini. Apalagi Poligami bukanlah suatu syariat yang baru. Sejak lama Poligami itu dijalani dengan tanpa aturan dan batas tertentu. Islam kemudian datang dengan memberikan aturan yang jelas dan lebih adil dalam poligami. Islam datang pada kondisi di mana banyak lelaki berpoligami dengan lebih dari empat isteri sebagaimana yang dilakukan oleh nama – nama yang telah tersebut di atas. Islam kemudian memberikan batasan maksimal empat dan bahkan mengharuskan satu saja kalau memang tak ada kemampuan berbuat adil dalam Nafaqoh dan Qosmu (Nggiliri. Jawa). Jika sebelumnya poligami menjadi salah satu sarana menuruti hawa nafsu dan mencari kesenangan (Istimta’) belaka maka Islam menjadikan poligami sebagai sarana menuju kehidupan yang lurus dan mulia. Lebih dari itu, Poligami merupakan sebuah syariat yang sebenarnya menjadi salah satu dari berbagai hal yang harus dibanggakan dari berbagai warna syariat Islam.  Poligami adalah obat, atau solusi dari penyakit dan berbagai kesulitan yang selama ini banyak mendera masyarakat pada detik ini. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk bisa sembuh dan lepas dari masalah kecuali kembali kepada hukum dan aturan Islam.

Sungguh di sana banyak hal yang menjadikan poligami sebagai sebuah urgensi; misalnya isteri mandul atau sakit yang menjadikan suaminya tidak mungkin lagi bisa menahan diri (Tahasshun). Mughiroh bin Syu’bah ra, sahabat yang biasa menikah empat wanita sekaligus dan menceraikan empat sekaligus ini tercatat pernah mengatakan, “Jika suami hanya mempunyai seorang isteri maka suami itu ikut sakit bila isteri sakit. Suami ikut Haid bila isteri haid. Dan jika suami cuma memiliki dua isteri maka ia bagaikan hidup di antara dua kobaran api”. Dari berbagai hal yang menjadikan poligami sebagai urgensi yang paling penting adalah keharusan adanya keseimbangan dalam masyarakat. Dua sisi timbangan harus sama tidak boleh ada yang condong ke kanan atau ke kiri. Dan semestinya agar keseimbangan ini tercipta, jumlah kaum pria harus sama dengan jumlah wanita. Jika jumlah wanita lebih banyak atau jumlah pria lebih banyak, apa yang mesti harus dilakukan. Upaya model apa yang harus dikerahkan, langkah seperti apa yang harus dijalankan untuk menanggulangi kenyataan jumlah wanita lebih banyak dari jumlah pria? Apakah wanita harus terhalang dari merasakan nikmatnya menjadi seorang isteri dan asyiknya menjadi seorang ibu yang menyusui dan menimang bayi? Apakah wanita akan dibiarkan menyusuri jalan berlubang menuju jurang pergaulan bebas,  perzinaan dan perselingkuhan sebagaimana telah terjadi di Eropa ketika jumlah wanita melonjak di atas jumlah pria pasca perang Dunia kedua?. Atau apakah kemelut ini diatasi dengan cara – cara yang mulia dan manusiawi dan lebih menghargai wanita dan keluarganya? Akal sempurna dan masih waras tentu memilih dan menyatakan bahwa mengikat wanita dengan ikatan suci serta merangkulnya bersama wanita lain untuk bernaung di bawah perlindungan seorang lelaki itu lebih mulia, lebih utama daripada membiarkan wanita menjadi kekasih gelap dan teman selingkuh seorang lelaki dengan ikatan dan hubungan penuh dosa serta diancam dengan panasnya api neraka.

Seorang dosen wanita di salah satu perguruan tinggi Jerman menyatakan, “Sesungguhnya solusi bagi wanita Jerman adalah diperbolehkannya Poligami” lebih lanjut dosen wanita yang beragama kristen itu mengakui: “Aku lebih memilih menjadi isteri kesepuluh seorang lelaki  yang baik dan bertanggung jawab daripada menjadi isteri tunggal seorang lelaki yang lemah dan tidak bertanggung jawab” Pada 1948, seusai perang dunia kedua persatuan pemuda Jerman yang mengadakan Munas di Munich membuat suatu kata sepakat yang sangat bertentangan dengan aturan gereja yang melarang keras Poligami. Munas tersebut membuat kata sepakat dan mengumumkan: “Poligami merupakan suatu hal yang sah dilakukan untuk mengatasi jumlah wanita yang sangat jauh di atas jumlah pria pasca perang dunia kedua”. Jika keputusan ini diambil pada 58 tahun silam, tentu keputusan ini semakin sesuai dengan realitas sekarang di mana angka kelahiran bayi pria jauh lebih sedikit dengan angka kelahiran bayi wanita.

