Translate

Kamis, 27 Maret 2014

NILAI KEJUJURAN. KISAH INSPIRASI, KEJUJURAN SEORANG PENGEMIS BERBUAH RP 1.2 MILYAR

...أفْلَحَ إنْ صَدَق “Dia akan menuai keberuntungan, jika memang dia jujur” Hadits. “Kejujuran adalah mata uang yang laku dimana saja” Hikmah. Apa yang dikatakan Nabi SAW. tersebut bukanlah sekedar pemanis atau bualan semata, seperti yang sering terucap oleh mulut-mulut kotor para pengobral janji petinggi-petinggi negri ini pada umumnya. Hal tersebut bener-bener pernah terjadi pada seorang pengemis tua, dia mendapat ganjaran manis atas kejujurannya. Tidak tanggung-tanggung, dia mendapat hadiah dari warga di seluruh dunia. Seorang pengemis tua yang tidak memiliki rumah bernama Billy Ray Harris menjadi pemberitaan besar berkat kejujurannya. Pria tua itu mendapatkan hadiah uang yang sangat banyak setelah mengembalikan cincin berlian milik seorang wanita bernama Sarah Darling . Berita ini bahkan disiarkan oleh stasiun CNN. Kejadian bermula saat Sarah sedang berjalan dan melepas cincin berliannya karena mengalami iritasi. Cincin itu dimasukkannya ke dalam dompet. Saat dalam perjalanan Sarah bertemu dengan seorang pengemis, dia memberi uang koin kepada Billy. Tanpa disadari, cincin berlian Sarah ikut jatuh ke dalam gelas yang dipegang Billy. Karena Billy tidak menyadari ada cincin berlian yang masuk ke dalam gelas koinnya, dia tidak bereaksi. Billy baru menyadari adanya benda berharga dalam gelasnya, baru beberapa saat setelahnya. "Hal itu terasa sangat buruk, nilai cincin itu pasti jauh lebih berharga ketimbang harganya," ujar Billy yang mengaku sangat panik ketika menemukan cincin mahal tersebut. Sementara itu, Sarah menyadari bahwa cincinnya hilang, setelah beberapa langkah kakinya terayun, saat dia kembali ke jalan yang telah dilalui, Billy sudah tidak ada. Keesokan harinya, Sarah kembali menyusuri jalan tersebut dan bertemu dengan Billy. Wanita itu bertanya kepada Billy, siapa tahu dengan tidak sengaja Billy menemukan sebuah benda yang sangat berharga miliknya. Dengan jujur, Billy mengatakan, "Ya, saya sengaja menyimpannya dan akan menyerahkan pada Anda saat kembali lagi ke sini," Sebuah kejujuran yang luar biasa. Jika mau, Billy bisa saja menjual cincin mahal tersebut untuk kehidupan sehari-harinya. Tetapi dia tidak berpikir demikian, dia menyimpan cincin itu untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Sebuah nasehat “agar kita senantiasa berlaku jujur” itu lebih mudah diucapkan dari pada realita yang ada. Bayangkan seseorang dalam keadaan “terjepit” ; bila ia berkata jujur, ia akan kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang mahal harganya, yang sudah ada dalam genggamannya. HADIAH DARI SELURUH DUNIA Kejujuran Billy menyentuh hati Sarah dan suaminya. Pasangan tersebut segera menggalang bantuan online dengan menulis cerita kejujuran seorang pengemis yang mau mengembalikan sebuah cincin berlian pada pemiliknya. Demikian yang ditulis oleh seorang penyumbang. Sumbangan dana untuk Billy dikumpulkan selama 30 hari. Saat CNN menyiarkan berita, uang yang sudah terkumpul adalah $ 120.383 atau sekitar hampir Rp 1,2 miliar. Mendapat hadiah yang sangat banyak dari orang di seluruh dunia membuat Billy terkejut. Menurutnya, apa yang dia lakukan sudah sepantasnya dilakukan sebagai seorang manusia. Semoga kisah ini menjadi inspirasi kita untuk selalu jujur. Yang pasti, tidak hanya oleh masyarakat dari kalangan bawah, tetapi juga para kalangan atas dan pejabat pemerintah. Dalam negeri kita sendiri pun terdapat ungkapan yang sangat bijak, pepatah kuno ini tak pernah lekang bagai manapun majunya sebuah perekonomian, bagai manapun majunya pradaban, atau bagai manapun majunya sebuah kebudayaan setempat “Kejujuran adalah mata uang yang laku dimana-mana” bawalah sekeping kejujuran dalam saku kehidupan anda, itu melebihi mahkota raja diraja sekalipun. Simpanlah dan jagalah dalam saku kehidupan anda. (عليكم بالصِدْقِ, فإنّ الصدقَ يَهْدِى إلى البِرّ, وإنّ البِرَّ يهدِى إلى الجنّة, وما يَزالُ الرجُلُ يصْدُقُ ويتَحَـرَّى الصِدْقَ حتّى يُكْتَبَ عند اللهِ صديقاً ... الحديث ) رواه البخارى “Bersikap jujurlah kalian, karena kejujuran akan menghantarkan kalian kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan kalian menuju sorga, tidaklah seseorang berkata atau berlaku jujur sehingga dirinya tercatat disisi Allah sebagai seorang yang jujur” (عليكم بالصِدْقِ, فإنّه بابٌ مِن ابوابِ الجنّة, وإياكم والكَذِبَ فإنّه بابٌ مِن ابوابِ النارِ) رواه الخطيب “Sebaiknya kalian bersikap jujur, karena kejujuran adalah salah satu pintu dari beberapa pintu surga. Takutlah kalian akan kebohongan, karena kebohongan adalah salah satu pintu dari beberapa pintu neraka” MONGGO AJAK PARA PEJABAT-PEJABAT KITA UNTUK BERLAKU JUJUR… MAJU INDONESIA…

Senin, 24 Maret 2014

Kemuliaan Hanya Milik Allah

Allah tabaaraka wata’aala berfirman : ‘’ …..Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah “ (QS:An Nisa’ : 139) Perang Badar al Kubra terjadi pada bulan Ramadhan al Mubarak. Peperangan ini mengandung sekian pelajaran seperti halnya juga mengandung banyak mukjizat ketika Allah menguatkan dan memberikan pertolongan kepada kaum muslimin pada kondisi saat mereka sedang lemah sehingga bisa mengalahkan kaum kafir. Allah berfirman : “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam perang Badar,padahal kamu adalah ( ketika itu ) orang-orang yang lemah.” QS Ali Imran : 123. “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir,yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela Itulah karunia Allah,di berikan-nya kepada siapa yang di kehendaki-nya, dan Allah Maha luas ( pemberian-nya ) lagi Maha mengetahui” QS al Maidah : 54 . “ … Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang – orang yang sabar “ QS al Baqarah : 249 Mereka berjihad di jalan Allah dengan satu keyakinan sesungguhnya kemuliaan hanya milik Allah,bukan berasal dari diri mereka sendiri.Mereka tidak merasa takut cercaan orang yang mencerca dengan dasar keyakinan bahwa kerendahan hanya boleh pada Allah dan bukan pada selainNya.Maka tiada kemuliaan kecuali karena Allah.Adapun kerendahan karena selain Allah maka hal inilah yang Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan darinya: “Saya memohon perlindungan dari kehinaan kecuali padaMu!!” Dan ketika Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam dan kaum beriman mempersembahkan pengorbanan mereka dijalan Alloh demi kemuliaan yang hanya ada disisinya maka Alloh menyebut mereka dengan firmannya: “Dan adalah kemuliaan itu hanya milik Alloh,milik rosul-Nya dan kaum beriman” (QS Al Munafiqun:8). Disini ada peringatan untuk selalu memurnikan niat yang baik dijalan mencari kemuliaan tersebut.Dan dari sinilah selaras apa yang menjadi semboyan kita yang selalu di ulang-ulang oleh lidah kita di jalan dakwah (demi kemuliaan Islam dan Kaum Muslimin) sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak jatuh dalam hal yang akhirnya tidak terpuji dalam perjalanan dakwah itu sendiri sebagai akibat dampak-dampak yang memang memberikan pengaruh di dalamnya.Sungguh telah dikatakan: “Apa yang cemerlang dipermulaan akan cemerlang di puncaknya”. Kerendahan kepada Alloh adalah pokok ibadah yang menjadi dasar keberuntungan manusia beriman seperti diisyaratkan dalam firman Alloh: “Hai orang-orang yang beriman,ruku’lah kamu,sujudlah kamu,sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan” (QS: al Hajj:77) Maksud ruku’ dan sujud adalah sholat.Dan secara khusus,keduaya disebutkan diantara sekian banyak model akktifitas sholat karena keduanya adalah yang termulia diantara rukun-rukun sholat yang lain karena keduannya benar-benar memanpakkan ketundukan dan kerendahan. Penyebutan sholat secara khusus sebelum perintah ibadah-ibadah yang lain seperti puasa,haji,dzikir,bersholawat kepada Nabi shollollohu ‘alaihi wasallam dll serta sebelum perintah berbuat kebaikan kepada seama dengan zakat,pergaulan yang baik dan sekian budi pekerti mulia sebagai ibadah dalam bentuk berakhlak dengan akhlak-akhlak Alloh subhanahuu wata’ala,dalam hal ini semua ada penegasan bahwa sesungguhnya sholat adalah tiang agama.Dan kondisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia sedang bersujud.Ketika anggota badan yang paling mulia (wajah) diletakkan di tanah,sejajar dengan tangan,lutut dan kaki bahkan lebih rendah dari posisi anggota badan yang yang menjadi jalan keluar angin dan tinja dari duburnya dan urin dari dari depannya (pantat),(ini semua) semata karena kerendahan kepada Alloh dan kemuliaanNya.Jadi barang siapa merendahkan diri kepada tuhanNya dan tunduk kepadaNya,maka sudah menjadi hak bagi Alloh untuk memberikan kemuliaan kapadanaya di dunia dan akhirat.Jadi,kemuliaan adalah dengan merendahkan diri kepada Alloh.Maka adakah kemuliaan yang lebih agung dan lebih besar daripada kerendahan diri seseorang kepada Tuhannya? Sungguh,terkadang anda menyaksikan seseorang yang mulia dalam penampilannya padahal disisi Alloh dia adalah orang yang hina,begitu juga orang yang tampak hina diluarnya,padahal disisi Alloh dia adalah orang yang mulia. Benar bahwa Alloh telah memberi pertolongan kepada mereka pada perang Badar,begitupun ketika terjadi perang Hunain,yaitu ketika mereka berbangga dengan jumlah yang banyak dan menyangka bahwa kemuliaan berasal dari mereka sendiri sehingga salah seorang dari mereka berkata “Hari ini kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit” maka mereka pun dikalahkan.Alloh berfirman: “Dan (ingatlah) perang Hunain,yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu),maka jumlah yang banyak itu tidak memberu manfaat sedikitpun kepadamu,dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu,kemudian kamu lari kebelakang dengan tercerai berai.” (QS.At Taubah: 25). Padahal yang berkata demikian bukanlah pembesar shohabat,namun musibah menjadi merata agar kejadian ini menjadi pelajaran yang berharga.

Percepat Langkahmu..!!!

Alloh Subhanahuu Wata’alaa berfirman: šcqãã̍»|¡ç„ur ’Îû ÏNºuŽöy‚ø9$# šÍ´¯»s9'ré&ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# …Dan mereka bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.QS al Baqoroh: 114 Seorang muslim yang terbina dituntut untuk bersegera menuju sifat-sifat terpuji dan ragam aktifitas yang mulia agar mendapat perlindungan Alloh dan semata mengikuti jejak langkah para Nabi ‘alaihimussholatu wassalam,sebagaimana difirmankan Alloh swt: öNßg¯RÎ) (#qçR$Ÿ2 šcqãã̍»|¡ç„ ’Îû ÏNºuŽöy‚ø9$# Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik QS Al Anbiya’: 90 Ia dilarang terlambat berbuat kebaikan berdasarkan firman Alloh; ( $tB ö/ä3s9 #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% â/ä3s9 (#rãÏÿR$# ’Îû È@‹Î6y™ «!$# óOçFù=s%$¯O$# ’n<Î) ÇÚö‘F{$# 4 …apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? QS at Taubah; 38 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷“yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x‹»yd É>#{äóø9$# y“Í‘ºuré'sù nouäöqy™ ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBω»¨Y9$# ..Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.QS al Maidah: 31 #sŒÎ)ur (#þqãB$s% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4’n<$|¡ä. …Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. QS an Nisa’: 142 وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ..Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).QS an Najm: 39-40 Juga berdasarkan sabda Rosululloh saw; Suatu kaum senantiasa terlambat menjalankan Sholat sehingga Alloh mengakhirkan mereka (HR Muslim) Juga Sabdanya saw tentang tiga orang; Adapun salah seorang dari mereka maka ia bertempat menuju Alloh hingga Alloh memberi tempat kepadanya.Adapun orang yang lain (orang kedua) maka ia merasa malu sehingga Alloh pun malu kepadanya.Sedang orang lain lagi (orang ketiga) maka ia berpaling dari Alloh sehingga Alloh berpaling darinya (Muttafaq Alaih,Riyadlus Sholihin / 1447) Sungguh,perbuatan muslim yang terbina semestinya tidak bertolak belakang dengan hal yang selalu diulang-ulangnya ketika berdoa;“Dan jadikanlah diriku sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa” artinya di depan dalam kebaikan.Karena dia tidak membiarkan begitu saja perbuatan baik,tidak menunggu untuk melakukan kebajikan serta tidak menunda-nunda berburu keutamaan-keutamaan.Adalah Sayyidina Umar bin Khoththob ra.Setleah tertikam dan bersimbah darah beliau melihat seorang anak muda yang memakai pakaian terjuntai (Isbal) maka beliau segera berkata: “Wahai putera Saudaraku,angkatlah izarmu,sungguh itu lebih bertaqwa kepada Tuhanmu dan lebih bersih bagi pakaianmu!” Dalam kondisi menjelang wafat (sakaratul maut) beliau masih memerintahkan kebaikan karena masalah ini menuntut untuk dipercepat dan disegerakan Sungguh keberuntungan tidak bisa didapatkan dengan angan-angan dan malas-malasan.Cukuplah kiranya Alloh menyebut kaum munafik selaku kaum yang suka terlambat dengan firmanNya:                  Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.QS at Taubah; 46 Sungguh telah dikatakan; Detakan jantung seseorang mengatakan kepadanya; Sungguh kehidupan hanyalah menit-menit dan detik-detik Alloh swt berfirman;     dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.QS al Muthoffifin: 26     Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. QS al Baqoroh: 148 Sangat berbeda dengan ucapan orang-orang yang bersemangat rendah (lemah) dan berjiwa hina ketika mengatakan;        •       Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui .QS at Taubah: 81