Sungguh jauh hari sebelum keputusan ini dibuat, 14 Abad sebelum keputusan ini muncul, Islam telah terlebih dahulu mengambil poligami sebagai sebuah solusi yang paling efektif dan bermoral. Tidak seperti yang dilakukan oleh Nashroni yang tetap diam dan cenderung tak peduli dengan situasi serta enjoy dengan fenomena perzinaan dan perselingkuhan. Sungguh sejak 13 Abad yang lalu Islam bahkan telah memberi penghargaan tinggi kepada suami yang bisa dan memiliki kemampuan berpoligami sebagai manusia yang tangguh dan bermoral yang memiliki keunggulan daripada yang lain. Abdulloh bin Abbas ra berkata:
          خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ أَكْثَرُهُمْ نِسَاءً
“Sebaik – baik umat ini adalah yang paling banyak wanitanya”

Jika melihat sejarah manusia mulia terdahulu, nyaris tak ada dari mereka yang beristrikan hanya seorang wanita. Nabi Ibrohim as misalnya, selain beristrikan wanita cantik jelita bernama Saroh, Beliau juga menggauli Hajar dan terlahirlah Nabi Ismail. Secara akal, andai Nabi Ibrohim tidak berpoligami tentu bangsa Arab sekarang tidak tercatat dalam daftar manusia yang pernah menghuni bumi. Nabi Ya’qub as juga demikian, Beliau juga berpoligami sehingga disebutkan dari satu isterinya terlahir Yusuf dan Bun’yamin sementara dari isteri yang lain terlahir saudara – saudara Nabi Yusuf as. Nabi Dawud as tercatat memiliki seratus isteri. Nabi Sulaiman as bahkan disebutkan memiliki 500 isteri dan Rosululloh SAW sendiri dalam versi Anas tercatat pernah menikah dengan lima belas wanita. Dua ditalak sebelum berkumpul, dua ditalak setelah berkumpul dan dua meninggal di masa hidup Beliau SAW dan ketika meniggal Beliau SAWmeninggalkan 9 isteri.


Kecemburuan Wanita

Poligami, sebuah solusi penuh hikmah yang telah ditawarkan Islam sebagai langkah menanggulangi melonjaknya jumlah wanita jauh di atas pria, ternyata tidak hanya terhalang oleh musuh – musuh Islam sendiri, tetapi justru solusi ini banyak terjegal oleh kaum wanita sendiri. Mayoritas wanita menolak jika suami menikah lagi meski suaminya orang yang mampu melaksanakan hal itu. Bahkan ada sebagian wanita yang lebih memilih bercerai daripada hidup bersanding dengan madu. Memang untuk bisa bersanding dengan madu bukanlah suatu hal yang mudah. Karena itulah Islam memberi penghargaan sangat mahal bagi setiap wanita yang mampu memberi kesempatan atau bahkan mencarikan isteri untuk suaminya seperti halnya Islam menghargai dan memuji lelaki yang dengan adil merawat  banyak isteri. Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلى النِّسَاءِ وَالْجِهَادَ عَلَى الرِّجَالِ . فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ إِحْتِسَابًا كَانَ لَهَا أَجْرُ شَهِيْـدٍ
“Sesungguhnya Alloh Menulis Ghoiroh (cemburu) atas para wanita dan menulis Jihad atas para lelaki. Maka barang siapa dari mereka (para wanita) sabar akan hal itusemata karena Alloh  maka baginya pahala orang mati syahid” HR Thobaroni.

Surga penuh dengan kenikmatan yang tak terbayangkan oleh indera manusia. Di sana  tak ada susah tak ada payah, yang ada hanya gembira dan tertawa. Aneka ragam kelezatan dipersilahkan untuk dirasakan sepuas – puasnya selamanya tak akan ada habisnya. Sungai – sungai Arak, susu dan madu mengalir jernih tak ada putusnya. Di sana juga ada telaga Kautsar milik Rosululloh SAW yang paling banyak didatangi oleh manusia pada saat itu.  Indah dan sungguh menggairahkan serta mengobarkan kecemburuan manusia beriman untuk segera memasukinya. Akan tetapi dari para penduduk surga yang tenggelam dalam lautan nikmat dan anugerah Alloh itu, ada sekelompok orang yang justru ingin kembali lagi ke dunia. Perasaan ini muncul setelah mereka menyaksikan betapa besar dan luas anugerah  dan kemuliaan yang Alloh yang curahkan atas orang – orang yang terbunuh di jalan Alloh. Mereka berharap bisa kembali ke dunia semata karena ingin berjihad dan terbunuh berkali- kali sehigga kenikamatan dan anugerah yang mereka terima semakin bertambah melimpah.