Tidak Memiliki Maka Tidak Memberi

Allah ta’ala berfirman: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”QS at Taubah:41. Termasuk jihad fi sabilillah adalah mendermakan harta benda demi kehidupan dakwah. Mencari harta benda demi kepentingan dakwah, menyokong dan mengokohkannya termasuk dalam kategori hal yang menjadi syarat sempurna suatu kewajiban. Cukuplah sebagai gambaran bagi kita ketika Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang ahli perdagangan sejak sebelum diutus saat usia beliau baru dua puluh tahun. Setelah diutus, Allah lalu mengokohkannya dengan dukungan isterinya Sayyidah Khadijah al Kubro yang juga seorang pedagang, para khalifah empat (Khulafaur Rasidin) dan sepuluh orang yang dijamin masuk surga, serta yang lain di mana kebanyakan adalah para pedagang. Dan bagaimana kekayaan para sahabat begitu melimpah sejak hijrah mereka masih berjalan tidak lebih dari tujuh tahun. Dan bagaimana pula nenek moyang kita di negeri ini memeluk islam juga melalui tangan-tangan para pedagang yang notabene-nya adalah para da’i. Serta bagaimana pula sekarang ini, yahudi yang meski minoritas tetapi menguasai dunia karena kekuatan ekonomi dan perdagangan mereka. Tuhan kita Allah ta’aala adalah Dzat Maha Kaya dan Maha Memberikan kekayaan. Maka sudah semestinya hambaNya memiliki sifat ini dari sisi memperoleh kekayaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri adalah figur yang kaya lagi dermawan hingga tidak pernah menyimpan rizki untuk esok harinya. Karena hal-hal tersebut inilah Alqur’an menyinggung tentang pentingnya perdagangan: “...kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya... “QS al Baqarah:282. “ ... mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,... “QS Fathir:29. “ ... perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya... “QS at Taubah:24. “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah... “QS an Nuur: 37. Dan tentunya itu semua dengan mengetahui simpul-simpul yang kuat dan kokoh dalam menjalankan perdagangan. Sudah dimaklumi bahwa jalan dakwah memiliki tahapan-tahapan, maka sudah tibalah saatnya bagi kita dalam tahapan ini untuk menyokong dakwah kita dengan sokongan harta benda melalui apa saja yang mudah dilaksanakan untuk menghimpun harta benda secara berjamaah seraya memurnikan niat mendahulukan kemaslahatan jamaah atas kepentingan pribadi dan menjauhkan diri dari istighlal (menggunakan kesempatan). Karena inilah rahasia kesuksesan dan keberuntungan dalam urusan ini. Serta didukung dengan langkah cepat sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya tidak ada bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. Dan usahanya itu pasti akan terlihat”, kejujuran sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ”Dia pasti beruntung jika ia jujur“ dan tangan yang terpercaya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Berikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu “ serta tidak meremehkan dan bersikap santai. =والله يتولى الجميع برعايته=

Sabtu, 22 Maret 2014

HAZM FIL MAUQIF [Tegas dalam Bersikap]

Berbeda dengan Pemilu multipartai dulu, yaitu pemilu pada tahun 1955 dan pemilu pada tahun 1971 serta pemilu berikutnya yang hanya dengan tiga kontestan,pemilu multipartai pada tanggal pada tanggal 9 April 2014 mendatang diperkirakan sedikitnya ada beberapa partai yang mengatasnamakan ummat islam, bahkan sebagian malah secara transparan mencatumkan Islam sebagai asanya. Para pengamat menduga, tidak ada lagi partai yang bakal menang sebagai mayoritas tunggal. Partai besar paling banter diperkirakan memperoleh 40-60% suara. Dengan demikian, untuk dapat memenangkan suara di parlemen, optimis diperlukan kesediaan masing-masing partai untuk berkolisi atau beraliansi. Pada saat ini, kita mellihat hanya beberapa partai saja yang mengatasnamakan Katolik dan Protestan, itu pun barangkali partai gurem. Akan tetapi samar-samar sebagian pihak Katolik., Protestan, Hindu, Budha ditambah kaum abangan dan golongan kebangsaan berjalan bersama menuju sebuah partai tertentu. Bisa jadi harapan mereka, partai itu kelak menjadi partai terbesar seperti PNI dulu yang mampu membentuk satu kesatuan front yang kuat. Melihat latar belakang pendukungnya. Front itu nantinya jelas dimaksudkan untuk mengimbangi kalangan muslimin. Nah, bila demikian, partai-partai Islam yang ada sudah siapkan melakukan koalisi untuk membangun front bersama? Jika sudah siap, dengan partai manakah koalisi itu dibangun?! Selanjutnya, jika koalisi itu dilakukan antar partai-partai Islam, seberapa besarkah komitmen masing-masing untuk koalisi itu?! Jika hal-hal di atas tidak diinsafi, rasanya akan dapat memicu lahirnya kondisi yang merugikan kepentingan kaum muslimin, umpamanya perpecahan dan pertentangan, jika dihubungkan dengan ayat: “Mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain”.(QS Al An’am 65) Nyatanya wadah-wadah politik yang saling bertentangan itu sudah ada, kini kita tinggal menunggu waktu, sementara kita akan mendengar bersorak gembiranya lawan-lawan ummat Islam. Oleh karena itu senyampang fitnah belum turun, maka kita harus mengantisipasinya dengan mengambil sikap yang tegas. Dalam akhlak pergaulan, kita dianjurkan untuk berlaku mulatthofah (lemah lembut). Mulathofah bisa berbentuk mendukung, membantu, dan kerja sama pantas diberikan kepada sesama saudara kita seagama. Sementara bersikap mulathofah kepada non-Islam atau kepada orang-orang yang menghujat Islam adalah mental jelek yang harus di buang jauh-jauh. Melakukan mulathofah kepada mereka itu hampir bisa dikatakan menyerupai orang-orang yang punya sikap mudahanah. Apabila diinsafi, sesungguhnya akhlak merupakan cerminan aqidah yang tertanam pada diri kita, karena itu di sana pun ada pahala dan dosanya, dan termasuk urusan agama yang mendasar. Dalam bersikap memang kita tidak boleh kaku, kita harus luwes (fleksibel) terhadap siapa pun, tapi hendaknya hal itu jangan menjadi alasan untuk mengabaikan ketegasan sikap terhadap kebenaran atau kesalahan. Imam Hasan Al Bashri menyebut ciri khas seorang muslim diantaranya yaitu : yaitu (…) bersikap tegas, teguh, dan mantap yang ditampilkan dalam bingkai sikap lemah lembut atau flesibelitas. (Mau’idzotul Mu’minin.Syeikh Jamaluddin al Qosimi,hal 242) Bentuk sikap itu seperti pernah ditampakan oleh Nabiyullah Musa AS dan Nabiyullah Harun AS terhadap Fir’aun, seorang pengusa non-Islam. Sikap itu digambarkan oleh Allah swt dalam al-qur’an surat Thoha: 44 ; “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ….” Pada ayat tersebut, Alloh swt tidak berarti menyuruh kedua Nabi itu untuk berkata-kata manis di depan Fir’aun, memujinya, mendukungnya, kompromi atau berkerja sama dengannya, akan tetapi diperintahkan keduanya menasehati Fir’aun secara tegas, tajam, kritis dan pedas, dalam ungkapan bahasa yang bijaksana. Tugas yang diemban kedua Nabi itu ialah menekan Fir’aun agar memerdekakan Bani Israil dan mencegah menyiksa mereka serta mengajak dia beriman pada risalah kenabiannya, sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat selanjutnya. Ketegasan sikap yang perlu ditampilkan menghadapi orang-oarng yang kafir, orang yang menghujat agama Islam dan golongan-golongan yang sebangsanya (golongan kebangsaan, marhaen, demokrat, dsb) itulah sekarng yang mendesak untuk dibangkitkan.perwujudan dari ketegasan sikap itu yaitu dengan melakukan satu diantara dua alternaif dasar berikut ini: 1. Kita memutus hubungan sama sekali dalam arti menjauhi mereka sejauh-jauhnya. Karena kompromi dengan mereka berarti tidak ada bedanya antara kita dengan mereka. 2. Kita dekati mereka, dengan maksud memberikan peringatan (dzikro), dengan tetap menjaga kepentingan Islam. Dua alternative ini diambil dari firman Alloh swt. “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu setelah dzikro duduk bersama orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al An’am : 68-69) Sebagai akibat dari tiadanya ketegasan dari kaum muslimin, lawan-lawan mereka tidak lagi segan, apalagi gentar dihadapannya. Padahal dahulu mereka diliputi ketakutan dalam jarak sebuah perjalanan. Kini mereka tidak hanya bisa menyerang, tetapi mereka sanggup menjadikan kaum muslimin bulan-bulanan. Inilah barang kali maksudnya hadits: “…Dan pasti Alloh akan melenyapkan haibah kamu dari data musuh-musuhmu..” (HR.Abu Dawud) Akirnya kita meski menunjukkan kembali ketegasan sikap kita terhadap lawan-lawan kita. Hal ini agar haibah yang dulu lekat dengan umat Isalm tidak lenyap, karena haibah itu dapat menjadi modal untuk berdakwah yang penting, walaupun ia sendiri tidak perlu diupayakan dengan cara digawe-gawe (Tashonnu’).

Senin, 17 Maret 2014

KEUTAMAN MENJUJUNG TINGGI WILAYAH-WILAYAH TERLARANG

Firman Allah Subhanahu Wata`ala : “Dan barang siapa menjunjung tinggi hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka itu lebih baik baginya disisi Tuhannya “. ( Q.S. Al Hajj : 30 ) Penguasa dan raja selalu memiliki wilayah-wilayah yang terlarang bagi rakyat melanggarnya. Alloh swt sebagai penguasa di atas penguasa dan raja di atas raja begitupun memiliki wilayah-wilayah terlarang bagi para hamba melanggarnya. Wilayah terlarang itu adalah hal-hal yang diharamkan. Sabda Rasulullah saw : “Ingatlah sesungguhnya setiap raja memiliki wilayah terlarang. Dan sesungguhnya wilayah terlarang milik Alloh swt adalah hal-hal yang dilarang – Nya ( keharaman ). (H.R. Bukhri Muslim ) Adanya wilayah-wilayah terlarang tersebut merupakan realitas dari adanya ghairah ( semangat dan kecemburuan ) tinggi yang dimiliki Alloh swt, sebagaimana Rosululloh saw, para sahabat, dan manusia pada umumnya, juga memilikinya. Sebagai ilustrasi ghairah, Alloh swt telah menciptakan makhluk sekaligus mengaturnya. Menyediakannya makan dan berbagai kenikmatan. Sebagai kompensasi kenikmatan ini, ditetapkanlah wilayah-wilayah terlarang. Jika sekian rahmat diterima dan dinikmati oleh makhluk di satu sisi dan disisi lain mereka memperlihatkan perilaku yang melanggar wilayah-wilayah haram tersebut, itu merupakan bentuk kedurhakaan yang tinggi. Alloh swt cemburu dalam arti tidak suka dengan sikap durhaka itu. Rosulullah saw bersabda : ”Apakah kalian kagum dengan ghairahnya Saad?! Demi Alloh, aku lebih memiliki ghairah dari pada dia. Dan alloh swt lebih memilki ghairah dari pada aku. Demi ghariah, Alloh swt mengharamkan perbuatan-perbuatan keji baik yang terang-terangan maupun yang tersamar. ( H.R. Muslim ) Atas dasar ghairah Alloh swt yang begitu tinggi ini, Rosululloh saw menggariskan bahwa dalam menghindari pelanggaran terhadap wilayah-wilayah terlarang ( nahi ) hendaklah dilakukan dengan totalitas dan habis-habisan. Ketat, tegas, dan teguh. All out. Tidak longgar. Tidak mengenal kompromi. Sementara terhadap wilayah-wilayah yang diperintahkan ( amar ), beliau memberikan tekanan dengan sekuat kemampuan. Sebisanya dan semampunya. Sesuai dengan kapasitas diri. Dalam hal ini proporsi amar ( perintah ) sedikit lebih longgar daripada proporsi nahi ( larangan ). Dalam riwayat hadits disebutkan : “Apa yang aku larang jauhilah,sedang apa yang aku perintahkan lakukanlah ia semampumu”.(H.R.Bukhari Muslim ) Ayat tersebut dimuka mengingatkan bahwa menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang dengan menjauhi dan menghindarinya secara ketat, tegas, dan teguh merupakan sikap yang positif.Ia di nilai tidak sekedar hal ( suatu kewajaran bersikap ),melainkan di nilai sebagai sebuah maqom ( posisi ) yang tinggi dan agung di sisi Allah swt yang hendaknya dicapai oleh orang-orang Islam. Sikap menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang bukanlah ekstrim dan ekslusif , karena itu sudah menjadi bagian dari idealisme keimanan dan menjadi misi risalah tauhid. Menjunjung tinggi wilayah-wilayah yang terlarang menjadi sangat istimewa ketika ummat manusia berada dalam zaman fitnah. Saat ketika kebanyakan orang semakin longgar dalam memasuki dan melanggar wilayah-wilayah haram itu. Saat hal terlarang sudah tidak lagi dianggap terlarang. Akibat realitas yang ada lebih dikedepankan dari pada nash-nash hukum yang ada. Azas manfaat di dahulukan daripada teks hukum. Saat menggejala sikap permisif ( sikap terbuka, membolehkan ) terhadap hal-hal yang sebelumnya di larang keras. Riba menjadi halal. Kepemimpinan wanita menjadi absah. Jilbab menjadi mubah. Loyal (al wala’ )tehadap kaum muslimin dan anti ( al bara’ )terhadap kaum kuffar semakin terkikis dengan dominanya paham-paham kebangsaan dan kemanusiaan. Korupsi sudah rancu dengan komisi dan hadiah. Semakin hari kian dominanlah sikap longgar dalam melanggar hukum-hukum haram itu. Jika zaman sudah mengalami fitnah sedemikian rupa, maka sikap menjunjung tinggi wilayah-wilayah telarang memang layak disebut maqom yang istimewa. Ibarat ikan, ia tetap menjadi tawar di lautan yang serba asin. Penuh komitmen dan konsistensi. Orang-orang yang mempraktekkannya adalah orang-orang mulia dan pilihan. Sikap tegas ini bukan berarti membabi buta dan konyol. Karena dalam Islam ternyata tetap didapati jalan keluar ( makhraj ) dan toleransi ( rukhshoh ) tertentu manakala didapati satu kondisi darurat dan kebutuhan yang mendesak dengan batas-batas tertentu yang telah ditetapkan. Dalam kaidah Ushul dikatakan : “Suatu urusan bila sempit,ia menjadi luas”. Sementara itu, kaum muslimin seluruhnya berkewajiban membela dan menolong agama Alloh swt dengan berjihad dan taat. Jika aktivitas bela agama dengan jihad dan taat dilaksanakan, mereka di jamin akan meraih pembelaan ( kemenangan ) dan kedudukan yang teguh ( kuat ) dalam aktivitas jihad dan taatnya. Alloh swt berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu membela ( agama ) Alloh, dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu ( dalam jihad dan ketaatan )”. ( Q.S. Muhammad : 7 ) Ayat ini menerangakan bahwa jaminan pembelaan, pertolongan, dan posisi yang kuat hanya bisa diraih dengan membela dan menolong agama Alloh swt. Seruan luhur membela agama ini hanya bisa tumbuh dan bangkit bila sudah tertanam ghairah, yaitu semanggat dan kecemburuan beragama yang tinggi ( fanatisme ). Sedang ghairah kiranya hanya bisa tumbuh dan bangkit dari sikap yang luhur, yaitu menjunjung tinggi wilayah-wilayah terlarang. Di katakana dalam peribahasa bahwa hilangnya ghairah merupakan matinya kejantanan. Tanpa ghairah, orang akan menjadi malas, lemah dan loyo. Sementara orang yang berlaku permisif ( longgar ) dalam wilayah haram ( tidak menjunjung tinggi wilayah terlarang ),sulit rasanya dia memiliki ghairah yang tinggi. Kerap terjadi orang yang permisif justru menjadi lembek dan kadang-kadang oportunis ( mencari untung dan enak sendiri ). Lentur.Tidak berprinsip. Ikut-ikutan ( norok buntek ). Plin-plan. Untuk menumbuhkan sikap menjunjung tinggi wilayah terlarang, salah satu caranya adalah dengan menghindari dan menjauhi hilah ( fiksi hukum, rekayasa hukum, atau hukum rekaan ), yaitu suatu gagasan mencapai tujuan tanpa menggunakan cara-cara yang dibenarkan.Rekayasa. efek yang sering muncul dari hilah adalah beban hukum yang “terlalu berat dan ketat” dialihkan kepada beban hukum yang lebih ringan dan longgar. Efek lainnya adalah mentolerir ( tarakkhus, menganggap tidak apa-apa ) hal-hal yang terlarang dngan memanfaatkan nash hukum. Jumhur ulama memiliki daya resistensi ( perlawanan ) yang tinggi tewrhadap fiksi hukum ini. Hilah umumnya dilakuan oleh orang-orang yang pintar. Sementara orang awam umumnya lugu-lugu, murni, dan konsekuen terhadap satu prinsip karena ketidak tahuannya. Cerdik pandai Yahudi misalnya. Ketika mengetahui dilarang menjual lemak, mereka lalu merekayasanya. Mereka olah lemak menjadi minyak kemudian menjualnya. Mereka sesat sekaligus menyesatkan. Hal yang efektif untuk membangkitkan semangat menjunjung tinggi wilayah terlarang adalah menumbuhkan prilaku wara’ (kehati-hatian), yaitu menghindari hal yang tidak terlarang atau tidak berdosa atau yang tidak jelas agar tidak terjerumus kepada hal yang jelas-jelas terlarang atau berdosa. Tidak justru tarakkhush (menganggap tidak apa-apa ) dengan mempergunakan hilah. Apalagi di zaman fitnah yang halal dan haram sudah semakin jambor. Ilustrasi sikap wara’ seperti ditunjukan Sayid Idris, ayah Imam Asy Syafi’i yang engan memakan apel yang terbawa aliran sungai. Atau seperti sahabat Abu Bakar Ash Siddiq,seperti cerita putrinya, Sayyidah Aisyah ra. Dalam sebuah hadis : “Abu Bakar mempunyai budak sahaya yang ditetapkan setiap hari harus membawa bekal ( sebagai cicilan merdeka ) untuknya. Dan Abu Bakar selalu makan dari bekal itu. Pada suatu hari budak itu datang membawa makanan, maka dimakan oleh Abu Bakar. Tiba-tiba budak itu berkata : “ taukah tuan, dari manakah makanan itu?” Abu Bakar menukas : “ mengapa?!” Budak itu menjawab : “ Pada masa jahiliah aku pernah berlagak menjadi dukun didepan seseorang. Aku sebenarnya tidak mengerti perdukunan, cuma ingin mengelabuhinya. Beberapa waktu lalu aku berjumpa dengannya. Mendadak dia memberikanku makanan yang kau makan itu. “maka Amirul Mukminin pertama ini segera memasukan jarinya pada mulut. Memutahkan semua isi perutnya. “ ( H.R. Bukhari )