Wanita tidak dituntut untuk berjihad / berperang di jalan Alloh, ini berarti kesempatan mati sebagai Syahid tidak ada. Akan tetapi wanita masih mendapat kesempatan meraih pahala seorang Syahid jika ia mampu mengikis Egoismenya dan mematahkan dorongan kecemburuannya untuk selanjutnya merelakan suaminya menikahi wanita lain yang juga memiliki keinginan sama dengannya, yaitu menjadi seorang isteri dan ibu yang baik bagi anak – anaknya. Untuk bisa bersikap seperti ini sungguh teramat sulit dan sepertinya tidak mungkin. Maklum karena balasan dari sikap ini adalah surga dan bukan hanya surga, tetapi derajat tinggi di surga berupa derajat orang – orang yang Syahid. “Surga itu dikepung dengan hal - hal yang tidak menyenangkan (Makaarih) sedang neraka dikepung dengan hal – hal yang menyenangkan (Syahawaat)” Apapun usaha yang dilakukan oleh isteri untuk tidak membagi suaminya dengan wanita lain , tak lebih hanya usaha yang efektif di dunia ini saja. Sebab kelak di akhirat, isteri harus mau membagi suaminya dengan para bidadari surga. “Seorang isteri tidak menyakiti suaminya di dunia kecuali bidadari isteri suaminya berkata: “Jangan menyakitinya, sungguh ia tak lebih hanya sebagai tamumu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan (datang) kepada kami” HR Turmudzi Ahmad Ibnu Majah.

Wanita mulia, bukan hanya wanita yang mampu memberikan ketenangan dan layanan memuaskan kepada suaminya. Lebih dari itu, wanita mulia adalah wanita yang mampu menahan diri dan tidak terbawa emosi begitu mendengar suaminya menikah lagi. Inilah karakter wanita sholehah masa lalu di mana mereka bukan hanya diam melihat suami menikah lagi, tetapi justru menawarkan agar suaminya menikah lagi. Ummu Habibah ra misalnya, isteri Rosululloh SAW ini bahkan pernah menawarkan kepada suaminya, “Wahai Rosululloh, nikahilah Azzah saudara saya!” Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu menyukai hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Saya tidak pernah akan menjadi wanita yang menyepikan anda (melarang menikah lagi. Dan saya suka bila saudara perempuan saya ikut serta bersama saya beroleh kebaikan”  Rosululloh SAW lalu menjelaskan, “Hal itu tidak halal bagiku” Inilah Islam, meski mempersilahkan berpoligami tetapi tetap member batasan – batasan yang jelas dan sangat manusiawi. Apa yang ditawarkan oleh Ummu Habibah menunjukkan betapa kecemburuan dalam dirinya kepada wanita lain justru berubah menjadi kasih sayang yang salah satu wujudnya menginginkan agar wanita lain juga mendapat kesempatan yang sama dengannya dalam beroleh kebaikan. Sementara penolakan Rosululloh SAW menunjukkan bahwa mengumpulkan dua saudara wanita adalah sebuah larangan.

Robi’ah binti Ismail, seorang wanita Sufi kaya raya dengan jumlah kekayaan 6 ribu Dinar ini menikah dengan Ahmad bin Abil Hawaari. Setelah menikah ia berkata kepada suaminya,  “Tak ada hak bagiku melarang anda dari diriku serta wanita selainku. Karena itu silahkan anda menikah lagi!” Ahmad kemudian menikah lagi dengan tiga wanita. Sebagaimana diceritakan oleh Ahmad, Robi’ah senantiasa menyuguhkan menu daging kepadanya seraya berpesan, “Silahkan membawa kekuatan anda kepada kepada isteri – isteri anda” dan setiap kali Ahmad menginginkan Robi’ah pada siang hari maka Robi’ah memohon, “Tolong jangan membatalkan puasa saya!” dan ketika keinginan itu datang pada malam hari maka Robi’ah meminta kepada suaminya, “Saya mohon malam ini engkau berikan kepadaku bersama Alloh”.



[1] Lihat Kitaabu Ahkaamun Nisa’ / 151
[2] HR Ahmad Bukhori Muslim
[3] HR Muslim / 1449

Akibat Tidak Mandi Besar



"Barang siapa meninggalkan satu tempat rambut (tidak membasuhnya) maka  akan diperlakukan seperti ini seperti itu di neraka" HR Ahmad-Abu Dawud.

Abban bin Abdillah al Bajali menceritakan:
Seorang tetanggaku meninggal dunia. Akupun hadir dan menyaksikan ia dimandikan serta ikut pula mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika jenazah hendak dikebumikan, tiba-tiba dalam liang kubur ada hewan mirip kucing. Orang-orang berusaha mengusirnya tetapi hewan itu tidak bergeming. Akhirnya mereka memutuskan menggali liang lagi. Ternyata ketika jenazah hendak dikebumikan, hewan itupun telah berada di sana. Orang-orang pun kebingungan. Mereka berkata: "Hal semacam ini belum pernah kita saksikan" mereka pun sepakat mengubur jenazah tetanggaku bersama hewan tersebut.
Ketika kuburannya sudah sempurna tertutup tanah, kami mendengar suara daging patah dan remuk dari dalam kuburnya.
Sampai di rumah, beberapa orang termasuk pamanku datang menemui isteri tetanggaku itu. Setelah menceritakan apa yang terjadi mereka pun bertanya: "Kiranya apa yang dilakukan suamimu?' isterinya menjelaskan: "Suamiku tidak mau mandi janabat"


(Irsyadul Ibad bab al Ghusli)