Minggu, 16 Maret 2014

Menuju Jalan Keteguhan

Termasuk pengaruh positif (atsar) rasa saling mencintai karena Allah adalah ketika Allah Mengumpulkan kita dalam Kutlah yang indah ini. Kutlah yang berdiri untuk Islam dengan mendermakan segala kemampuan; demi menyelamatkan umat ini dari aneka ragam pemikiran yang merusak;demi mencetak generasi muslim yang terbina, berangkat dari firman Allah ta’alaa: ” Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)dankepada-Nya-lahkamudikembalikan.” QS al Baqarah:245. Telah dimaklumi bahwa lipatganda pahala adalah bagian dari anugerah Allah, dan anugerah Allah itu luas, Allah Maha Pemilik anugerah yang agung. Lipatganda pahala terpaut sesuai dengan jerih payah orang yang beramal karena Allah. Lipatganda pahala menjadi motivasi untuk giat beramal karena Allah di samping melawan kekendoran (Futur) serta rasa malas. Lipatganda pahala juga menjadikan muslim sebagai seorang Raghib, Shadiq dan Mukhlish. Keterpautan tersebut dijelaskan oleh Allah: 1) ”Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).”QSalAn’aam:160. 2) ” Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. ”QS al Baqarah:265. 3) ” Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”QS al Baqarah:261. Lipatganda pahala sebagai bagian anugerah Allah yang luas juga terdapat dalam hal berikut: a) Sesuatu (pahala) yang terus mengalir setelah manusia meninggal dunia seperti sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: [Ketika anak Adam meninggal maka amal-amal terputus darinya kecuali dari sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaat dan anak shaleh yang selalu mendo’akannya” ] (HR Muslim Bab Ma Yalhaq al Insan min ats tsawab ba’da wafatihi). Hadits ini semestinya bisa dipergunakan memotivasi dan meneguhkan diri kita berada dalam Kutlah ini yang secara bersama-sama mengikat dan menghubungkan kita dengan tiga hal tersebut; Sedekah Jariyah demi perluasan sarana prasarana yang ditangani oleh yang berwenang dalam kepengurusan , Ilmu yang Bernanfaat demi memperdalam wawasan keislaman kita yang mempunyai modul, ciri khas tersendiri atas dasar penyatuan fikrah sebagai suatu aktivitas bersama, Anak yang shaleh yang selalu mendo’akan demi mencetak generasi yang memilik keimanan kuat sebagaimana diperingatkan Allah, ” Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”QS An Nisa: 9. Catatan: Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ” Yad’u lahu/ (.yang selalu mendo’akannya) ”teks ini tidak bersifat mengikat (Taqyiid) , tetapi hanya sekedar dorongan (Tahridh), sebab orang tua tetap mendapatkan pahala (poin) dari anak shalehnya setiap kali si anak beramal shaleh baik ia berdo’a untuk orang tuanya maupun tidak berdo’a, atau sekedar menunjukkan makna Taghlib (kebanyakannya) sesuai keberadaan anak sebagai seorang yang paling peduli memperbanyak do’a untuk orang tuanya. b) Sesuatu (pahala/poin) yang dikumpulkan untuk orang yang menyeru kepada petunjuk ketika ia juga mendapatkan pahala sepadan dengan pahala orang-orang yang mengikutinya seperti disebutkan dalam hadits, [Barang siapa menyeru kepada petunjuk maka baginya pahala sepadan dengan pahala orang-orang yang mengikutinya, sedikitpun itu tidak mengurangi pahala mereka. Barang siapa mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa sepadan dengan dosa orang yang mengikutinya, sedikitpun itu tidak mengurangi dosa-dosanmereka”HR Ahmad Muslim. seperti yang berkembang pada masa ini berupa akad dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Abu As Sayyid al Habib Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani dalam Dzikrayat wa Munasabat hal 137 mengatakan: Dan itu semua menjadi berlipat ganda dengan keberadaan penyeru petunjuk atau perintis suatu sunnah hasanah yang mendapat pahala dari orang yang mengikuti dan menjalankannya sesuai dengan jumlah mereka yang kemudian lipatganda tersebut juga berlaku bagi Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam selaku manusia yang menunjukkan sekaligus diutus kepada orang tersebut. Jadi tiada seorang Arif dari umat ini kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mendapat pahala sepadan dengan pahala makrifatnya serta digabungkan dengan makrifat-makrifat Beliau shallallahu alaihi wasallam. Tiada seorang pemilik Hal dari umat ini kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mendapat pahala sepadan dengan pahala Hal nya seraya digabungkan dengan Ahwaal Beliau shallallahu alaihi wasallam. Tiada Maqalah yang mengantarkan kepada kedekatan dengan Allah ta’ala kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pahala sepadan Maqalah tersebut seraya digabungkan dengan Maqalah dan penyampaian Risalah Beliau. Tiada Amal yang mengantarkan kepada kedekatan dengan Allah azza wajalla yang berupa shalat, zakat, memerdekakan budak, jihad, berbakti, berbuat baik, dzikirm sabar, dan memaafkan kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pahala sepadan dengan orang yang menjalankan amalan tersebut seraya digabungkan dengan amal-amal Beliau. Tiada derajat tinggi dan martabat mulia yang dicapai seseorang dari umat ini atas bimbingan dan petunjuk Beliau kecuali Beliau juga mendapatkan pahala sepadannya seraya digabungkan dengan derajat Beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena itulah dikatakan: Cintailah Nabimu, agungkanlah derajatnya. Bersikaplah pelit dengan agamamu, selama terlihat ada dosa pada dirimu

Sabtu, 15 Maret 2014

HANYA KAMU


Teruntuk yang ada di sana…
aku selalu merindui-mu,
Saat diri-mu membuka mata,
Sadarilah disini ada cinta yang menanti-mu.
Saat diri-mu menutup mata,
Sadarilah bahwa semalaman ada mata yang terjaga untuk-mu.
Saat diri-mu beranjak pergi,
Ingatlah bahwa disini ada hati yang merindui-mu.
Saat diri-mu langkahkan kaki,
Ingatlah ada do’a yang selalu mengiringi-mu.
Saat kau hirup udara fajar,
Ku-harap kau tau, itulah salam rindu-ku pada-mu.
Percayalah, aku akan selalu menjaga dan nyanyikan lagu rindu.
buat-mu, hanya buat-mu... I Miss U

Jumat, 07 Maret 2014

Aku Masih Berharap




Sampai detik ini aku masih berharap,
Menemukan sebutir cinta dilubuk hati,
Walau harus mengais dalam gelap,
Merajut mimpi tak kunjung tiba...

Aku masih tetap berharap,
Mencairkan keangkuhan hatimu,
Sebelum waktu beranjak pergi,
Sebelum raga tak lagi terkendali...

Aku masih terus berharap,
Meski malam selalu hadirkan petang,
Meski selalu hadir dengan kebisuan...

Dan meski aku tahu semua yang kuharap,
Tak akan mudah dapat kugenggam,
Tapi aku masih saja terus berharap.

Sampai pada akhirnya aku tak lagi bisa berharap.

Selamat tinggal harapan kasihku... aku mencintaimu...

Pergantian Kepemimpinan dan Kerawanan Prinsip Figuritas



 Sebelum berangkat melaksanakan munajat empat puluh hari di Bukit Sina untuk menerima kitab suci Taurat, Nabi Musa as menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Nabi Harun as untuk mengatur masyarakat bani Israil. Dalam kesempatan itu, beliau pun berpesan kepada penggantinya agar melaksanakan agena-agenda reformasi (ishlah) yang selama itu dijalankan. Di dalam Al Qur'an diterangkan:

 وَقَالَ مُوسَى لأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ 

Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah , dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan". (QS Al A'raaf : 142) 

 Pada saat kepemimpinan Nabi Harun as ini, Bani Israel ternyata melakukan pembusukan dengan menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri. Saat Nabi Harun as, pemimpin mereka menegur, memberi saran agar tidak terfitnah oleh patung anak sapi, mereka tidak sami'na wa atho'na, justru menentang. Kata mereka:

 قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى 

Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami". (QS Thoha : 91) 

Tampaknya disini Bani Israil membeda-bedakan ketaatan terhadap satu pemimpin atas pemimpin yang lain. Mereka cenderung mendahulukan ketaatan figuritas atas dasar kharisma Nabi Musa as yang tegas dan tempramental dengan Nabi Harun as yang lebih tua, kalem dan lemah lembut. Dan efek dari prinsip figuritas ini, sistem kepemimpinan itu menjadi labil dan goncang. Peralihan kepemimpinan yang sesungguhnya wajar berubah menjadi kacau, apalagi dengan masuknya aktor perilaku buruk, yaitu Samiri. 

*** Kepemimpinan dalam islam dimaksudkan dalam rangka mengemban amanat agama, seperti mengamalkan perintah amar ma'ruf nahi munkar. Tugas kepemimpinan berarti pula tugas agama. Oleh karena itu kepengurusan, penugasan, ekspedisi (pengiriman), pergantian kepemimpinan dan sebagainya oleh Rois (pemimpin tertinggi) akan selalu dikaitkan dengan agama. Khalifah Umar bin Khottob kala menugaskan pegawainya berkata: "Sesungguhnya aku mengutus petugas-petugasku kepadamu dalam rangka mengajarkan kitab Tuhan dan sunnah Nabi kepadamu, serta menegakkan agama bagimu. (As Siyasah As Syar'iyah, Ibnu Taimiyah, 24) Ajaran Islam mengatur kepemimpinan tegak berdiri di atas prinsip sami'na wa atho'na (ketundukan dan kepatuhan). Prinsip ini paling tidak menyiratkan dua hal. Pertama, kalau Rois memutuskan menetapkan tugas tertentu, maka tugas itu mengikat untuk diterima dan dilaksanakan tak ubahnya mengemban amanat. Di sini sepatutnya tidak ada komentar balik atas dasar nalar, lebih-lebih bereaksi menolak. Tugas memikul amanat selama tidak meminta tapi diberikan kepercayaan, dalam pelaksanaannya Insya'alloh akan diberikan kemudahan, dilempangkan jalannya, dan terbantu, selama bertawakkal, percaya penuh kepada Alloh swt, teguh pendirian, dan kuat dalam ibadah. Pesan Rasululloh saw kepada Abdurrahman bin Samuroh :

 "Wahai Abdurrahman, jangan kamu meminta tugas. Sesungguhnya bila kamu diberikan suatu tugas tanpa meminta, kamu akan diberikan pertolongan. Sedang bila diberinya dengan meminta-minta kamu akan dibebaninya". (HR Bukhari Muslim) 

 Dalam hadits yang lain malah dijelaskan bentuk pertolongan dalam mengemban amanah yang tidak diminta itu bahwa malaikat akan diperbantukan kepadanya untuk memberinya petunjuk dan arah yang benar dalam ucapan maupun perbuatan (As Siyasah As Syar'iyah Ibnu Taimiyah, hal. 8) ` 

Kedua, kaitannya dengan pengikut, bawahan, juga harus mengedepankan prinsip sami'na wa atho'na seperti halnya keharusan sami'na wa atho'na pihak yang mendapat tugas tertentu. Nurut, tidak mengedepankan pertimbangan atas pemimpin yang diangkat oleh Rois kemampuan, kompetensi, skill, ilmu, dan lain sebagainya. Asal pemimpn di atas yang mendapatkan amanat itu mengerti agama dan jujur. Di samping sami'na wa atho'na, pengikut atau bawahan dituntut pula turut membantu terhadap pemimpin yang ditugaskan mengemban amanat, paling tidak dengan memberikan saran dan masukan, selain tentunya memohon kepada Alloh swt semoga dia diberikan kelurusan arah. Pengikut atau bawahan justru tidak boleh berlepas diri, melakukan mosi (reaksi) tidak percaya, dan memandang pemimpin yang ditugaskan tidak akan mampu menjalankan amanatnya. Sementara hadits Rasululloh saw yang sering dijadikan dalil perlunya pemimpin memiliki keahlian, kompetensi, kecakapan ilmu dan semacamnya, yaitu hadits:

 Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya saat. Tanya orang: "Apakah bentuk disia-siakannya amanat?" Jawab beliau: "Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya saat (kiamat, kehancuran). (Shahih Al Bukhari, bab Ilmu (hadits pertama), I/21) Imam Al Qannuji (1248-1307 H) 

dalam komentarnya terhadap pernyataan "bukan ahlinya" dalam hadits tersebut mengatakan: "Dengan memberikan kekuasaan kepada selain ahli agama dan orang-orang yang amanat." Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Batthol. Dia berkata, "Para pemimpin itu orang-orang yang dipercaya Alloh swt untuk mengatur hamba-hambaNya. Dia mewajibkan mereka memberikan nasehat. Bila mereka menugaskan urusan tertentu kepada selain ahli agama maka mereka benar-benar mensia-siakan amanat." (Aunul Bari, syarah tajridus shorih, Al Qannuji, I/188) 

 Dari sini ukuran ahli yang dimaksudkan oleh hadits di atas ternyata tidak semata keahlian yang dipahami secara umum sebagai kemampuan, kompeteni, ilmu, kecakapan, dsb. Melainkan keahlian dalam hal yang prinsip yaitu agama dan amanat (kejujuran dan kesetiaan melaksanakan tanggung jawab). Apa yang dilakukan oleh Bani Israil dengan menampakkan loyalitas yang berdiri di atas prinsip kharisma figur hasilnya ternyata sangat rawan (gawat, menjadikan keadaan buruk) dan riskan (beresiko, mengandung bahaya besar), khususnya di saat terjadi alih kepemimpinan. Maka kita harus banyak berterima kasih kepada Rasululloh saw yang telah memberikan pendidikan loyal kepada pemimpin yang atas dasar prinsip sami'na wa atho'na. Bahkan terhadap pemimpin yang berstatus habasyi umpamanya. Di dalam hadits disebutkan: 

"Tunduk dan patuhlah sekalipun diangkat untukmu seorang amil (petugas) habasyi yang kepalanya seakan-akan buah kismis, anggur keing (kepalanya kecil, berambut pendek, tetapi keriting dan kusut). (HR Al Bukhori, Aunul Bari syarah Tajridus Shorih, Al Qannuji, I/744) 

 Usamah bin Zaid beliau angkat sebagai pemimpin ekspedisi ke Suriah saat umurnya baru 17 tahun. Kalaulah pertimbangan beliau kecakapan, ilmu, dan kompetensi, rasanya masih ada sahabat yang lebih cakap, berkompeten, dan berilmu dibanding putera sahabat Zaid bin Haritsah dari istri Ummu Aiman ini. Sistem kepemimpinan yang tegak berdiri di atas prinsip sami'na wa atho'na kiranya akan menumbuhkan soliditas yang tidak didapati pada kepemimpinan figuritas. Dengan kesolidan, kepemimpinan akan menjadi kokoh, kuat, rapi, stabil dan eksis. Kesolidan ini akan memarahkan musuh, tidak malah membuat musuh bertepuk ria akibat perpecahan dan kehancuran, seperti ibroh yang bisa diperoleh dari dialog Nabi Musa as dengan Nabi Harun as pasca kepulangan beliau dari munajat empat puluh hari:

 وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (١٥۰) قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (١٥١) 

Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu ?" Dan Musa melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka mau membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dzolim" Musa berdo'a: "Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang diantara para penyayang." (QS Al A'raaf : 150-151, dan telaah pula QS At Thoha: 85-97) 

 والله سبحانه وتعا لى أعلم

Selasa, 04 Maret 2014

KEMBALI KEPADA SYARI’AT ISLAM

Allloh Subhanahu waTa’ala berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada Thogut,padahal mereka telah dipertintahkan mengingkari Thoghut itu.Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS.An Nisa’ 60) Manusia,disamping memiliki watak-watak positif juga memiliki watak-watak negatif.Diantara watak-watak negatif itu,seperti diingatkan Al Quran,ialah makhluk mulia ini cenderung ingkar,kufur dan tidak berterimakasih terhadap karunia besar yang diterimanya.Salah satu pembentuk faktor ini adalah manusia menganggap karunia agung yang diterimanya sebagai hal yang biasa. Adanya matahari,udara,air,gigi,mata,akal serta ragam jenis binatang dan tumbuhan misalnya,sesungguhnya merupakan karunia yang amat agung.Namun,karena hal-hal itu dianggap biasa,manusia cenderung mengingkarinya.Setiap hari bahkan setiap saat manusia bergaul dan bergumul dengan hal-hal itu,sehingga dia tidak sempat merenungkan dan tidak merasakan keagungannya.Seperti halnya istri,Isteri cenderung durhaka kepada suami yang berbaik hati kepadanya,kerap disebabkan ia menganggap tanggungjawab dan nafkah suaminya sebagai hal biasa saja,tidak istimewa.Firman Alloh swt: “Sesungguhnya manusia itu amat ingkar tidak berterimakasih kepada Tuhannya,dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (QS Al Aadiyat; 6-8) Bentuk tidak adanya terimakasih kepada Alloh swt itu tampak,misalnya,dari kontrasnya apa yang diucapkan manusia dengan apa yang diperbuatnya.Setiap saat manusia muslim mengaku dan mempersaksikan bahwa tiada Tuhan selain Alloh,sholat,ibadah,hidup dan matinya hanya dipersembahkan bagiNya,dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusannya.Namun,fakta perbuatannya,hukum-hukum Alloh dan Rosululloh yang diakuinya itu tidak ditegakkan dan enggan diperjuangkan.Justru mengambil hukum-hukum Thoghut,yaitu hukum-hukum selain dari Alloh swt dan Rosululloh saw atau hukum-hukum yang tidak mengacu kepada Al Quran dan Sunnah.Hukum-hukum Thoghut itu dijadikan supremasi dan dijunjung tinggi-tinggi ,tanpa rasa berdosa,sementara Syari’at Islam dianggap biasa,tidak memiliki nilai-nilai keunggulan yang patut dibanggakan. Hasil dari kenyataan ini adalah dominannya orang-orang yang beragama Islam secara statis.Mereka puas dengan hanya sekedar pengakuan syahadatnya,masjidnya yang ribuan,atribut-atribut keislaman,semaraknya kegiatan keislaman,dan ritual lainnya.Sementara berkaitan dengan undang-undang ,peraturan dan perilaku dimasyarakat,mereka diam.Seakan-akan mereka melakukan tawar-menawar dengan Alloh bahwa kalau soal ritual menjadi urusan agama,sedang urusan hukum,politik dan ekonomi,adalah wilayah mereka sendiri yang bisa diubah dan ditetapkan menurut kehendaknya.Suatu bentuk sikap keagamaan yang tidak totalitas. Kenyataan ini,paling tidak,tampak dari gagalnya Syari’at Islam (yang tersurat dalam Piagam Jakarta) dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar pada sidang MPR beberapa waktu lalu,sementara wakil-wakil rakyat yang duduk di dalamnya mayoritas beragama Islam di satu sisi dan disisi lain masyarakat muslim yang mayoritas di bumi ini tidak bersuara,mendukungnya,malah sebagian menolak dengan terang-terangan,dengan mengatasnamakan toleransi.kemajemukan,keberagaman,keterbukaan ,kebebasan dan hak asasi manusia. Memang,siapapapun yang mengakui Alloh sebagai Tuhan,membenarkan setiap kewajiban serta memahami halal-haram sebatas kata-kata dilisan tetap patut dianggap muslim.Akan tetapi,pengakuan Alloh sebagai Tuhan itu hakikatnya merupakan kunci pembuka baginya tegaknya syari’at Islam dan berdirinya komunitas masyarakat muslim yang harus diikuti kehendak menjadikan aspek-aspek hukum seluruhnya mengacu hanya kepada Alloh swt. Negeri ini,belakangan dilanda krisis multidimensi yang tak kunjung berakhir.Kriminalitas meningkat.Moralitas merosot.Kerusakan alam.Ancaman disintegrasi.Korupsi menjadi-jadi.Pengangguran.Kebodohan.Kemiskinan.Kesenjangan dan sebagainya.Itu semua membutuhkan solusi alternatif,sementara ideologi yang disodorkan selama ini telah terbukti gagal.37 tahun setelah merdeka bukan maju tetapi malah mundur.Tidak tinggal landas,malah “landasannya tertinggal”. Solusi alternatif yang anggun dan mengesankan adalah kembali kepada Syari’at Islam sebagaimana hukum-hukum Alloh swt dan Rosululloh saw ini dahulu pernah ditegakkan dalam pemerintahan negri Pasai,Buton,Banten,Demak,Banjar,Betawi,Bima,Ternate,Makasar dsb. Cita mulia ini niscaya membutuhkan perjuangan yang keras dan tegas.Memang ada seruan lunak dalam bersikap.Namun untuk hal yang prinsipil dan tidak bisa ditawar,harus ada sikap tegas,teguh dan kokoh.Bersemangat tinggi.Bila tidak,niscaya akan diperas dan diperah.Diinjak.Didikte.Dan kaum muslimin akan kembali menjadi korban dari toleransi.Mereka harus terasing (teralienasi) di rumah sendiri.dalam hal ini sikap lembek merupakan pertanda al-wahn (lemah spiritual).Dalam pepatah dikatakan: “Jangan kamu kaku sebab kamu akan dipatahkan dan jangan pula lembek karena kamu akan diperas” Ketegaran dan ketabahan dalam menempuh jalan ini memang dibutuhkan.Sebab trend (arus besar) dunia saat ini cenderung memisahkan agama dari negara (sekularisasi),ditambah stigma (cap buruk) pada kalangan yang bergerak dalam hal itu sebagai teroris,radikal,fundamental,eksklusif,ekstrim dan sebagainya.Mantan presiden Amerika serikat Richard Nixon,misalnya,menyebut lima ciri kaum “fundamentalis Islam”: (1) Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang besar terhadap barat,(2) mereka yang bersikeras mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan masa lalu itu,(3) mereka yang bertujuan mengaplikasikan Syari’at Islam,(4) mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara,dan (5) mereka yang menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan.(Imarah,1999,hal 35) Di negri ini (Jawa Hokokai) menjelang kemerdekaan tahun 1945 dahulu,ada 52.000 pucuk surat dari ulama dan tokoh Islam seluruh Indonesia yang isinya berupa saran tentang dasar negara yang mesti diperjuangkan.Isinya sudah dapat diduga ialah tuntutan akan adanya negara berdasar syari’at Islam.Hal ini diungkapkan oleh Jendral A.H. Nasution pada suatu kesempatan tahun 1963.(KH.Firdaus AN,1999,hal 83) Sejarah mencatat bahwa kalangan ulama dan kyai yang tergabung dalam NU melalui KH.A Wahid Hasyim dalam persidangan BPUPKI dan PPKI telah ikut memperjuangkan negara berdasar syari’at Islam.Upaya ini gagal.Lalu dicapailah jalan tengah berupa Piagam Jakarta.Tetapi kesepakatan ini kemudian dibatalkan sehari setelah kemerdekaan.Tetapi NU sebagai partai politik ikut memperjuangkan di Majelis Konstituante.Upaya ini juga gagal.Selanjutnya pada tahun 1949 PBNU berupaya meyakinkan Bung Karno bahwa aspirasi ummat Islam tentang piagam Jakarta perlu diperhatikan kalau UUD 1945 diberlakukan kembali.Piagam Jakarta lalu ditempatkan sebagai konsideran (keterangan pendahuluan / sebagai dasar keputusan) dalam dekrit pemberlakuan kembali UUD 1945 itu.Dalam menggolkan UU yang pro-Syari’at Islam,kader-kader NU dahulu juga sangat getol. (SholahuddinWahid,2001,hal 25) Pada tanggal 4 Februari 1953,PBNU mengeluarkan surat protes atas pernyataan Bung Karno di Amuntai,Kalsel,”Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam,banyak daerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri,misalnya Maluku,,Bali,Flores,Timor,Kai dan juga irian Barat.”Dalam surat PBNU yang ditanda tangani oleh KH A. Wahid Hasyim (Ayahanda Gusdur) dan ditujukan kepada Presiden Soekarno itu ditegaskan,”Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian,menurut pandangan hukum Islam adalah pernyataan yang mungkar dan tidak dapat dibenarkan Syari’at Islam dan wajib bagi tiap-tiap muslim ingkar atau tidak setujunya”.(Anshari,1997,hal,69) Kini,para pemuka agama Islam yang notabene berilmu luas seperti merubah haluan.Apakah karena merasa perjuangan lewat jalur undang-undang dasar tersebut tidak efektif lalu menempuh jalan lain yang dirasa efektif yaitu melalui legislasi undang-undang? Ataukah pilihan itu dilandasi sikap melunak dan toleransi tinggi terhadap fakta keberagamaan dan kemajemukan? Ataukah pesimis (mental kalah sebelum bertanding) Ataukah takut resiko,khawatir dihantui teror Amerika Serikat,pertimbangan membawa massa yang banyak,atau prasangka negara berlandaskan Syari’at Islam tidak lebih baik dari negara yang berideologi Plural? Wallohu A’lam.Dalam Pepatah dikatakan: “Ilmu tanpa dilandasi semangat yang bergelora maka ia serasa beku,mati dan statis” Dr.Setia Budi (Douwes Dekker) menyatakan,”Kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia,sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia” (Sholahuddin Wahid,2001,hal 93) Ayat tersebut di muka membuka mata bahwa orang-orang yang beriman kepada Alloh swt dan Rosululloh saw justru mengadopsi hukum-hukum thoghut yang mungkar,padahal itu tidak patut dan terlarang.Sementara ,mendapati sikap ini setan memberikan dukungan yang luar biasa.Secara tersirat,ayat dimuka memberikan peringatan agar sikap semacam itu dihindari jauh-jauh. Maka di tengah krisis multidimensi ini,solusi alternatif harus segera dicermati.Solusi yang paling elegan dalam hal ini adalah kembali Kepada Syari’at Islam.atau krisis ini akan terus berlanjut dan dari hari ke hari semakin parah,bahkan menjadi bumerang di kemudian hari? Jaminan Alloh swt: “Jikalau sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa,pastilah akan Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al A’rof: 96) Perjuangan ini pasti membutuhkan kerja keras kita semua,sebagai ungkapan terimakasih kita atas karunia Alloh swt yang kita terima.Pujangga Mesir,Syauqi Bek dalam syairnya berpesan: “Bangkitalah engkau berjuang membela pendirian.Sesungguhnya hidup ini keyakinan dan perjuangan” Tegaknya Syari’at Islam di negri Madinah kiranya dapat dibuat ibroh.12 orang merintis perjuangan itu melalui Baiah Aqobah 1.Setahun kemudian dapat digaet 73 orang dalam Baiah Aqobah 2.Berikutnya ratusan-ribuan orang,hingga berdiri sistem Islam dinegri metropolitan ini.Hanya dengan seorang dai awalnya: Sahabat Mush’ab in Umair ra.Namun para perintis itu memang kader-kader pilihan atas dasar kesediaannya berjanji setia (baiat) dihadapan Rosululloh saw.Pelajaran yang bisa dipetik ialah selama visi menegakkan syari’at Islam itu kuat,betapapun rintangan menghadang,dipadu dengan semangat yang menyala-nyala,suatu keniscayaan bahwa syari’at Islam bisa tegak berdiri di suatu negri.Tinggal persoalan waktu,dekat atau jauh. Wallohu A’lam

GARAM KEHIDUPAN



Dalam mengarungi lautan kehidupan ini menuju tepian pantai tempat berlabuh, tentu saja tidak selamanya kita menempuh pelayaran yang cerah belaka, asyik terbuai sepoi-sepoi angin sepanjang masa, tapi kenyataannya pada suatu saat kita pasti akan di hadapkan pada satu keadaan yang sangat tidak menguntungkan, dimana ombak dan badai datang silih berganti, taufan dan gelombang tak henti-hentinya menghempas bahtera yang kita kayuh, sebentar datang badai dahsyat, sekejap datang angin puting beliung, usai itu datang halilintar yg menyambar, usai itu pula datang karang yang menjulang dan menghadang di hadapan kita. Dalam situasi yang demikian itu, arah bahtera hanya di bayangi dua alternative; selamatkah perjalanan, atau mushibah yang kita telan, kerana pada dasarnya hidup ini memang penuh dengan susah payah, pahit dan getir semuanya datang tanpa diundang, juga bukan kemauan kita. Allah sendiri telah berfirman:

 لَقَدْ خَلَقْـنَا اْلإِنْسَانَ فِى كَبَدٍ 

Artinya: “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan , akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan, penderitaan ataupun kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.
 ما دُمْتَ فى هذِه الدّارِ لا تَسْتَغْرِبُ وُقُوْعَ الأكْدَرِ 

“Selama anda berada di dalam dunia ini janganlah menganggap asing terhadap terjadinya musibah” “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segala sesuatunya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”. Amatlah sedikit yang diperlukan untuk membuat suatu kehidupan yang membahagiakan, semuanya ada di dalam hati anda, ada dalam diri anda sendiri, yaitu di dalam cara anda berfikir dan bersikap dalam memahami kehidupan dan menyambut tantangannya. Cobalah, kerana Alloh selalu menyertai orang-orang berpikir dan bersikap positif.